Minggu, 24 Juli 2022

Budaya dan Agama di Tanah Minahasa

Riane Elean

Ruth Wangkai, Greenhill Weol dan Denni Pinontoan menjadi pemantik diskusi "Budaya dan Agama di Tanah Minahasa" yang dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Makatana Minahasa, 24 Juli 2022 di Cafe Bahug Tikala. Kegiatan ini berlangsung sukses dimoderatori Chandra Rooroh. 
 

Kamis, 21 Juli 2022

Digital Culture

Riane Elean

 

Greenhill Weol (Peneliti PUKKAT) menjadi narasumber dalam program Digital Life Style yang dilaksanakan Smart FM Manado 21 Juli 2022. Hadir bersama sebagai narasumber Jackelin Lotulung (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi) dan Odi Kaunang (Pengamat Teknologi Digital).

Saksikan rekaman dialog di sini

Selasa, 19 Juli 2022

Media, Keragaman dan Advokasi

Riane Elean


Keragaman adalah niscaya. Secara positif, keragaman dalam masyarakat dipandang sebagai modal sosial untuk saling melengkapi dalam upaya mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bersama. Namun sering ia dipandang negatif. Menjadi ancaman terhadap kemapanan dan kenyamanan para aktor yang membungkus diri dalam sebuah ideologi yang mendominasi.

Ideologi itu dipropaganda. Cara kerjanya adalah demikian: realitas dipotret dan dibahasakan sesuai kepentingan. Ia kemudian disebar melalui beragam media. Khalayak disuguhi standar, yang dari padanya segala sesuatu ditakar. Benar-salah, normal-tidak normal, etis-tidak etis, hitam-putih, sorga-neraka. Perspektif masyarakat terkonstruksi dalam lingkaran hegemoni wacana.

Patriarkhi dan Kapitalisme menjadi ideologi yang diaminkan orang. Padahal ia sangat rakus memakan korban, dan kelompok yang paling rentan menjadi mangsa adalah perempuan, anak, kelompok LGBTIQ, kaum difabel, masyarakat adat maupun penganut kepercayaan. 

Ini harus dilawan. Media harus menjadi alat perlawanan terhadap segala ideologi yang menindas. Mengedukasi masyarakat dan para jurnalis tentang perspektif keberagaman harus jadi prioritas. Media harus menjadi alat advokasi bagi mereka yang terdiskriminasi.

Dalam kesadaran itu sebuah diskusi digagas PUKKAT. Rekan-rekan jaringan terundang. Mas Thowik dari Serikat Jurnalis untuk Keragaman hadir memberi perspektif, bersama Iswan Sual, penghayat Lalang Rondor Malesung (Laroma) yang belum lama didera stigma dan kekerasan berupa penghancuran tempat beribadahnya bersama komunitas. Hadir juga Nedine Sulu, berbagi cerita tentang "Media sebagai Alat Advokasi Hak Masyarakat Adat. Riane Elean membahas "Media dan Keragaman Gender dan Seksualitas", dan Greenhill Weol membahas "Media online: Kecepatan dan Kekaburan". Puluhan orang hadir dalam diskusi yang dipandu Yonatan Kembuan ini.

Di akhir diskusi kami menyatakan dukungan terhadap kawan kami Iswan dan komunitasnya, dengan menyatakan komitmen menolak diskriminasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. #kamibersamalaroma (Riane)





 

Sabtu, 16 Juli 2022

Negosiasi Perempuan dalam Gereja: Perspektif Sosio-Kultural

Riane Elean


Topik ini menjadi perhatian dan pembahasan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Seni dan Ilmu Sosial Keagamaan, IAKN Manado bersama dgn PUKKAT, Sabtu, 16 Juli 2022.

Menarik bahwa studi Feminisme, selain menjadi mata kuliah wajib di IAKN, lembaga ini juga mulai membangun kerjasama dengan PUKKAT dalam kajian serta kerja-kerja riset ke depan seputar isu-isu terkait.

