Selasa, 24 Maret 2020

Nyawa di Balik Sebuah Logo

Riane Elean

Jumat, 13 Maret 2020

MALAM SOLIDARITAS: JERITAN MINORITAS SEKSUAL

PUKKAT


Oleh Ruth K. Wangkai (aktivis PUKKAT)



BERANJAK dari Zero Point massa aksi dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) bergerak ke Taman Kesatuan Bangsa (TKB). Taman ini yang berada di seputaran pertokoan lama kota Manado diresmikan tahun 1987, ketika daerah ini masih menjadi pusat perbelanjaan dan jantung perekonomian SULUT.

Tapi, seiring dengan perubahan politik dan kebijakan otonomi daerah, berdampak pula pada kebijakan pengembangan pusat ekonomi baru yakni di kawasan Boulevard. Tempat ini tak lagi seramai tempo dulu. Walau begitu, TKB tetap menjadi ikon (satu-satunya?) taman kota, di mana berdiri monumen Dotu Lolong Lasut, yang konon kabarnya dialah perintis kota ini. Monumenya yang berada di tengah taman, tampil dengan gambaran seorang pahlawan dengan pedang di sarung pinggangnya. Apakah gambaran ini mau memberi pesan bahwa Manado ini adalah hasil invansi atau rebutan suku-suku tertentu, atau memang dia sudah ada sejak dulu sebagai kota merdeka?

Beberapa tahun lalu pemerintah melakukan pemugaran, memperindah taman ini, dan membangun teater terbuka untuk ekspresi seni dan budaya yang beragam penanda bahwa Manado adalah kota yang multikultural. Sore hari banyak yang duduk santai bersama teman atau keluarga. Hanya saja, walau sudah dipugar dan dihias dengan maksud memperbaiki citra tempat "esek-esek", toch sampai hari ini tempat ini masih lekat dengan stigma lokasi pelacuran.

Pilihan ke TKB tentu lebih mempertimbangkan fasilitasnya dan juga keramaian rute angkot ke arah Manado Timur. Tapi mungkin sadar atau tidak, tak kebetulan juga menentukan lokasi ini yang masih menjadi "hunian" para pekerja seks di malam hari - menjadi tempat utk berefleksi, menyentuh kepekaan, dan mengolah rasa - menyatakan kepedulian dan empati kepada perempuan-perempuan korban stigma dan diskriminasi, korban kekerasan, dan korban ketidakadilan oleh sistem adat dan budaya, oleh kebijakan negara, dan juga oleh hukum agama.

Puisi yang dibacakan oleh Coco, berisi jeritan hati mewakili perempuan-perempuan korban: perempuan pelacur, perempuan lesbian, dan perempuan tanpa vagina - menyentuh nurani kita. Kelompok ini termasuk paling rentan mengalami kekerasan berlapis, mulai dari keluarga sendiri, lingkungan sosial, dan juga negara.

Mereka terhempas oleh struktur masyarakat patriarki yang heteronormatif, yang cenderung menghakimi bahkan mengekslusi ketimbang berempati dan berjuang bagi pemenuhan hak-hak mereka.

HPI adalah momen merayakan capaian-capaian dan keberhasilan perempuan-perempuan hebat, mandiri, dan sukses. Tapi HPI juga adalah kesempatan utk memperkuat komitmen kemanusiaan dan membangun gerakan bersama: pelibatan laki-laki, rangkul komunitas minoritas SOGIESC, organisasi lintas iman serta media - bagi kerja-kerja advokasi mewujudkan dunia yang ramah dan bersahabat bagi semua. Sembari itu, negara perlu diingatkan terus akan kewajiban pemenuhan HAM perempuan serta akses keadilan bagi korban.

