Selasa, 24 Maret 2020
Jumat, 13 Maret 2020
Artikel, Program
PUKKAT
Maret 13, 2020
Oleh Ruth K.
Wangkai (aktivis PUKKAT)
BERANJAK dari
Zero Point massa aksi dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) bergerak ke Taman Kesatuan Bangsa (TKB). Taman ini yang berada di seputaran pertokoan
lama kota Manado diresmikan tahun 1987, ketika daerah ini masih
menjadi pusat perbelanjaan dan jantung perekonomian SULUT.
Tapi, seiring dengan perubahan politik dan kebijakan otonomi
daerah, berdampak pula pada kebijakan pengembangan pusat ekonomi baru yakni di
kawasan Boulevard. Tempat ini tak lagi seramai tempo dulu. Walau begitu, TKB
tetap menjadi ikon (satu-satunya?) taman kota, di mana berdiri monumen Dotu
Lolong Lasut, yang konon kabarnya dialah perintis kota ini. Monumenya yang berada di tengah taman, tampil
dengan gambaran seorang
pahlawan dengan pedang di
sarung pinggangnya. Apakah gambaran ini mau memberi pesan bahwa Manado ini adalah hasil invansi atau rebutan suku-suku
tertentu, atau memang dia sudah ada sejak dulu sebagai kota merdeka?
Beberapa tahun lalu pemerintah
melakukan pemugaran, memperindah taman ini, dan membangun teater terbuka untuk ekspresi seni dan budaya yang beragam penanda bahwa Manado
adalah kota yang multikultural. Sore hari banyak yang duduk santai bersama
teman atau keluarga. Hanya saja, walau sudah dipugar dan dihias dengan maksud
memperbaiki citra tempat "esek-esek", toch sampai hari ini tempat ini masih lekat dengan stigma
lokasi pelacuran.
Pilihan ke TKB tentu lebih mempertimbangkan fasilitasnya dan
juga keramaian rute angkot ke arah Manado
Timur. Tapi mungkin sadar atau tidak, tak kebetulan juga menentukan lokasi ini
yang masih menjadi "hunian" para pekerja seks di malam hari - menjadi
tempat utk berefleksi, menyentuh kepekaan, dan mengolah rasa - menyatakan kepedulian
dan empati kepada perempuan-perempuan korban stigma dan diskriminasi, korban
kekerasan, dan korban ketidakadilan oleh sistem adat dan budaya, oleh kebijakan
negara, dan juga oleh hukum agama.
Puisi yang
dibacakan oleh Coco, berisi jeritan hati mewakili perempuan-perempuan korban:
perempuan pelacur, perempuan lesbian, dan perempuan tanpa vagina - menyentuh
nurani kita. Kelompok ini termasuk paling rentan mengalami kekerasan berlapis,
mulai dari keluarga sendiri, lingkungan sosial, dan juga negara.
Mereka terhempas oleh struktur masyarakat patriarki yang heteronormatif, yang cenderung menghakimi bahkan mengekslusi
ketimbang berempati dan berjuang bagi pemenuhan hak-hak mereka.
HPI adalah momen merayakan capaian-capaian
dan keberhasilan perempuan-perempuan hebat, mandiri, dan sukses. Tapi HPI juga
adalah kesempatan utk memperkuat komitmen kemanusiaan dan membangun gerakan
bersama: pelibatan laki-laki, rangkul komunitas minoritas SOGIESC, organisasi
lintas iman serta media - bagi kerja-kerja advokasi mewujudkan dunia yang ramah
dan bersahabat bagi semua. Sembari itu, negara perlu diingatkan terus akan
kewajiban pemenuhan HAM perempuan serta akses keadilan bagi korban.
Tema HPI tahun ini sangat relevan bahwa SETIAP ORANG SETARA.