Diskusi yang mengangkat tema "Negosiasi Perempuan dalam.Gereja" menyorot beberapa poin penting, yang dimulai oleh Sdri Lidya Kandowangko (Kaprodi Sosiologi Agama, IAKN), yang menyampaikan paparan dari hasil risetnya tentang perempuan di kepulauan. Dilanjutkan oleh Sdri Riane Elean, yg menggali posisi dan peran-peran publik perempuan dalam struktur sosio-kultural Minahasa. 

Sebagai pemantik terakhir, saya mencoba menyorot beberapa upaya negosiasi  perempuan di tengah dominasi maskulinitas misi awal kekristenan di tanah Minahasa, serta peran perempuan dalam gereja kini. 

Kerap kita mengatakan bahwa  patriarki mulai menguat dalam sturktur sosial di tanah Minahasa sejak kedatangan agama Kristen  bersamaan dgn kolonialisme. Namun, sekental apa pun sistem ini melembaga, peran misional perempuan pada masa itu mampu menciptakan ruang-ruang negosiasi bagi perjuangan keadilan & kesetaraan gender, utamanya dalam mengakses hak literasi serta hak politik perempuan, tetapi juga dalam berkontribusi bagi perubahan struktur sosial, bahkan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. 

Pertanyaan bagi kita sebagi auto-kritik adalah apakah peran-peran kita, perempuan- perempuan (dalam) gereja kini, juga terarah untuk menciptakan ruang-ruang negosiasi  mewujudkan gereja yg inklusif, humanis, adil gender, serta berperspektif ekologis ... atau hanya sekedar raih kuasa & dapat jabatan titik. 

Oya, di sela-sela diskusi, masih juga terdengar suara sumbang, kata-kata yang diulang-ulang oleh para patriarkh yang terlena dengan romantisme masa lalu budaya Minahasa yang  egaliter. Itu dulu, bukan fakta hari ini di sini, yang  marak dengan tindak kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Inses, apalagi, merupakan fenomena ril di sekitar kita. Ironisnya masih ada orang denga entengnya mengatakan "itu fenomena global," tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa keprihatinan dan kepedulian terhadap begitu banyak korban berjatuhan.

Untuk itu langkah yang dikerjakan oleh PUKKAT & IAKN diharapkan akan terus berlanjut dgn aksi-aksi konkrit, dan bersama dgn lembaga-lembaga advokasi terkait lainnya, kiranya akan memperkuat perjuangan  bersama bagi pembebasan dan transformasi (Ruth Ketsia Wangkai)






Agama Tua Minahasa: Diskursus dan Fakta

Riane Elean

Dua malam lalu kami terlibat dalam perbincangan online seputar agama tua Minahasa difasilitasi oleh Mawale Movement, sebuah gerakan budaya, bersama dengan PUKKAT (Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur). Para pemantik terdiri dari para akademisi, aktivis, advokat, praktisi, serta pemerhati budaya. Waktu tiga jam ber-zoom-meeting terasa tak cukup untuk berbagi pandangan dan pengalaman dari beragam perspektif sesuai kapasitas masing-masing. Malah tak hanya para pemantik yang bicara, para peserta pun terlibat aktif menyampaikan pendapat dan pengetahuannya memperkaya diskusi.

Istilah "tua" dalam judul ini dipakai terutama untuk menunjuk pada fase kehadiran agama ini, jauh sebelum agama-agama pendatang bercokol di tanah Minahasa. Ia telah ada bersamaan dgn kehadiran nenek moyang kita, tou Minahasa - yang pada merekalah kita, para cicit-buyut, terhubung secara biologis sepanjang masa. Sekalipun telah terkonversi ke agama apa pun, ikatan ini tak akan lekang oleh waktu. Sistem kepercayaan boleh beda, tetapi keterpautan dengan leluhur melebur dalam darah daging kita sebagai sesama saudari/a, sembari terpatri dalam memori kolektif dari generasi ke generasi selanjutnya. 

Sebagai sebuah sistem kepercayaan, baik nilai maupun praktek, agama tua Minahasa tetap eksis sampai hari ini. Fenomena ritual masih tetap dijalankan, kendati katanya sudah memeluk agama Kristen. Jika mau jujur, terbuka dan kritis, tak hanya nilai-nilai kultural, tapi ada juga unsur-unsur tertentu dari "kepercayaan lama" yang masih terbawa terus dan terintermalisasi ke dalam praktek hidup orang Kristen hari ini.  