Tema HPI tahun ini sangat relevan bahwa SETIAP ORANG SETARA. DUNIA YANG SETARA ADALAH DUNIA YANG MEMBERDAYAKAN.(*)

Kamis, 12 Maret 2020

Merumuskan Sosiologi Gender Minahasa

Riane Elean
Merumuskan Sosiologi Gender Minahasa
Oleh: Riane Elean




PERBEDAAN konsep sosiologi gender memang masih sering menimbulkan debat sampai kini. Paling tidak, berbagai teori feminis kontemporer yang pernah dirumuskan dapat dikelompokkan dalam empat kategori cara pandang:


1. Perbedaan Gender

Feminisme Kultural: Memusatkan perhatian pada eksplorasi nilai-nilai yang dianut perempuan, yaitu bagaimana mereka berbeda dari laki-laki. Penganut teori menentang argumen esensialis tentang perbedaan gender yang tidak dapat diutak-atik, yang mula-mula digunakan untuk melawan perempuan dalam diskursus patriarkal, bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki. Penganut teori ini justru memuji aspek positif hal yang dipandang sebagai karakter perempuan seperti kerja sama, belas kasih, pasifime, dan tanpa kekerasan menyelesaikan konflik.

Peran Institusional: teori ini mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran yang dimainkan laki-laki dan perempuan dalam berbagai latar institusional. Yang paling menentukan perbedaan ini diyakini sebagai pembagian kerja secara seksual yang mengaitkan perempuan pada fungsi sebagai istri, ibu, dan pekerja rumah tangga (pada wilayah privat dan keluarga), sehingga perempuan memiliki perbedaan peristiwa dan pengalaman dengan laki-laki.

Analisis Eksistensial dan Fenomenologis: memusatkan perhatian pada teori perempuan sebagai "yang lain" dalam kebudayaan yang diciptakan laki-laki. Dunia dianggap telah berkembang dari kebudayaan yang diciptakan laki-laki dengan mengasumsikan bahwa laki-laki adalah subjek.

2. Ketimpangan Gender

Feminisme Liberal: perempuan dapat menklaim kesetaraan dengan laki-laki berdasarkan kemampuan hakiki manusia untuk menjadi agen moral yang menggunakan akalnya, bahwa ketimpangan gender adalah akibat dari pola pembagian kereja yang seksis dan patriarkal, dan bahwa kesetaraan gender dapat dihasilkan dengan mentransformasikan pembagian kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci: hukum, kerja, keluarga, pendidikan dan media

3. Penindasan Gender
Feminisme Psikoanalitis: melihat patriarki sebagai sistem yang sengaja diciptakan dan dipertahankan oleh laki-laki dalam tindakannya sehari-hari untuk menundukkan perempuan.

Feminisme Radikal: menganggap bahwa peremuan memiliki nilai mutlak positif sebagai perempuan, keyakinan yang berlawanan dengan apa yang mereka klaim sebagai perendahan secara universal terhadap perempuan. Bahwa perempuan di mana pun berada senantiasa tertindas secara kejam oleh sistem patriarki.

4. Penindasan Struktural

Feminisme Sosialis: analisis utama mereka bukanlah ketimpangan sosial, melainkan jalinan erat dari begitu banyak ketimpangan sosial. Mereka mengembangkan potret organisasi sosial tempat di mana struktur publik ekonomi, politik, dan ideologi berinteraksi dengan proses privat reproduksi, domestisitas, seksualitas, dan subjektivitas manusia untuk melestarikan beragam sistem dominasi.

Teori interseksionalitas: teori ini diawali dari pemahaman bahwa perempuan mengalami pendindasan dalam berbagai konfigurasi dan dalam berbagai tingkat intensitas. Kendati semua perempuan secara potensial mengalami penindasan berdasarkan gender, perempuan pun secara berbeda-beda tertindas oleh beragam interseksi tatanan ketimpangan sosial (vektor penindasan dan hak istimewa), yang tidak hanya termasuk gender namun juga kelas, ras, lokasi tertentu di belahan bumi, preferensi seksual dan usia.