DUNIA YANG SETARA ADALAH DUNIA YANG MEMBERDAYAKAN.(*)
Kamis, 12 Maret 2020
Artikel
Riane Elean
Maret 12, 2020
Merumuskan Sosiologi Gender Minahasa
Oleh: Riane Elean
PERBEDAAN konsep sosiologi gender memang
masih sering menimbulkan debat sampai kini. Paling tidak, berbagai teori
feminis kontemporer yang pernah dirumuskan dapat dikelompokkan dalam empat
kategori cara pandang:
1. Perbedaan Gender
Feminisme Kultural: Memusatkan perhatian pada
eksplorasi nilai-nilai yang dianut perempuan, yaitu bagaimana mereka berbeda
dari laki-laki. Penganut teori menentang argumen esensialis tentang perbedaan
gender yang tidak dapat diutak-atik, yang mula-mula digunakan untuk melawan
perempuan dalam diskursus patriarkal, bahwa perempuan lebih rendah dari
laki-laki. Penganut teori ini justru memuji aspek positif hal yang dipandang
sebagai karakter perempuan seperti kerja sama, belas kasih, pasifime, dan tanpa
kekerasan menyelesaikan konflik.
Peran Institusional: teori ini
mengemukakan bahwa perbedaan gender berasal dari perbedaan peran yang dimainkan
laki-laki dan perempuan dalam berbagai latar institusional. Yang paling
menentukan perbedaan ini diyakini sebagai pembagian kerja secara seksual yang
mengaitkan perempuan pada fungsi sebagai istri, ibu, dan pekerja rumah tangga
(pada wilayah privat dan keluarga), sehingga perempuan memiliki perbedaan
peristiwa dan pengalaman dengan laki-laki.
Analisis Eksistensial dan Fenomenologis:
memusatkan perhatian pada teori perempuan sebagai "yang lain" dalam
kebudayaan yang diciptakan laki-laki. Dunia dianggap telah berkembang dari
kebudayaan yang diciptakan laki-laki dengan mengasumsikan bahwa laki-laki
adalah subjek.
2. Ketimpangan Gender
Feminisme Liberal: perempuan dapat
menklaim kesetaraan dengan laki-laki berdasarkan kemampuan hakiki manusia untuk
menjadi agen moral yang menggunakan akalnya, bahwa ketimpangan gender adalah
akibat dari pola pembagian kereja yang seksis dan patriarkal, dan bahwa
kesetaraan gender dapat dihasilkan dengan mentransformasikan pembagian kerja
melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci: hukum, kerja, keluarga,
pendidikan dan media
3. Penindasan Gender
Feminisme Psikoanalitis: melihat
patriarki sebagai sistem yang sengaja diciptakan dan dipertahankan oleh
laki-laki dalam tindakannya sehari-hari untuk menundukkan perempuan.
Feminisme Radikal: menganggap bahwa
peremuan memiliki nilai mutlak positif sebagai perempuan, keyakinan yang
berlawanan dengan apa yang mereka klaim sebagai perendahan secara universal
terhadap perempuan. Bahwa perempuan di mana pun berada senantiasa tertindas
secara kejam oleh sistem patriarki.
4. Penindasan Struktural
Feminisme Sosialis: analisis utama
mereka bukanlah ketimpangan sosial, melainkan jalinan erat dari begitu banyak
ketimpangan sosial. Mereka mengembangkan potret organisasi sosial tempat di
mana struktur publik ekonomi, politik, dan ideologi berinteraksi dengan proses
privat reproduksi, domestisitas, seksualitas, dan subjektivitas manusia untuk
melestarikan beragam sistem dominasi.
Teori interseksionalitas: teori ini
diawali dari pemahaman bahwa perempuan mengalami pendindasan dalam berbagai
konfigurasi dan dalam berbagai tingkat intensitas. Kendati semua perempuan
secara potensial mengalami penindasan berdasarkan gender, perempuan pun secara
berbeda-beda tertindas oleh beragam interseksi tatanan ketimpangan sosial
(vektor penindasan dan hak istimewa), yang tidak hanya termasuk gender namun
juga kelas, ras, lokasi tertentu di belahan bumi, preferensi seksual dan usia.
