Senin, 29 Juni 2020

Pendaftaran Peserta Diskusi Online "Merawat Keragaman Identitas dalam Solidaritas Kemanusiaan"

PUKKAT


Silahkan daftar di link berikut:

Selasa, 23 Juni 2020

Pendaftaran Peserta Talkshow “Membedah Kerentanan Politisasi Identitas di Tengah Pandemi”

PUKKAT

Pada negara majemuk seperti Indonesia, identitas agama dan etnis menyimpan kerentanan-kerentanan tertentu. Terutama ketika identitas telah dipolitisasi sedemikian rupa menjadi ideologi eksklusif. Konflik dan kekerasan dapat kapan saja meledak. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sangat terasa polarisasi antara kelompok-kelompok yang membawa identitas tertentu.
Dalam konteks Sulawesi Utara di masa pandemi ini, justru polarisasi berdasarkan identitas dan agama tersebut muncul dalam bentuk aksi kelompok yang membawa simbol dan emosi identitas agama dan etnis. Pada tanggal 1 Juni, sekelompok orang menolak jenasah yang berstatus PDP dimakamkan dengan protokol Covid-19 yang meninggal di Rumah Sakit Pancaran Kasih Manado. Aksi penolakan maupun reaksi terhadap aksi itu dengan kasat mata menampikan simbol-simbol identitas keagamaan Islam dan Kristen. 
Lalu pada tanggal 14 Juni, terjadi perkelahian antar kelompok warga Keluarahan Kampung Jawa Tondano dengan kelompok Kelurahan Marawas. Perkelahian yang terjadi di kebun itu menewaskan seorang warga dari kelurahan Marawas. Kejadian itu dapat dengan mudah direspon secara bias agama dan etnis, karena secara faktual dua kampung tersebut secara jelas berbeda secara agama dan etnis.
Meski kejadian-kejadian ini jelas dipicu bukan oleh sentimen agama dan etnis, tapi rupanya bagi kelompok-kelompok tertentu peristiwa-peristiwa itu lebih mudah direspon secara agamis dan etnis. Mengapa dalam masyarakat kita (Indonesia dan Sulawesi Utara) identitas agama dan etnis dapat dengan mudah dipolitisasi menjadi sikap penolakan atau balas dendam? Mengapa identitas agama dan etnis begitu sensitif dalam relasi-relasi sosial, terlebih politis? Faktor-faktor apa yang menjadi pemicunya?
Untuk membedah masalah kerentanan-kerentanan yang muncul dalam masyarakat majemuk identitas, terutama dalam konteks pandemi, PUKKAT bekerjasama dengan Mawale Movement, SEBUMI, Kelung.com, Mapatik, Jaringan Kulit Tinta Independen menggelar talkshow online bertajuk "Membedah Kerentanan Politisasi Identitas di Tengah Pandemi" dengan menghadirkan para narasumber:

1. Nia Sjarifudin (ANBTI)
2. Pdt. Drs. David Tular (Teolog Gereja Masehi Injili di Minahasa)
3. Rusli Umar (Aktivis NU Sulawesi Utara)
4. Ir. Jhon F. Mailangkay (Brigade Manguni Indonesia Minahasa)
5. Amir Liputo (Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara)
6. Dr. Denni Pinontoan (PUKKAT)

Silahkan mendaftar di link berikut:

Minggu, 21 Juni 2020

Urgensi Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Budaya Minahasa

Riane Elean


Direktur PUKKAT, Dr. Denni Pinontoan diundang sebagai narasumber dalam kapasitas sebagai Budayawan Minahasa, pada Talk Show Wisata Budaya. Kegiatan ini mengangkat topik "Urgensi Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Budaya Minahasa". Bincang ini dilaksanakan secara online oleh Kerukunan Keluarga Kawanua, Sabtu 20 Juni 2020.

Hadir sebagai pemateri lainnya, Dr. Miranda R. A. Palar (Pakar Perlindungan HKI Komunal) dan James Sundah (Musisi/ Komisioner LMKN).

Jumat, 19 Juni 2020

Merindu Minahasa Lewat Sastra

Riane Elean

 


Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) bersama komunitas-komunitas dalam Mawale Movement: kelung.com., Institut Seni Budaya Minahasa (Sebumi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara, Jaringan Kuli Tinta Independen, dan Komunitas penulis Mapatik gelar Bakudapa Virtual: Merindu Minahasa Lewat Sastra, Rabu 17 Juni 2020.