Pertanyaan sekarang adalah pengetahuan atau definisi siapa yang benar dan harus diaplikasi? Barangkali solusi untuk ini adalah mencari, merumuskan dan menyajikan sintesis gagasan atau mencari teori integratif dari beragam teori feminis yang ada.

Berdasarkan kategorisasi di atas dapat disimpulkan beberapa hal terkait sosiologi pengetahuan perempuan:


1. ia selalu diciptakan dari sudut pandang aktor yang ada di dalam kelompok yang memiliki kedudukan berbeda di dalam struktur sosial;

2. ia selalu parsial dan sarat kepentingan, tidak pernah menyeluruh dan objektif

3. ia dihasilkan di dalam dan di berbagai kelompok, dan pada batas-batas tertentu, antar aktor di dalam kelompok

4. ia selalu dipengaruhi oleh relasi kekuasaan: apakah dirumuskan dari sudut pandang yang mendominasi maupun subordinasi.

Dengan demikian, untuk merumuskan sosiologi dari sudut pandang perempuan, laki-laki atau gender- gender lainnya maka langkah pertama yang wajib dituntaskan adalah membahas apa yang dimaksud dengan "sudut pandang" perempuan, laki-laki atau gender lainnya itu sendiri. Karena sudut pandang adalah produk kolektivitas sosial yan memiliki sejarah memadai dan kesamaan situasi sehingga mampu membentuk suatu pengetahuan bersama tentang relasi sosial. Barangkali kita masih berada pada titik pencarian apa yang disebut dengan "teori integratif' tersebut. Barangkali apa yang bisa kita pelajari dari bahasan singkat ini bisa memberi kontribusi dalam proses penemuan itu. Dari catatan ini, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan:

1. Hubungan penguasaan: terkait dengan aktivitas sosial kompleks yang terkait satu dengan yang lain, yang mengontrol produksi manusia.

2. Aktualitas lokal pengalaman hidup: terkait dengan tempat beberapa orang secara aktual (duduk, membaca, menulis, dsb)

3. Teks, yang dicirikan oleh anonimitas, generalitas, dan otoritas esensial: teks didesain untuk memolakan dan menerjemahkan kehidupan nyata, pengalaman spesifik, menjadi bentuk bahasa yang bisa diterima bagi hubungan penguasaan.

Tiga aspek di atas harus dipelajari sebagai tindakan, hubungan, dan kerja subjek manusia yang ada di dalamnya. Sinergi tiga poin itu akan sangat menentukan bagaimana interaksi antar elemen-elemen struktur dalam masyarakat itu berpadu.

Catatan untuk Minahasa:

Relasi sosial Tou (perempuan, laki-laki dan gender lainnya) di Minahasa bersifat khas dan tidak bisa digeneralisir. Identitas Minahasa turut dibentuk oleh pengalaman historis, Karakteristik budaya, tatanan geopolitik, termasuk tantangan dan peluang yang berlangsung dinamis. Sehingga konsep sosiologi gender Minahasa seharusnya merupakan rumusan yang ditarik dari karakteristik tersebut.

Ke arah mana citra sosiologi gender Minahasa akan di bawah sangat tergantung juga dari penguasa (sistem dominan), interpretasi dan aktualisasi subjektif terhadap berbagai hal, dan media propaganda.

Kesadaran kolektif orang Minahasa adalah bahwa kita (Tou Minahasa) adalah "esa ene" yang religius dan egaliter. Upaya aktualisasi kesadaran kolektif dalam sistem dominan, interpretasi subjektif dan propaganda adalah tanggung jawab bersama, sehingga "sosiologi gender" kita benar-benar Minahasa dan fungsional.


Bahan Bacaan:

Darwin, Muahdjir M. 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Wacana

Hubeis, Aida Vitayala S. 1996. "Dimensi Gender dan Demokratisasi" dalam Merebut Masa Depan. Jakarta: PT. Amanah Putra Nusantara

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana

----------------------------------------------------. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group

Sihab, Quraish. 1996. "Dimensi Gender, Konsep Keluarga dan Demokratisasi" dalam Merebut Masa Depan. Jakarta: PT. Amanah Putra Nusantara

Taulu, H. M. 1981. Sejarah dan Anthropologi Budaya Minahasa. Manado: Toko Buku Tunas Harapan.