Pertanyaan sekarang adalah pengetahuan atau definisi
siapa yang benar dan harus diaplikasi? Barangkali solusi untuk ini adalah
mencari, merumuskan dan menyajikan sintesis gagasan atau mencari teori
integratif dari beragam teori feminis yang ada.
Berdasarkan kategorisasi di atas dapat
disimpulkan beberapa hal terkait sosiologi pengetahuan perempuan:
1. ia selalu diciptakan dari sudut
pandang aktor yang ada di dalam kelompok yang memiliki kedudukan berbeda di
dalam struktur sosial;
2. ia selalu parsial dan sarat
kepentingan, tidak pernah menyeluruh dan objektif
3. ia dihasilkan di dalam dan di
berbagai kelompok, dan pada batas-batas tertentu, antar aktor di dalam kelompok
4. ia selalu dipengaruhi oleh relasi
kekuasaan: apakah dirumuskan dari sudut pandang yang mendominasi maupun
subordinasi.
Dengan demikian, untuk merumuskan
sosiologi dari sudut pandang perempuan, laki-laki atau gender- gender lainnya
maka langkah pertama yang wajib dituntaskan adalah membahas apa yang dimaksud
dengan "sudut pandang" perempuan, laki-laki atau gender lainnya itu
sendiri. Karena sudut pandang adalah produk kolektivitas sosial yan memiliki
sejarah memadai dan kesamaan situasi sehingga mampu membentuk suatu pengetahuan
bersama tentang relasi sosial. Barangkali kita masih berada pada titik
pencarian apa yang disebut dengan "teori integratif' tersebut. Barangkali
apa yang bisa kita pelajari dari bahasan singkat ini bisa memberi kontribusi
dalam proses penemuan itu. Dari catatan ini, ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan:
1. Hubungan penguasaan: terkait dengan aktivitas
sosial kompleks yang terkait satu dengan yang lain, yang mengontrol produksi
manusia.
2. Aktualitas lokal pengalaman hidup:
terkait dengan tempat beberapa orang secara aktual (duduk, membaca, menulis,
dsb)
3. Teks, yang dicirikan oleh anonimitas,
generalitas, dan otoritas esensial: teks didesain untuk memolakan dan
menerjemahkan kehidupan nyata, pengalaman spesifik, menjadi bentuk bahasa yang
bisa diterima bagi hubungan penguasaan.
Tiga aspek di atas harus dipelajari
sebagai tindakan, hubungan, dan kerja subjek manusia yang ada di dalamnya.
Sinergi tiga poin itu akan sangat menentukan bagaimana interaksi antar
elemen-elemen struktur dalam masyarakat itu berpadu.
Catatan untuk Minahasa:
Relasi sosial Tou (perempuan, laki-laki
dan gender lainnya) di Minahasa bersifat khas dan tidak bisa digeneralisir.
Identitas Minahasa turut dibentuk oleh pengalaman historis, Karakteristik
budaya, tatanan geopolitik, termasuk tantangan dan peluang yang berlangsung
dinamis. Sehingga konsep sosiologi gender Minahasa seharusnya merupakan rumusan
yang ditarik dari karakteristik tersebut.
Ke arah mana citra sosiologi gender
Minahasa akan di bawah sangat tergantung juga dari penguasa (sistem dominan),
interpretasi dan aktualisasi subjektif terhadap berbagai hal, dan media
propaganda.
Kesadaran kolektif orang Minahasa adalah
bahwa kita (Tou Minahasa) adalah "esa ene" yang religius dan
egaliter. Upaya aktualisasi kesadaran kolektif dalam sistem dominan,
interpretasi subjektif dan propaganda adalah tanggung jawab bersama, sehingga
"sosiologi gender" kita benar-benar Minahasa dan fungsional.
