Pada negara majemuk seperti
Indonesia, identitas agama dan etnis menyimpan kerentanan-kerentanan tertentu.
Terutama ketika identitas telah dipolitisasi sedemikian rupa menjadi ideologi
eksklusif. Konflik dan kekerasan dapat kapan saja meledak. Dalam kehidupan
sosial sehari-hari, sangat terasa polarisasi antara kelompok-kelompok yang
membawa identitas tertentu.
Dalam konteks Sulawesi Utara
di masa pandemi ini, justru polarisasi berdasarkan identitas dan agama tersebut
muncul dalam bentuk aksi kelompok yang membawa simbol dan emosi identitas agama
dan etnis. Pada tanggal 1 Juni, sekelompok orang menolak jenasah yang berstatus
PDP dimakamkan dengan protokol Covid-19 yang meninggal di Rumah Sakit Pancaran
Kasih Manado. Aksi penolakan maupun reaksi terhadap aksi itu dengan kasat mata
menampikan simbol-simbol identitas keagamaan Islam dan Kristen.
Lalu pada tanggal 14 Juni,
terjadi perkelahian antar kelompok warga Keluarahan Kampung Jawa Tondano dengan
kelompok Kelurahan Marawas. Perkelahian yang terjadi di kebun itu menewaskan
seorang warga dari kelurahan Marawas. Kejadian itu dapat dengan mudah direspon
secara bias agama dan etnis, karena secara faktual dua kampung tersebut secara
jelas berbeda secara agama dan etnis.
Meski kejadian-kejadian ini
jelas dipicu bukan oleh sentimen agama dan etnis, tapi rupanya bagi
kelompok-kelompok tertentu peristiwa-peristiwa itu lebih mudah direspon secara
agamis dan etnis. Mengapa dalam masyarakat kita (Indonesia dan Sulawesi Utara)
identitas agama dan etnis dapat dengan mudah dipolitisasi menjadi sikap
penolakan atau balas dendam? Mengapa identitas agama dan etnis begitu sensitif
dalam relasi-relasi sosial, terlebih politis? Faktor-faktor apa yang menjadi
pemicunya?
Untuk membedah masalah
kerentanan-kerentanan yang muncul dalam masyarakat majemuk identitas, terutama
dalam konteks pandemi, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT()
bekerjsama sama dengan Mawale Cultural Center, Komunitas Mapatik, Institut SEBUMI, Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi
Utara dan Kelung.com menyelenggarakan seri diskusi topik mengenai “Persoalan Keragaman
Identitas di Tengah Pandemi”.
Seri diskusi pertama
dilaksanakan dalam bentuk talkshow pada Jumat, 26 Juni 2020, pukul 16.00 –
18.00 via aplikasi Zoom. Sebagai pemantik adalah: 1. Nia Sjarifudin (ANBTI)
2. Pdt. Drs. David Tular
(Teolog Gereja Masehi Injili di Minahasa)
3. Rusli Umar (Aktivis NU
Sulawesi Utara)
4. Ir. Jhon F. Mailangkay
(Brigade Manguni Indonesia Minahasa)
5. Amir Liputo (Anggota DPRD
Provinsi Sulawesi Utara)
6. Dr. Denni Pinontoan
(PUKKAT).
Sebagai moderator Rikson Ch.
Karundeng.
Diskusi seri kedua
mengangkat topik “Merawat Keragaman Identitas dalam Solidaritas Kemanusiaan”
yang dilaksanakan pada Jumat, 3 Juli 2020, jam 18.00 - 21.00 wita via aplikasi
zoom. Topik ini diangkat berangkat dari beberapa kasus yang terjadi di tengah
pandemi, yang mengusung simbol-simbol agama dan etnis tertentu dan mencoba
membedah faktor-faktor kerentanan politisasi identitas di SULUT dan di
Indonesia pada umumnya.
Diskusi kali ini menyorot
upaya merawat keragaman melalui kerja-kerja interfaith dan aksi-aksi konkrit
lintas identitas dari beragam perspektif dan pengalaman.
Para pemantik dalam diskusi
ini adalah:
1. Wawan Gunawan M.Ud - Jakatarub, Bandung - Jawa Barat
2. Ws. Sofyan Yosadi, SH. - pengurus nasional MATAKIN, budayawan Tionghoa.
3. Ir. Deeby Momongan,
M.Min. - aktivis interfaith.
4. Sulaiman Mappiasse, Ph.D.
- akademisi IAIN Manado
5. Iswan Sual, S.Pd. -
penghayat kepercayaan Malesung dan pengurus MLKI Sulawesi Utara
6. Ruth Ketsia Wangkai,
M.Th. - PUKKAT
Sebagai moderator Riane
Elean dan Rivo Gosal.