Sebagai sebuah diskursus,  meminjam istilah lain yakni agama lokal, tak hanya menjadi perhatian para pemeluknya, tetapi juga diperbincangkan di dunia akademis (kampus), termasuk di lembaga pendidikan teologi. Saya sendiri mengenal agama tua Minahasa justru saat studi di STT (sekarang bernama STFT) Jakarta. Nomenklatur yang dipakai sebagai nama mata kuliah ini yakni Agama Suku. Sejak itulah saya, yang nyaris tercabut dari akar budaya leluhur, mulai tertarik mempelajarinya. Ketika menjadi dosen di UKIT, saya turut mengampu mata kuliah ini sebagai mata kuliah wajib, selain mata kuliah agama Hindu, Buddha, juga Islam (major interest). Mengapa mata kuliah ini wajib diajarkan dan dipelajari di lembaga pendidikan teologi? Alasannya adalah konteks berteologi di Indonesia, yang tak dapat dilepaskan dari pluralitas agama pun etnis. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi yakni Asia, seperti dikatakan oleh Aloysius Pieris, adalah rahim dari banyak agama. 

Salah satu studi untuk mempelajari agama-agama termasuk agama suku adalah Fenomenologi Agama. Studi ini mencoba mendekati agama-agama sebagaimana adanya, yaitu sebagaimana yang diajarkan oleh agama-agama itu sendiri. Pendekatan ini tentu berbeda sekali dari pendekatan sebelumnya, yang dipakai di sekolah-sekolah teologi, yakni pendekatan yang mempertentangkan ajaran atau kepercayaan agama-agama lain dengan iman Kristen. Buku-buku yang menjadi sumber rujukan pendekatan ini di antaranya karangan Honieg  "Ilmu Agama," yang dikenal dengan metode "elenktis"nya & karangan Harun Hadiwijono "Religi Suku Murba di Indonesia."  Tentu studi  fenomenologi agama dan mata kuliah agama suku, serta bahan ajar terkait lainnya, tak sekedar wacana belaka, apalagi hanya untuk memenuhi tuntutan SKS, tetapi, dan ini utamanya, adalah untuk terampil dalam kerja dan praksis berteologi dalam konteks Indonesia yang majemuk. Kemajemukan diterima sebagai realitas obyektif dan sosiologis bangsa kita.

Akan tetapi, tak dapat disangkal, fakta memperlihatkan secara kasat mata bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama-agama lokal nyatanya tersubordinasi di bawah hegemoni agama-agama mainstreaming. Padahal secara konstitusional agama dan kepercayaan apa pun semuanya dilindungi oleh negara dan sama di hadapan hukum. Tak ada istilah mayoritas-minoritas. Demikian pun eksistensi para penghayat, malah semakin dikuatkan  oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 bahwa "negara  harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)." Adanya jaminan konstitusi dan keputusan MK tersebut menegaskan bahwa negara wajib memberi ruang dan akses yang sama kepada komunitas penghayat untuk dapat mengeksresikan keyakinannya, tanpa ada tekanan dari siapa pun dan atau dari kelompok agama mana pun. Salam nusantara! Salam keragaman! (RKW_150722) 


Harmoni

Riane Elean

Malam ini, Tomohon hangat. Angin di kaki Lokon berdamai dalam bincang di vorrest kantor Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), Kakaskasen. Suara saudara-saudara dari seberang, terangkai dalam harmoni bersama aroma jagung manis bakar dan dabu-dabu trasi Malesung.

Ada Tina Mansoben dari Biak dan Alfani Mandowen dari Biak Barat, Papua, Alfino Osila Putra dan Kidung Widya Satryaji dari Yogyakarta, Kalvin Toban Palilu dari Rantepao-Toraja, Sulawesi Selatan, Jovindy Darenso dari Talaud, Delvis Zatmiko dari Halmahera Barat, Maluku Utara, dan Steven Taebani dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Hati melompat gembira, mendengar narasi-narasi cinta dan persaudaraan dalam perbedaan. 