Bahan
Bacaan:
Darwin, Muahdjir M. 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Media Wacana
Hubeis, Aida Vitayala S. 1996.
"Dimensi Gender dan Demokratisasi" dalam Merebut Masa Depan. Jakarta:
PT. Amanah Putra Nusantara
Ritzer, George
& Douglas J. Goodman. 2008. Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
----------------------------------------------------.
2007. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prenada Media Group
Sihab, Quraish. 1996. "Dimensi
Gender, Konsep Keluarga dan Demokratisasi" dalam Merebut Masa Depan.
Jakarta: PT. Amanah Putra Nusantara
Taulu, H. M. 1981. Sejarah dan Anthropologi Budaya Minahasa. Manado: Toko Buku Tunas
Harapan.
Rabu, 11 Maret 2020
Program
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) bekerjasama dengan sejumlah lembaga lainnya: PERUATI Tanah Minahasa, Swara Parampuang, AJI Manado, LP2M IAIN Manado, Peka & DP2A Provinsi Sulut menggelar diskusi publik dengan topik "Mekanisme Penghapusan Kekerasan Seksual", sebuah subjek yang dipilih masih dalam dalam rangkaian peringatan International Women's Day (IWD) 2020,
Diskusi yang digelar Selasa (10/03/2020) di kampus IAIN Manado menghadirkan narasumber, Founder PUKKAT & Pembina BPN Peruati Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulut Ir Mieke Pangkong MSi, Wakil Rektor I IAIN Manado Dr Ahmad Rajafi Sahran, Wakil Rektor III IAIN Manado Musdalifah Dachrud SAg MPsi, dan Ketua PSGA IAIN Manado Lies Karyati MEd.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua KOPRI Cabang Metro Manado Nurila Lasene ini, Wangkai mengulas tentang berbagai defisini kekerasan seksual. Aktifis feminis ini juga menjelaskan 9 jenis kekerasan dan contoh-contohya seperti termuat di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selanjutnya Pangkong membahas tentang berbagai program pemerintah terkait upaya menurunkan angka kekerasan seksual. Termasuk membeberkan data-data angka kekerasan seksual yang terjadi.
Musdalifah memaparkan tentang bagaimana upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada PT Keagamaan Islam.
Lies yang tampil sebagai pembicara berikutnya mengatakan, kekerasan seksual ibarat gunung es. Senada dengan Musdalifah, dia mengatakan penanganan kasus ini butuh pelaporan secara tertulis. Namun yang terpenting tidak hanya pelaporan, tetapi ada advokasi.
Rajafi yang berbicara di sesi akhir menyayangkan fakta bahwa orang lebih suka fokus pada apa yang tertulis dalam kitab suci ketimbang apa yang menjadi substansinya. Hal ini yang menyebabkan diskriminasi masih terus terjadi.
Ia juga menjelaskan mengapa muncul Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 itu karena negara tidak selesai dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebagai tindak lanjut di lingkungan perguruan tinggi khususnya di IAIN Manado, menurutnya, PSGA dan Warek 3 akan mengeluarkan turunan keputusan Dirjen Pendidikan Islam tersebut.
Wangkai dalam statement terakhirnya menanggapi pertanyaan peserta diskusi menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan maupun gender lainnya akan terus terjadi apabila tidak ada perubahan mindset. "Meskipun ada upaya-upaya dari berbagai pihak untuk mengurangi angka kekerasan tapi tidak disertai dengan upaya untuk mengubah mindset masyarakat maka upaya ini akan sia-sia" ujarnya.
