Silahkan daftar di link berikut:
Selasa, 23 Juni 2020
PUKKAT
Juni 23, 2020
Dalam konteks Sulawesi Utara di masa pandemi ini, justru polarisasi berdasarkan identitas dan agama tersebut muncul dalam bentuk aksi kelompok yang membawa simbol dan emosi identitas agama dan etnis. Pada tanggal 1 Juni, sekelompok orang menolak jenasah yang berstatus PDP dimakamkan dengan protokol Covid-19 yang meninggal di Rumah Sakit Pancaran Kasih Manado. Aksi penolakan maupun reaksi terhadap aksi itu dengan kasat mata menampikan simbol-simbol identitas keagamaan Islam dan Kristen.
Lalu pada tanggal 14 Juni, terjadi perkelahian antar kelompok warga Keluarahan Kampung Jawa Tondano dengan kelompok Kelurahan Marawas. Perkelahian yang terjadi di kebun itu menewaskan seorang warga dari kelurahan Marawas. Kejadian itu dapat dengan mudah direspon secara bias agama dan etnis, karena secara faktual dua kampung tersebut secara jelas berbeda secara agama dan etnis.
Meski kejadian-kejadian ini jelas dipicu bukan oleh sentimen agama dan etnis, tapi rupanya bagi kelompok-kelompok tertentu peristiwa-peristiwa itu lebih mudah direspon secara agamis dan etnis. Mengapa dalam masyarakat kita (Indonesia dan Sulawesi Utara) identitas agama dan etnis dapat dengan mudah dipolitisasi menjadi sikap penolakan atau balas dendam? Mengapa identitas agama dan etnis begitu sensitif dalam relasi-relasi sosial, terlebih politis? Faktor-faktor apa yang menjadi pemicunya?
Untuk membedah masalah kerentanan-kerentanan yang muncul dalam masyarakat majemuk identitas, terutama dalam konteks pandemi, PUKKAT bekerjasama dengan Mawale Movement, SEBUMI, Kelung.com, Mapatik, Jaringan Kulit Tinta Independen menggelar talkshow online bertajuk "Membedah Kerentanan Politisasi Identitas di Tengah Pandemi" dengan menghadirkan para narasumber:
1. Nia Sjarifudin (ANBTI)
2. Pdt. Drs. David Tular (Teolog Gereja Masehi Injili di Minahasa)
3. Rusli Umar (Aktivis NU Sulawesi Utara)
4. Ir. Jhon F. Mailangkay (Brigade Manguni Indonesia Minahasa)
5. Amir Liputo (Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara)
6. Dr. Denni Pinontoan (PUKKAT)
Silahkan mendaftar di link berikut:
Minggu, 21 Juni 2020
Agenda
Riane Elean
Juni 21, 2020
Direktur PUKKAT, Dr. Denni Pinontoan diundang sebagai narasumber dalam kapasitas sebagai Budayawan Minahasa, pada Talk Show Wisata Budaya. Kegiatan ini mengangkat topik "Urgensi Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Budaya Minahasa". Bincang ini dilaksanakan secara online oleh Kerukunan Keluarga Kawanua, Sabtu 20 Juni 2020.
Hadir sebagai pemateri lainnya, Dr. Miranda R. A. Palar (Pakar Perlindungan HKI Komunal) dan James Sundah (Musisi/ Komisioner LMKN).
Jumat, 19 Juni 2020
Agenda, Program
Riane Elean
Juni 19, 2020
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) bersama komunitas-komunitas dalam Mawale Movement: kelung.com., Institut Seni Budaya Minahasa (Sebumi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara, Jaringan Kuli Tinta Independen, dan Komunitas penulis Mapatik gelar Bakudapa Virtual: Merindu Minahasa Lewat Sastra, Rabu 17 Juni 2020.
Karya sastra diunjuk secara virtual oleh para perindu: Inggrid Pangkey (Sastrawan, ASN), Denni Pinontoan (Sastrawan, Teolog), Jenry Koraag (Sastrawan, Designer) dan Christofel Manoppo (Sastrawan ASN). Rikson Karundeng dan Lefrando Gosal menjadi pengarah dalam kegiatan ini.