Kami berbeda tanah kelahiran, beda suku dan budaya, beda organisasi keagamaan, beda latar pendidikan dan kompetensi, beda ideologi, beda pilihan politik, beda gender dan seksualitas, tapi kami bersua di simpang cita-cita kemanusiaan. Visi serasa dalam rindu memandang masa depan bumi tempat berpijak dan manusia yang mendiaminya.

Kami rindu kemerdekaan utuh sang manusia. Duduk sehidangan bersama-Nya dalam ritus syahdu, mengekspresikan keyakinan iman tanpa reaksi miring, teriakan kebencian, intervensi, dan intimidasi mahluk manapun yang merasa lebih mulia.

Malam ini, kami; Pendeta Ruth, Pendeta Steven, Denni, Green, Erny, Riane, Leonard, Edzar, Sian, Rikson, sangat bersukacita. Jendela sedih sedikit terbuka, karena Kidung dan Kalvin akan segera terbang ke Kota Gudeg. Sedikit saja, karena Wale Pukkat yakin masih ada rangkaian jumpa tuk berbagi kisah dan semangat dalam menjaga kemanusiaan.

Sanga Khalik selalu menjaga dan memberkati juang mengecap rindu ๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡๐Ÿ˜‡ (Rikson)

Agama Leluhur Minahasa dalam Kebudayaan Kita Hari Ini

Riane Elean

Agama leluhur Minahasa tentu sudah eksis sejak peradaban Minahasa terbentuk. Seperti semua agama, sistem kepercayaan ini terungkap melalui mitologi, ritus, kultus dan etiknya. Tentu di masa ia satu-satunya kepercayaan di Minahasa semua itu menjadi praktik keagamaan yang tidak perlu diberi nama. Nanti ketika para zendeling, etnolog  dan filolog Eropa datang mereka mulai mengkategorisasi dan memberi nama sesuai paham kebudayaan mereka. 

Para zendeling NZG, sejak kedatangan Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel tahun 1831 telah berusaha sekuat tenaga mereka untuk mengganti sistem kepercayaan Minahasa dengan agama Kristen. Tentu upaya itu menurut doktrin yang mereka anut sebagai orang Kristen Eropa. Zendeling terus berdatangan setelah mereka, upaya terus dilakukan. Pada akhirnya, hingga awal abad ke-20 hampir seluruhnya orang Minahasa sudah menjadi Kristen. 

Tapi, agama leluhur Minahasa rupanya tidak musnah seluruhnya. Tahun 1918 terjadi wabah. Sebuah negeri di Tonsea melalukan ritual agama leluhur mereka, demikian juga di wilayah Ratahan. Ini memberi petunjuk, bahwa praktik dan pemahaman-pemahaman keagamaan agama leluhur rupanya tetap hidup bersama kekristenan yang semakin domiman. 

Buku Ensiklopedi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diterbitkan oleh direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, antara mendaftar sejumlah organisasi kepercayaan yang berdasarkan ajaran agama leluhur di Minahasa. Ada berapa organisasi kepercayaan di Minahasa yang didaftar. Salah satunya disebutkan sudah berdiri sebagai organisasi sejak tahun 1950an. Yang lainnya berdiri kemudian dan hingga tahun 2000-an masih ada yang terdata. Terakhir yang akan dimasukan di dalam buku ensiklopedi itu adalah Laroma yang berkedudukan di Desa Tondey, Minahasa Selatan. 

Dalam bentuk lain, warisan agama leluhur Minahasa ini adalah praktek pengobatan orang-orang sakit di banyak kampung se Minahasa. Lalu kemudian dalam bentuk komunitas-komunitas budaya yang berusaha menggali dan mempraktikkan warisan nilainya dalam bentuk ritual. Kalau mau saksikan sendiri "agama rakyat Minahasa" yang rupanya terus direkonstruksi, datanglah ke Watu Pinawetengan pada setiap tanggal 3 Januari. Di sana Anda akan menyaksikan ribuan orang berkumpul, ada komunitas-komunitas budaya yang bergantian melakukan ritual, ada pula yang mau terus mengalami keminahasaannya secara sosio-kultural. 