Hadir juga dalam diskusi ini dosen dan mahasiswa IAIN Manado, Aliansi Peduli Perempuan Sulut, PMII Metro Manado, pegiat berbagai LSM, serta sejumlah jurnalis. (Ian)
PUKKAT
Maret 11, 2020
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) bekerjasama dengan sejumlah lembaga lainnya: PERUATI Tanah Minahasa, Swara Parampuang, AJI Manado, LP2M IAIN Manado, Peka & DP2A Provinsi Sulut menggelar diskusi publik dengan topik "Mekanisme Penghapusan Kekerasan Seksual", sebuah subjek yang dipilih masih dalam dalam rangkaian peringatan International Women's Day (IWD) 2020,
Diskusi yang digelar Selasa (10/03/2020) di kampus IAIN Manado menghadirkan narasumber, Founder PUKKAT & Pembina BPN Peruati Pdt Ruth Ketsia Wangkai MTh, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulut Ir Mieke Pangkong MSi, Wakil Rektor I IAIN Manado Dr Ahmad Rajafi Sahran, Wakil Rektor III IAIN Manado Musdalifah Dachrud SAg MPsi, dan Ketua PSGA IAIN Manado Lies Karyati MEd.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Ketua KOPRI Cabang Metro Manado Nurila Lasene ini, Wangkai mengulas tentang berbagai defisini kekerasan seksual. Aktifis feminis ini juga menjelaskan 9 jenis kekerasan dan contoh-contohya seperti termuat di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selanjutnya Pangkong membahas tentang berbagai program pemerintah terkait upaya menurunkan angka kekerasan seksual. Termasuk membeberkan data-data angka kekerasan seksual yang terjadi.
Musdalifah memaparkan tentang bagaimana upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di perguruan tinggi sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada PT Keagamaan Islam.
Lies yang tampil sebagai pembicara berikutnya mengatakan, kekerasan seksual ibarat gunung es. Senada dengan Musdalifah, dia mengatakan penanganan kasus ini butuh pelaporan secara tertulis. Namun yang terpenting tidak hanya pelaporan, tetapi ada advokasi.
Rajafi yang berbicara di sesi akhir menyayangkan fakta bahwa orang lebih suka fokus pada apa yang tertulis dalam kitab suci ketimbang apa yang menjadi substansinya. Hal ini yang menyebabkan diskriminasi masih terus terjadi.
Ia juga menjelaskan mengapa muncul Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 itu karena negara tidak selesai dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebagai tindak lanjut di lingkungan perguruan tinggi khususnya di IAIN Manado, menurutnya, PSGA dan Warek 3 akan mengeluarkan turunan keputusan Dirjen Pendidikan Islam tersebut.
Wangkai dalam statement terakhirnya menanggapi pertanyaan peserta diskusi menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan maupun gender lainnya akan terus terjadi apabila tidak ada perubahan mindset. "Meskipun ada upaya-upaya dari berbagai pihak untuk mengurangi angka kekerasan tapi tidak disertai dengan upaya untuk mengubah mindset masyarakat maka upaya ini akan sia-sia" ujarnya.
Hadir juga dalam diskusi ini dosen dan mahasiswa IAIN Manado, Aliansi Peduli Perempuan Sulut, PMII Metro Manado, pegiat berbagai LSM, serta sejumlah jurnalis. (Ian)
Senin, 09 Maret 2020
Agenda, Program
Riane Elean
Maret 09, 2020
PUKKAT menunjukkan komitmennya lagi. Senin, 9 Maret 2020, bersama
dengan sejumlah lembaga masyarakat sipil berkumpul di Zero Poin, Manado. PUKKAT
melakukan aksi damai dengan menyerukan tuntutan perjuangan bersama bagi
keadilan dan kesetaraan bagi perempuan sekaligus menolak produk-produk hukum yg
mendiskriminasikan perempuan.
Momentum ini juga dipakai PUKKAT untuk memperkokoh visi dan
komitmen bersama para pejuang kemanusiaan lainnya.
SETIAP ORANG SETARA
DUNIA YANG SETARA ADALAH DUNIA YANG MEMBERDAYAKAN.
#IWD2020
#EachforEqual
#AnEqualWorldIsAnEnabledWorld
#PUKKAT
Kamis, 05 Maret 2020
Program
PUKKAT
Maret 05, 2020
PUKKAT bekerja
untuk penguatan kapasitas jurnalis melalui pelatihan-pelatihan jurnalistik.
