Sore hingga malam, duduk berdiskusi dengan para sahabat di kantor Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), Kakaskasen, Tomohon. Ivan R B Kaunang, Greenhill Weol, Denni Pinontoan, Ibu Ruth Ketsia, Filo Karundeng, Josua Wajong, dan tak ketinggalan si aktor (agak) tampan, Fredy Wowor.
Kami (tidak) kebetulan kedatangan kawan lama, Erica Larson. Peneliti asal Boston, Amerika Serikat, tapi tinggal Singapura. Ia bekerja di Asia Research Institute, National University of Singapore.
Berbagai kisah pun mengalir bersama kopi nikmat racikan Denni. Suasana kian hangat ketika biapong khas Kaki Lokon ikut nimbrung.
Erica akrab dengan Indonesia, termasuk tanah Minahasa. Seberapa akrab, bisa terlihat dari fasihnya ia bicara menggunakan bahasa Indonesia, bahkan Melayu Manado. Beberapa waktu lalu ia datang meneliti tentang pendidikan kewargaan di sejumlah sekolah di Sulawesi Utara. Hasilnya kini telah ditenteng menjadi buah tangan, "Ethics of Belonging: Education, Religion, and Politics in Manado, Indonesia".
Kali ini, Erica datang masih dengan tujuan yang sama. Topiknya yang berbeda. Ia meneliti tentang bagaimana perspektif mahasiswa soal korupsi.
Kami berdiskusi panjang dan baru bubar (berganti topik) beberapa saat setelah Kalfein Wuisan tiba. Katanya, Aruy ngambek. Entahlah ... Kata Fredy, pengalaman ini telah menjadi ritual rutin setiap Kale kembali dari perjalanan luar negeri. Heran, dia baru balik dari Dubai, tidur di kamar dengan kasur puluhan juta per malam, tapi agak sulit membayar tambal ban bocor 😜
Saat catatan dan foto di dinding FB ini diupload, kami sedang menunggu ragey dan nasi bungkus yang dijemput Filo. Seperti biasa, kami rukup setiap bersua. Captikus Wuwuk yang datang bersama Kale, jadi teman untuk menanti. (Rikson)