Rabu, 11 Maret 2020

Aktivis PUKKAT Berbicara pada Diskusi Publik dalam rangka Peringatan International Women's Day

PUKKAT

Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) bekerjasama dengan sejumlah lembaga lainnya: PERUATI Tanah Minahasa,  Swara Parampuang, AJI Manado, LP2M IAIN Manado,  Peka & DP2A Provinsi Sulut menggelar diskusi publik dengan topik "Mekanisme Penghapusan Kekerasan Seksual", sebuah subjek yang dipilih masih dalam dalam rangkaian peringatan International Women's Day (IWD) 2020,

Diskusi yang digelar Selasa (10/03/2020) di kampus IAIN Manado menghadirkan narasumber, Founder PUKKAT & Pembina BPN Peruati Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulut Ir Mieke Pangkong MSi, Wakil Rektor I IAIN Manado Dr Ahmad Rajafi Sahran, Wakil Rektor III IAIN Manado Musdalifah Dachrud SAg MPsi, dan Ketua PSGA IAIN Manado Lies Karyati MEd.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua KOPRI Cabang Metro Manado Nurila Lasene ini, Wangkai mengulas tentang berbagai defisini kekerasan seksual. Aktifis feminis ini juga menjelaskan 9 jenis kekerasan dan contoh-contohya seperti termuat di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Selanjutnya Pangkong membahas tentang berbagai program pemerintah terkait upaya menurunkan angka kekerasan seksual. Termasuk membeberkan data-data angka kekerasan seksual yang terjadi.

Musdalifah memaparkan tentang bagaimana upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada PT Keagamaan Islam. 

Lies yang tampil sebagai pembicara berikutnya mengatakan, kekerasan seksual ibarat gunung es. Senada dengan Musdalifah, dia mengatakan penanganan kasus ini butuh pelaporan secara tertulis. Namun yang terpenting tidak hanya pelaporan, tetapi ada advokasi. 

Rajafi yang berbicara di sesi akhir menyayangkan fakta bahwa orang lebih suka fokus pada apa yang tertulis dalam kitab suci ketimbang apa yang menjadi substansinya. Hal ini yang menyebabkan diskriminasi masih terus terjadi. 

Ia juga menjelaskan mengapa muncul Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 itu karena negara tidak selesai dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebagai tindak lanjut di lingkungan perguruan tinggi khususnya di IAIN Manado, menurutnya, PSGA dan Warek 3 akan mengeluarkan turunan keputusan Dirjen Pendidikan Islam tersebut. 

Wangkai dalam statement terakhirnya menanggapi pertanyaan peserta diskusi menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan maupun gender lainnya akan terus terjadi apabila tidak ada perubahan mindset. "Meskipun ada upaya-upaya dari berbagai pihak untuk mengurangi angka kekerasan tapi tidak disertai dengan upaya untuk mengubah mindset masyarakat maka upaya ini akan sia-sia" ujarnya. 

Hadir juga dalam diskusi ini dosen dan mahasiswa IAIN Manado, Aliansi Peduli Perempuan Sulut, PMII Metro Manado, pegiat berbagai LSM, serta sejumlah jurnalis. (Ian)

Senin, 09 Maret 2020

PUKKAT Beraksi di Hari Perempuan Internasional (HPI)

Riane Elean

PUKKAT menunjukkan komitmennya lagi. Senin, 9 Maret 2020, bersama dengan sejumlah lembaga masyarakat sipil berkumpul di Zero Poin, Manado. PUKKAT melakukan aksi damai dengan menyerukan tuntutan perjuangan bersama bagi keadilan dan kesetaraan bagi perempuan sekaligus menolak produk-produk hukum yg mendiskriminasikan perempuan.