Senin, 01 Juni 2020
Program
*Tayangkan diskusi dapat dilihat di sini (Facebook).
PUKKAT
Juni 01, 2020
Pusat Kajian
Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) menjadi partner kelung.com dan komunitas
Mapatik melaksanakan diskusi bertajuk “New
Normal Journalism, Praktek Jurnalisme di Era Pandemi Covid-19”. Diskusi online
ini dilaksanakan pada Kamis, 28 Mei 2020, pukul 15.00 – 17.00 wita dengan
menggunakan Zoom.
Tampil sebagai
pembicara adalah Andreas Harsono. Dia adalah jurnalis, peneliti dan pembela hak
asasi manusia, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Pantau, dan
International Consortium of Investigative Journalists. Dia menulis beberapa
buku, antara lain: Jurnalisme Sastrawi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (dengan Budi Setiyono), menulis “Agama” Saya Adalah Jurnalisme, serta
buku terbarunya Race, Islam and Power:
Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.
Sebagai moderator
Denni Pinontoan, direktur PUKKAT, Pemimpin Redaksi Kelung.com. Mengawali
diskusi, Denni mengemukakan, bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi banyak hal
dalam kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi, agama, tak terkeculi praktek
jurnalisme. Jaga jarak dan pembatasan kontak sosial adalah cara berperilaku
yang baru. Jurnalis dan media menghadapi suatu realitas baru, yang kemudian
membuatnya mesti memikirkan dan menjalankan praktek jurnalisme yang baru pula.
Perubahan ini
membuat para jurnalis dan media segera memasuki cara kerja baru berbasis
digital. Bagaimana jurnalis dan media menghadapi kebiasaan baru ini? Bagaimana
ia menghadapi publik yang juga serba tergantung pada teknologi digital?
Bagaimana kebenaran faktual dihadirkan dalam situasi yang baru ini?
Andreas Harsono
mengemukakan tiga pokok dalam diskusi tersebut. Pertama, bagaimana jurnalis
meliput di masa pandemi covid-19, kedua tantangan perusahaan media, apa yang
terjadi dalam dunia jurnalisme, baik sebelum maupun pasca pandemi. Ketiga,
tantangan dan peluang jurnalisme pasca pandemi.
Andreas Harsono lalu
mengatakan, wartawan mestinya melakukan liputan secara langsung meskipun dalam
situasi sulit karena pandemi. Misalnya di ruang ICU yang memang rawan bagi
siapa saja terkena virus. Tentu dengan menggunakan alat pelindung diri sesuai
standar.
“Wartawan
seyogyanya tidak takut dengan Covid-19. Tapi bukan nekat. Harus punya alat
pelindung diri,” kata Andreas.
Andreas lalu
mengemukakan tantangan perusahaan-perusahaan media menghadapi perkembangan
teknologi digital sebelum pandemi covid-19. Beberapa media besar di Indonesia
mengalami kesulitan keuangan karena perkembangan new media. Tapi, menurut dia,
sekaligus juga ini menjadi peluang bagi media di daerah, asalkan dapat mengembangkan
kemampuan para jurnalis menggunakan teknologi digital dan pengembangan
manajemen perusanaan media.
Poin penting yang
terungkap dalam diskusi ini adalah, jurnalisme, dalam hal visi tidak berubah.
Namun, bisnis media selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Menghadapi ‘new
normal’ pasca pandemi covid-19, para jurnalis ditantang memasuki suatu
perubahan yang besar. Pengembangkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan
penting bagi para jurnalis untuk era ini.
Sekitar 30-an jurnalis,
aktivis dan akademisi dari berbagai daerah se-Indonesia telah bergabung dalam
diskusi ini. Para peserta diskusi tampak antusias bertukar pikiran dan
pengalaman mengenai jurnalisme di masa pandemi dan masa sesudahnya.(*)
*Tayangkan diskusi dapat dilihat di sini (Facebook).
Langganan:
Postingan (Atom)