PUKKAT memberi perhatian pada pengetahuan dan ketrampilan meliput dan menulis isu-isu
keragaman.
Di dalam negara
demokrasi, jurnalis memiliki peran yang signifikan pers dan media dalam fungsi
edukasi dan kontrolnya.
Bagi PUKKAT,
penguatan kapasitas jurnalis adalah bagian penting dalam upaya menguatkan peran
dan fungsi pers untuk demokrasi.
Senin, 02 Maret 2020
Artikel
PUKKAT
Maret 02, 2020
Oleh Denni H.R. Pinontoan (Peneliti PUKKAT)
POLITISASI kerukunan berbeda dengan politik kerukunan. Politisasi identitas berbeda dengan politik pengelolaan keragaman identitas.
Sulut mengklaim sebagai daerah terukun. Tapi kerukunan ada dinamikanya. Negara menekan keragaman demi stabilitas disebut kerukunan. Orang-orang yang berbeda identitas saling menjaga batas-batasnya, berusaha untuk menahan diri meski didiskriminasi itu juga dapat menciptakan kerukunan. Kerukunan politis namanya.
Kota Manado mendapat pengakuan sebagai kota tertoleran. Benar. Tentu pada hal-hal yang dilihat sebagai indikator menurut konsep kerukunan tertentu.
Tapi, apakah daerah ini memiliki politik kerukunan atau politik pengelolaan keragaman yang kemudian menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang sensitif kerukunan?
Contoh, apakah di dalam desain-desain pembangunan jangka pendek dan panjang, misalnya pengembangan wilayah-wilayah ekonomi, pemukiman (a.l. melalui RT/RW) dslbnya telah memperhatikan kemungkinan adanya kelompok-kelompok identitas yang terpinggirkan? Apakah dalam penataan kota, misalnya pendirian asesoris-asesoris kota seperti monumen, menara, dlsb telah mempertimbangkan aspirasi atau paham-paham kelompok tertentu, yang entah dapat menyebabkan ketersinggungan atau perasaan terpinggir?
Contoh kasus misalnya pembangunan bendungan di Kuwil. Ketika pembangunan dilaksanakan ternyata harus berdampak rusaknya waruga-waruga di tempat itu kemudian menimbulkan ketidaksenangan bagi orang-orang yang memiliki hubungan historis dan kultural dengan waruga. Lalu di kota Manado kasus Texas, misalnya. Pemerintah kota membuat kebijakan untuk membuat taman wisata religi. Pembangunan itu mesti berdampak pada mesjid yang bagi kelompok warga kota tertentu adalah sakral.
Itu baru dua contoh. Mungkin masih akan ditemukan banyak kasus yang memicu konflik karena kebijakan pemerintah yang tidak sensitif keragaman.
Sekali lagi, politisasi kerukunan tidak sama dengan politik kerukunan. Selama ini yang ada mungkin adalah politisasi kerukunan. Politik kerukunan yang antara lain tampak pada kebijakan publik yang peka pada keragaman rasanya belum.
Politisasi kerukunan adalah prestise tapi tidak substansial. Lebih sebagai kebanggaan politis, jargon dan jualan politik dan investasi. Tapi, sesungguhnya kerukunan itu ada. Di Sulut itu adalah usaha-usaha kelompok-kelompok masyarakat, inisiatif warga dengan caranya sendiri. Dan justru, usaha-usaha warga ini sering bermasalah dengan kebijakan-kebijakan publik pemerintah yang tidak sensitif kerukunan.