Warisan lain, justru sudah berbentuk Kristen. Misalnya pangucapan syukur, tradisi ibadah tiga malam, kumawus, ziarah makam, dan termasuk kebiasaan mendoakan motor, mobil baru, ibadah rumah baru, dll. Memang kebanyakan orang akan menolak jika praktik-praktik Kristen itu disebut adalah transformasi dari warisan agama leluhur. Tapi, untuk memahami kosmologi dan spiritulitas Minahasa, praktik-praktik tersebut adalah wujud material yang dapat mengantar kita memahami religiusitas Minahasa. 

Deskripsi singkat di atas adalah maksud saya untuk memberi gambaran bahwa agama leluhur Minahasa itu akan terus ada dalam diskursus kebudayaan Minahasa. Sama halnya, kekristenan yang baru beberapa abad itu telah seolah-olah menjadi identitas keminahasaan bagi kalangan tertentu. Demikian pula, ketika berbicara identitas keminahasaan secara tradisi suka atau tidak suka pasti akan dikaitkan dengan warisan nilai dan praktik agama leluhur Minahasa pra Kristen. 

Dalam hal kebiasaan orang-orang Minahasa menghormati leluhurnya (apo/opo), sudah harus diterima jika ada yang merujuk kepada leluhur yang masih hidup dengan tradisi kepercayaanya, dan demikian juga adalah kenyataan (dan kadang-kadang tidak disadari) leluhur yang dihormatinya sudah beragama Kristen. Keduanya, baik leluhur yang hidup di era pra Kristen maupun leluhur yang hidup di era dan bahkan penganjur agama Kristen secara bersama dihormati secara kuktural dan juga religius. 

Tapi di mana-mana, agama itu tidak hanya soal kerohanian. Agama-agama juga berkaitan dengan ideologi dan kekuasaan. Maka, kehadiran agama baru di suatu tempat juga berkaitan dengan penguasaan atau dominasi ruang. Akibatnya, di Minahasa agama Kristen berhasil menguasai ruang dan wacana, warisan agama leluhur harus kehilangan ruang. 

Jadinya kemudian, dalam diskurus kebudayaan Minahasa kekinian, agama leluhur Minahasa adalah warisan yang ambigu. Ia menjadi berbeda dengan warisan heroisme keterlibatan leluhur Minahasa dalam Perang Jawa (1825-1830) atau narasi sejarah guru-guru Kristen Minahasa di abad ke-19. Ambiguitasnya makin jelas, ketika pada satu pihak tokoh-tokoh mitologis seperti Karema, Lumimuut, dan Toar jadi referensi identitas keminahasaan secara religi, kultural dan politik, namun pada pihak lain menerima secara bangga tokoh-tokoh zendeling Eropa. 

Atas nama doktrin Kristen tentang "kemurnian", maka ambiguitas itu menjadi sikap keras menolak. Berdasarkan paham monisme moral Barat, bahwa, "untuk menjadi seorang Kristen maka tidak boleh mengadopsi ajaran dan praktik tradisi lain", maka warisan agama leluhur Minahasa ditolak dan berusaha diberangus. 

Ini ambigiutas kedua dalam diskursus kebudayaan Minahasa. Seorang Minahasa yang mengklaim diri sebagai "Kristen sejati" tidak menyadari, bahwa kekristenan yang dianutnya dengan penuh kesetiaan itu sudah mengalami sinkretisasi dengan kebudayaan Eropa jauh sebelum dia dibaptis. Artinya, justru dalam kesetiannya itu atau bahkan dalam kefanatikannyalah itu wujud kongkrit dari sinkretisme Kristen dengan paham kebudayaan Eropa atau kemudian Amerika. 