Karya sastra diunjuk secara virtual oleh para perindu: Inggrid Pangkey (Sastrawan, ASN), Denni Pinontoan (Sastrawan, Teolog), Jenry Koraag (Sastrawan, Designer) dan Christofel Manoppo (Sastrawan ASN). Rikson Karundeng dan Lefrando Gosal menjadi pengarah dalam kegiatan ini. 


Senin, 01 Juni 2020

Diskusi Online “New Normal Journalism, Praktek Jurnalisme di Era Pandemi Covid-19”

PUKKAT


Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) menjadi partner kelung.com dan komunitas Mapatik melaksanakan diskusi bertajuk  “New Normal Journalism, Praktek Jurnalisme di Era Pandemi Covid-19”. Diskusi online ini dilaksanakan pada Kamis, 28 Mei 2020, pukul 15.00 – 17.00 wita dengan menggunakan Zoom.

Tampil sebagai pembicara adalah Andreas Harsono. Dia adalah jurnalis, peneliti dan pembela hak asasi manusia, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Pantau, dan International Consortium of Investigative Journalists. Dia menulis beberapa buku, antara lain: Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (dengan Budi Setiyono), menulis “Agama” Saya Adalah Jurnalisme, serta buku terbarunya Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.

Sebagai moderator Denni Pinontoan, direktur PUKKAT, Pemimpin Redaksi Kelung.com. Mengawali diskusi, Denni mengemukakan, bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi, agama, tak terkeculi praktek jurnalisme. Jaga jarak dan pembatasan kontak sosial adalah cara berperilaku yang baru. Jurnalis dan media menghadapi suatu realitas baru, yang kemudian membuatnya mesti memikirkan dan menjalankan praktek jurnalisme yang baru pula.

Perubahan ini membuat para jurnalis dan media segera memasuki cara kerja baru berbasis digital. Bagaimana jurnalis dan media menghadapi kebiasaan baru ini? Bagaimana ia menghadapi publik yang juga serba tergantung pada teknologi digital? Bagaimana kebenaran faktual dihadirkan dalam situasi yang baru ini?



Andreas Harsono mengemukakan tiga pokok dalam diskusi tersebut. Pertama, bagaimana jurnalis meliput di masa pandemi covid-19, kedua tantangan perusahaan media, apa yang terjadi dalam dunia jurnalisme, baik sebelum maupun pasca pandemi. Ketiga, tantangan dan peluang jurnalisme pasca pandemi.

Andreas Harsono lalu mengatakan, wartawan mestinya melakukan liputan secara langsung meskipun dalam situasi sulit karena pandemi. Misalnya di ruang ICU yang memang rawan bagi siapa saja terkena virus. Tentu dengan menggunakan alat pelindung diri sesuai standar.

“Wartawan seyogyanya tidak takut dengan Covid-19. Tapi bukan nekat. Harus punya alat pelindung diri,” kata Andreas.

Andreas lalu mengemukakan tantangan perusahaan-perusahaan media menghadapi perkembangan teknologi digital sebelum pandemi covid-19. Beberapa media besar di Indonesia mengalami kesulitan keuangan karena perkembangan new media. Tapi, menurut dia, sekaligus juga ini menjadi peluang bagi media di daerah, asalkan dapat mengembangkan kemampuan para jurnalis menggunakan teknologi digital dan pengembangan manajemen perusanaan media.


Poin penting yang terungkap dalam diskusi ini adalah, jurnalisme, dalam hal visi tidak berubah. Namun, bisnis media selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Menghadapi ‘new normal’ pasca pandemi covid-19, para jurnalis ditantang memasuki suatu perubahan yang besar. Pengembangkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan penting bagi para jurnalis untuk era ini.

Sekitar 30-an jurnalis, aktivis dan akademisi dari berbagai daerah se-Indonesia telah bergabung dalam diskusi ini. Para peserta diskusi tampak antusias bertukar pikiran dan pengalaman mengenai jurnalisme di masa pandemi dan masa sesudahnya.(*)  


*Tayangkan diskusi dapat dilihat di sini (Facebook).