Buku ini membahas tentang kontak dan perjumpaan antara sistem dan praktek religi Minahasa dengan kekristenan melalui kehadiran para zendeling pada abad ke-19, terutama sejak tahun 1830-an hingga tahun 1890-an. Periode ini terutama berkaitan dengan kehadiran para zendeling utusan badan misi NZG yang sudah sejak zaman Joseph Kam (1817/1819), lalu Hellendoorn (1829), dan beberapa zendeling lainnya, lalu terutama sejak kedatangan Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel (1831) hingga masa penyerahan jemaat-jemaat yang dipelihara oleh para zendeling ke Indische Kerk (1875-1885) dan masa setelahnya hingga jelang akhir abad ke-19.
Di antara dua cara pandang dan kesimpulan mengenai sejarah perjumpaan pada periode itu, yaitu pada satu pihak dari badan zending atau zendeling sendiri, dan pada pihak lain tanggapan-tanggapan kritis dari pengkaji sejarah, etnolog dan studi politik kolonial seperti yang sudah diuraikan di atas, sudut pandang ketiga saya kira perlu dimajukan. Yaitu perspektif yang lebih banyak memberi perhatian pada narasi tentangg sikap, reaksi, resistensi, negosiasi dan transformasi yang dilakukan pihak penerima.Judul utama buku ini adalah Walian dan Tuang Pandita. Para walian atau imam memiliki kedudukan dan peran yang sentral dalam praktek religi Minahasa. Para zendeling – yang di sini mereka disapa dalam istilah Melayu, ‘pandita’ atau ‘tuang pandita’ – yang diutus oleh NZG, mulanya sangat kuat dengan pietisme (lalu berkembang ke corak berpikir yang lebih modern), tentu tidak lepas dari semangat kekristenan masa itu, yaitu semangat untuk memahsyurkan Injil Yesus Kristus di tengah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktek kepercayaan/religinya sendiri. Di dalam religi Minahasa sendiri, terutama di kalangan walian pada periode ini sebetulnya sedang mengalami dinamika ke arah yang tidak semata tentang spiritualitas dan religiusitas. Hal yang sama juga berlaku dalam perkembangan kekristenan. Dominasi Indische Kerk dalam pengaruh kuat kepentingan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, telah menyebabkan adanya keragaman corak dan pendekatan, serta dinamika dalam idealisme misi yang dijalankan.
Semua itu telah menjadi konteks perjumpaan antara agama Kristen melalui para tuang pandita Eropa dengan walian atau orang-orang Minahasa pada umumnya. Oleh karena adanya dinamika dalam proses perjumpaan itu, maka hasil-hasilnya juga tidak tunggal. Dengan demikian, tujuan dari buku ini adalah untuk menunjukkan dinamika proses perjumpaan itu, serta kesadaran dan bentuk-bentuk praksis yang dihasilkan. Ini adalah upaya untuk menunjukkan narasi-narasi alternatif dari wacana atau kesimpulan-kesimpulan selama ini yang memandang seolah proses perjumpaan itu terjadi secara sepihak, yang satu aktif memaksa dan yang lain pasif dalam kebodohan. Dengan munculnya tokoh-tokoh penolong dan guru-guru di sekolah zending, serta hadirnya organisasi yang menghimpun mereka yang terjadi selama periode itu maka itu adalah bukti bahwa proses perjumpaan ini telah terjadi secara timbal balik. Sikap kritis dan bahkan menolak di kalangan walian makin membuktikan bahwa proses konversi yang dilakukan oleh para zendeling tidaklah berjalan lurus tanpa negosiasi dan dialog.