Ini soal besar sebenarnya. Sebab yang disebut keragaman itu pada satu pihak menunjuk kelompok-kelompok warga yang berbeda-beda identitas, dan pada pihak lain identitas itu terbanyak adalah hal yang sensitif. Sementara masyarakat sebagai subjek penting dari segala upaya politik pemerintah terbentuk oleh struktur-struktur keragaman yang saling terjalin.(*)
Minggu, 01 Maret 2020
Program
Selasa, 11 Februari 2020, sore hingga malam, PUKKAT bersama Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat Institut Agama Islam Manado (LP2M IAIN Manado) menggelar diskusi buku berjudul "Aktivisme Agama & Pembangunan yang Memihak: Esai-esai untuk Sulawesi Utara.” Buku ini diterbitkan oleh LP2M IAIN Manado. Dua peneliti PUKKAT, yaitu Riane Elean dan Denni H.R. Pinontoan termasik penulis dalam buku bunga rampai itu. Diskusi diselenggarakan di Sekretariat PUKKAT.
PUKKAT
Maret 01, 2020
Selasa, 11 Februari 2020, sore hingga malam, PUKKAT bersama Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat Institut Agama Islam Manado (LP2M IAIN Manado) menggelar diskusi buku berjudul "Aktivisme Agama & Pembangunan yang Memihak: Esai-esai untuk Sulawesi Utara.” Buku ini diterbitkan oleh LP2M IAIN Manado. Dua peneliti PUKKAT, yaitu Riane Elean dan Denni H.R. Pinontoan termasik penulis dalam buku bunga rampai itu. Diskusi diselenggarakan di Sekretariat PUKKAT.
Sebagai pembahas adalah, Sulaiman
Mappiasse, Ph.D, dosen IAIN dan Ruth
Wangkai, M. Th, seorang aktivis feminis dan Pembina PUKKAT.
Hadir dalam diskusi para aktivis komunitas adat, dosen perguruan tinggi: IAIN, IAKN, STT Parakletos,
UKIT, aktivis dan budayawan Minahasa. Salah satu pokok yang terungkap dalam diskusi adalah pentingnya riset-riset mengenai kebijakan publik yang dikaitkan dengan keragaman agama, suku, ras, dan gender.
Dalam diskusi ini kedua pihak, yaitu PUKKAT dan LP2M IAIN Manado berkomitmen untuk melakukan kerjasama penelitian dan penerbitan buku. Kerjasama ini penting bagi karena selain untuk mengembangkan budaya literasi dan tradisi akademik berupa publikasi berbasis riset, juga untuk meningkatkan kerjasama lintas agama dalam mengkaji masalah-masalah sosial di Sulawesi Utara.
Program
PUKKAT
Maret 01, 2020
Warga negara yang
memiliki orientasi seksual lesbian, gay, bisexual, transgender/transsexual,
intersex dan queer/questioning sering mendapat perlakuan yang diskriminatif, dalam
bentuk pembedaan sosial, pekerjaan, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya.
Penolakan terjadi mulai dari keluarga, masyarakat dan apalagi agama.
PUKKAT
berkomitmen pada upaya-upaya edukasi dan advokasi melalui riset, diskusi, dan
pendampingan komunitas-komunitas LGBTIQ di Sulawesi Utara. Isu ini kami dekati
dengan perspektif multikulturalisme, fenimisme dan jurnalisme.
10 Juli 2015: Diskusi
bersama teman-teman Gema
Warna Lentera (GWL) Kawanua, Manado, tema "Sumber dan Bentuk Diskriminasi
terhadap LGBT di Minahasa". Tempat Leput Cafe.
18 September 2015: Diskusi
tentang "Siapa dan Bagaimana LGBT" oleh kelompok Diskusi Inspirasi
Mahasiswa Fakultas Teologi UKIT YPTK di ruang Bengkel Teologi.
Pembicara: Roy Lengkong (Ketua GWL Kawanua Sulut)
Pada 31 Januari 2020, Ruth K. Wangkai, aktivis terlibat dalam menyelenggarakan diskusi buku: “Menafsir
LGBT dengan Alkitab" karya Prof. Emmanuel Gerrit Singgih, PhD di IAKN,
Manado dan Gereja GMIM Sion Winangun.
Langganan:
Postingan (Atom)