Dalam ambiguitas inilah agama leluhur Minahasa, entah warisan nilainya atau praktik ritual dan bahkan wujud kelembagaannya menjadi sesuatu yang "aneh" bagi kalangan tertentu tou Minahasa. Padahal, seperti yang saya deskripsikan di atas, bahwa agama leluhur Minahasa itu terus menjadi bagian dalam kebudayaan Minahasa. Jika kemudian sekarang ini ia mewujud dalam bentuk lembaga menurut tafsir kelompok tertentu, itu adalah suatu keniscayaan yang mesti diterima secara arif, sama halnya orang-orang Minahasa hidup serumah atau telah terjalin secara kekelurgaan dengan yang Islam, Konghucu, Hindu, Budha dll. 

Mari belajar dari sejarah. Bahwa, kehadiran, dan kemunculan kembali tradisi religius yang berbeda dengan yang dominan adalah suatu keniscayaan dalam sejarah kehidupan. Saya coba membayangkan bagaimana para leluhur kita dulu yang masih kita hormati hingga kini berjumpa dengan paham agama baru, yaitu Kristen di masa lalu. Pastilah perjumpaan itu bukan sesuatu yang mudah. Tapi, pada akhirnya yang baru itu menjadi bagian dari kebudayaan Minahasa. Demikianlah dengan agama leluhur Minahasa, warisan dari kebudayaan leluhur yang kini seolah dianggap "baru" dalam kebudayaan kontemporer Minahasa. 

Oleh karena agama leluhur Minahasa terutama dalam bentuk warisan nilai atau kosmologi disadari atau tidak disadari dihidupi terus dalam praktik sosial, agama termasuk politik, maka adalah suatu kesia-siaan berusaha meniadakannya. Mengabaikannya, bisa ya, tapi menolaknya sebagai paham dan praktik adalah sesuatu yang tidak bisa karena sudah begitu adanya manusia.

Sikap arif untuk membuktikan sikap keterbukaan dan kemoderatan Minahasa adalah secara terbuka menerima adanya kelompok tou Minahasa yang memilih jalan spiritual leluhur. Pemerintah, gereja, atau komunitas, lembaga apapun, dan masyarakat pada umumnya harus menerima kenyataan bahwa, salah satu keunikan Minahasa adalah adanya kelompok yang beragama menurut tradisi leluhur. Ini sama halnya dengan sikap moderat menerima kehadiran organisasi agama-agama lain, yang suatu masa adalah baru di tana' ini. (Denni Pinontoan, 15 Juli 2022)

Rabu, 13 Juli 2022

Sopi: Hidup dan Spiritualitas

Riane Elean

Sopi adalah minuman tradisional asal Minahasa yang diproduksi dari pohon nira/ enau/ aren atau dalam bahasa lokal disebut seho/akel. Minuman yang diwariskan oleh leluhur kita ini adalah "local genius" yang lahir dari persilangan antar peradaban Minahasa & Eropa. 

Sopi adalah minuman persahabatan & hospitalitas, bukan sumber pemicu kriminalitas, seperti dilabelkan pada nama "cap tikus".

Bagi tou Minahasa, terutama bagi para petani penghasil sopi, selain sebagai mata pencaharian dan sumber pokok ekonomi keluarga, sopi juga berguna untuk ramuan kesehatan, serta erat kaitannya dengan kehidupan religiositas umat. Melarang para petani memproduksi sopi sama halnya mencerabut mereka dari ruang hidup dan ikatan spiritualitas dengan Sang Pemberi Hidup. 

Jika ada masalah di hilir, jangan-jangan sumbernya dari hulu yang lain. 

Selama tiga hari, 8-10 Juli 2022, PUKKAT (Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur) bersama dengan mahasiswi/a STFT (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Jakarta dan UKDW Yogyakarta, yang sedang melakukan  program "Social Immersion" selama dua bulan di tanah Minahasa, mengunjungi desa Malola, Kab. Minahasa Selatan, (sebelumnya di desa Wuwuk) dan berjumpa langsung dengan para petani di kebun lokasi pembuatan sopi, serta berdialog dengan mereka, juga dengan tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Sebuah pengalaman subyektif-partisipatoris, yang tak hanya mengesankan melainkan juga menyentuh dan mendorong pada kerja-kerja advokasi ril. (Ruth Wangkai)