Momentum ini juga dipakai PUKKAT untuk memperkokoh visi dan komitmen bersama para pejuang kemanusiaan lainnya.


SETIAP ORANG SETARA

DUNIA YANG SETARA ADALAH DUNIA YANG MEMBERDAYAKAN.

 

#IWD2020

#EachforEqual

#AnEqualWorldIsAnEnabledWorld

#PUKKAT

Kamis, 05 Maret 2020

Program PUKKAT untuk Jurnalisme

PUKKAT


PUKKAT bekerja untuk penguatan kapasitas jurnalis melalui pelatihan-pelatihan jurnalistik. PUKKAT memberi perhatian pada pengetahuan dan ketrampilan meliput dan menulis isu-isu keragaman.


Di dalam negara demokrasi, jurnalis memiliki peran yang signifikan pers dan media dalam fungsi edukasi dan kontrolnya.


Bagi PUKKAT, penguatan kapasitas jurnalis adalah bagian penting dalam upaya menguatkan peran dan fungsi pers untuk demokrasi.



Senin, 02 Maret 2020

Politisasi Kerukunan atau Politik Kerukunan?

PUKKAT
Oleh Denni H.R. Pinontoan (Peneliti PUKKAT)


POLITISASI kerukunan berbeda dengan politik kerukunan. Politisasi identitas berbeda dengan politik pengelolaan keragaman identitas.
Sulut mengklaim sebagai daerah terukun. Tapi kerukunan ada dinamikanya. Negara menekan keragaman demi stabilitas disebut kerukunan. Orang-orang yang berbeda identitas saling menjaga batas-batasnya, berusaha untuk menahan diri meski didiskriminasi itu juga dapat menciptakan kerukunan. Kerukunan politis namanya.
Kota Manado mendapat pengakuan sebagai kota tertoleran. Benar. Tentu pada hal-hal yang dilihat sebagai indikator menurut konsep kerukunan tertentu.
Tapi, apakah daerah ini memiliki politik kerukunan atau politik pengelolaan keragaman yang kemudian menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang sensitif kerukunan?
Contoh, apakah di dalam desain-desain pembangunan jangka pendek dan panjang, misalnya pengembangan wilayah-wilayah ekonomi, pemukiman (a.l. melalui RT/RW) dslbnya telah memperhatikan kemungkinan adanya kelompok-kelompok identitas yang terpinggirkan? Apakah dalam penataan kota, misalnya pendirian asesoris-asesoris kota seperti monumen, menara, dlsb telah mempertimbangkan aspirasi atau paham-paham kelompok tertentu, yang entah dapat menyebabkan ketersinggungan atau perasaan terpinggir?
Contoh kasus misalnya pembangunan bendungan di Kuwil. Ketika pembangunan dilaksanakan ternyata harus berdampak rusaknya waruga-waruga di tempat itu kemudian menimbulkan ketidaksenangan bagi orang-orang yang memiliki hubungan historis dan kultural dengan waruga. Lalu di kota Manado kasus Texas, misalnya. Pemerintah kota membuat kebijakan untuk membuat taman wisata religi. Pembangunan itu mesti berdampak pada mesjid yang bagi kelompok warga kota tertentu adalah sakral.
Itu baru dua contoh. Mungkin masih akan ditemukan banyak kasus yang memicu konflik karena kebijakan pemerintah yang tidak sensitif keragaman.
Sekali lagi, politisasi kerukunan tidak sama dengan politik kerukunan. Selama ini yang ada mungkin adalah politisasi kerukunan. Politik kerukunan yang antara lain tampak pada kebijakan publik yang peka pada keragaman rasanya belum.
Politisasi kerukunan adalah prestise tapi tidak substansial. Lebih sebagai kebanggaan politis, jargon dan jualan politik dan investasi. Tapi, sesungguhnya kerukunan itu ada. Di Sulut itu adalah usaha-usaha kelompok-kelompok masyarakat, inisiatif warga dengan caranya sendiri. Dan justru, usaha-usaha warga ini sering bermasalah dengan kebijakan-kebijakan publik pemerintah yang tidak sensitif kerukunan.
Ini soal besar sebenarnya. Sebab yang disebut keragaman itu pada satu pihak menunjuk kelompok-kelompok warga yang berbeda-beda identitas, dan pada pihak lain identitas itu terbanyak adalah hal yang sensitif. Sementara masyarakat sebagai subjek penting dari segala upaya politik pemerintah terbentuk oleh struktur-struktur keragaman yang saling terjalin.(*)

Minggu, 01 Maret 2020

Diskusi Buku "Aktivisme Agama & Pembangunan yang Memihak: Esai-esai untuk Sulawesi Utara”

PUKKAT



Selasa, 11 Februari 2020, sore hingga malam, PUKKAT bersama Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat Institut Agama Islam Manado (LP2M IAIN Manado) menggelar  diskusi buku berjudul "Aktivisme Agama & Pembangunan yang Memihak: Esai-esai untuk Sulawesi Utara. Buku ini diterbitkan oleh LP2M IAIN Manado. Dua peneliti PUKKAT, yaitu Riane Elean dan Denni H.R. Pinontoan termasik penulis dalam buku bunga rampai itu. Diskusi diselenggarakan di Sekretariat PUKKAT.


Sebagai pembahas adalah, Sulaiman Mappiasse, Ph.D, dosen IAIN dan Ruth Wangkai, M. Th, seorang aktivis feminis dan Pembina PUKKAT.

Hadir dalam diskusi para aktivis komunitas adat, dosen perguruan tinggi: IAIN, IAKN, STT Parakletos, UKIT, aktivis dan budayawan Minahasa. Salah satu pokok yang terungkap dalam diskusi adalah pentingnya riset-riset mengenai kebijakan publik yang dikaitkan dengan keragaman agama, suku, ras, dan gender. 

Dalam diskusi ini kedua pihak, yaitu PUKKAT dan LP2M IAIN Manado berkomitmen untuk melakukan kerjasama penelitian dan penerbitan buku. Kerjasama ini penting bagi karena selain untuk mengembangkan budaya literasi dan tradisi akademik berupa publikasi berbasis riset, juga untuk meningkatkan kerjasama lintas agama dalam mengkaji masalah-masalah sosial di Sulawesi Utara. 


Pengakuan dan Penerimaan bagi Sesama Berorientasi Seksual LGBTIQ

PUKKAT

Warga negara yang memiliki orientasi seksual lesbian, gay, bisexual, transgender/transsexual, intersex dan queer/questioning sering mendapat perlakuan yang diskriminatif, dalam bentuk pembedaan sosial, pekerjaan, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya. Penolakan terjadi mulai dari keluarga, masyarakat dan apalagi agama. 

PUKKAT berkomitmen pada upaya-upaya edukasi dan advokasi melalui riset, diskusi, dan pendampingan komunitas-komunitas LGBTIQ di Sulawesi Utara. Isu ini kami dekati dengan perspektif multikulturalisme, fenimisme dan jurnalisme.


10 Juli 2015: Diskusi bersama teman-teman Gema Warna Lentera (GWL) Kawanua, Manado, tema  "Sumber dan Bentuk Diskriminasi terhadap LGBT di Minahasa". Tempat Leput Cafe.



18 September 2015: Diskusi tentang "Siapa dan Bagaimana LGBT" oleh kelompok Diskusi Inspirasi Mahasiswa Fakultas Teologi UKIT YPTK di ruang Bengkel Teologi.
Pembicara: Roy Lengkong (Ketua GWL Kawanua Sulut)



Pada 31 Januari 2020, Ruth K. Wangkai, aktivis terlibat dalam menyelenggarakan diskusi buku: Menafsir LGBT dengan Alkitab" karya Prof. Emmanuel Gerrit Singgih, PhD di IAKN, Manado dan Gereja GMIM Sion Winangun.