Kepengarangan:
Meiske Manueke
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Kepengarangan:
Meiske Manueke
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Judul:
Pelukis Mimpi: Antologi Puisi Pendidikan Karya Siswa SMKN 1 Tondano
Kepengarangan:
Meiske Manueke, Natasha Sarapung, Injil Yani Mamuaya, Raysicha Sanger, Zefanya Sumanti, Avrillia N. P. Mantik, Caila Wuntu, Kanaya Posumah, Injilia Singal, Isandro Lasatira, Valerina Lumain, Aurel Loho, Angel C. Kandouw, Jenifer Kumolontang, Chelsea Mikha Jessy Poli, Mayra Nabila Wondal, Isandro Lasatira, Vhayra Suatan, Queenzha Walangitan, Virginia D. Masoa, Velove Legoh, Sidney A. M. Lengkong, Miracle Montolalu, Miracle Sumakul, Karunia Sangian, Rahel Sefania Tampi, Marchella Warouw, Magretha Lantu, Karunia Lukar
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Judul:
Di Bawah Langit Merdeka: Antologi Puisi Perjuangan Karya Siswa SMKN 1 Tondano
Kepengarangan:
Meiske Manueke, Chynda Rewah, Cicilia Wori, Rovelia Arelli Korengkeng, Putri Kambey, Anisha Adistha Nongka, Cheryl Moningka, Joel Pontoh, Bradlee Lowing, Novensia Gimon, Hiskia Mangkey, Aderay Sulu, Stania Huwae, Grachia Bolung, Natalia Togas, Jasmine Kumotoy, Christania M. Sampouw, Gisela Sintya Elentus, Aprilia Ngangi, Injilia P. L. Lukas, Gisella Budiman, Ferlita Tumpia, Verselli Clara Mintadoa, Cheren Clarensa Rondonuwu, Michelle Maramis, Miracle Wibowo
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Judul:
Langkah di Ujung Senja: Kompilasi Cerpen Siswa SMKN 1 Tondano
Kepengarangan:
Meiske Manueke, Clivort Kilis, Angel Rawung, Andhini, Keyra Wales, Aisyah Suprapto, Alevandro Musu, Aprilia Sambur, Clarisa Rawung, Fabio Pakasi, Gratia Efata, Jenifer Rotinsulu, Jhonathan Manuel Oley, Yeremia Rafael Langow, Samuel Mengko, Velicia Tilaar, Yoel Warouw, Samuel, Srimulyani Rafika Dewi Buchari, Princessa M. Mambu, Juancalcio Rumampen, Kevin Rungkat, Fabiano
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Judul:
Sahabat Lama: Kumpulan Cerpen Guru dan Siswa SMKN 1 Tondano
Kepengarangan:
Meiske Manueke, Garry Mukuan, Filia, Fritchka F. Sembel, Kristian Katuuk, Claudia Kapoyos, Debrah Kalalo, Memey, Jesika Tenda, Juni Arnia Marbun, Lionel Anti, Lois Monde, Mettheuw Walingkas, Natasha Sumampouw, Prisilia Polak, Putri Sumarauw, Sheryl, Valencia, Christine VL
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Tahun 1858, Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas terlibat suatu perang argumen dalam serangkain debat untuk pemilihan kursi Senat. Isu utama yang memicu perdebatan adalah perluasan perbudakan ke wilayah-wilayah baru Amerika Serikat yang belum menjadi negara bagian. Lincoln dari Partai Republik, Douglas dari Partai Demokrat.
Lincoln antara lain menegaskan dalam debat itu:
"Sebuah rumah yang terpecah tidak dapat bertahan. Saya percaya bahwa pemerintahan ini tidak dapat bertahan jika sebagian besar mendukung perbudakan dan sebagian lagi bebas."
Douglas menegaskan, "Jika rakyat Kansas menginginkan negara bagian yang mendukung perbudakan, itu adalah hak mereka berdasarkan Konstitusi, dan tidak ada kekuatan di dunia yang dapat menolak hak tersebut."
Serangkaian perdebatan panas antara Douglas vs Lincoln dikenal dengan Lincoln-Douglas Debates.
Debat kemudian menjadi bagian dari demokrasi modern yang rasionalistis. Kata "debat" berasal dari bahasa Latin debattere, yang terdiri dari dua bagian: de- (yang berarti "ke bawah" atau "dari") dan battere (yang berarti "memukul" atau "mendorong"). Secara harfiah, debattere berarti "bertarung" atau "berdebat secara sengit." Dalam bahasa Prancis Kuno, kata ini berubah menjadi debatre, dan kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris sebagai debate. Arti kata ini mengandung makna perlawanan atau perbedaan pendapat yang aktif, yang kemudian berkembang menjadi bentuk diskusi formal tentang berbagai topik.
Debat mesti panas, tapi rasional. Mesti saling mendikte, tapi fokus pada substansi. Debat semacam ini sebenarnya perkembangan dari tradisi demokrasi Yunani klasik. Di forum "Ekklesia", majelis umum debat menjadi bagian penting untuk merumuskan dan memutuskan kebijakan politik. Seorang pendebat mesti menguasai ilmu retorika.
Retorika adalah ilmu tentang seni berbicara dan menulis secara persuasif. Tujuan utamanya adalah untuk menyakinkan publik mengenai suatu paham pemikiran atau argumentasi. Aristoteles, menulis buku berjudul "Rhetoric". Menurutnya, retorika adalah "kemampuan untuk menemukan cara-cara persuasi yang tersedia dalam setiap situasi." Ia mengidentifikasi tiga komponen utama dalam retorika, yaitu:
Ethos atau kredibilitas atau karakter dari pembicara. Dalam retorika, penting bagi pembicara untuk menunjukkan bahwa ia memiliki otoritas dan bisa dipercaya oleh audiens.
Pathos adalah upaya untuk memengaruhi emosi audiens. Dengan menggunakan pathos, pembicara atau penulis mencoba membuat pendengar atau pembaca merasa terhubung secara emosional dengan pesan yang disampaikan.
Logos, atau logika adalah alasan yang mendasari argumen. Ini melibatkan penggunaan bukti, data, atau penalaran yang jelas dan logis untuk mendukung poin yang disampaikan.
Jadi, dalam tradisi politik modern, debat adalah praktik komunikasi politik, dan retorika adalah ilmunya. Suatu debat politik mesti retoris. Ia mesti menjadi cara untuk menyakinkan publik secara diskursus. Bahwa ada masalah publik yang mesti dipahami secara mendalam, ada kritik yang mesti tajam atas upaya-upaya politik yang sudah, dan sementara dilakukan, dan ada solusi konstruktif yang ditawarkan.
Paling sederhana, debat mestinya adalah cara untuk menunjukkan kemampuan politik kepada publik. Publik yang menyaksikan, mestinya juga mengikuti setiap argumen secara kritis untuk kemudian nanti tiba pada penilaian dan sikap politik. Suatu debat politik mesti memahami publik sebagai subjek. Dengan demikian, publik mesti mengikuti debat itu secara kritis dan aktif bernalar. (Denni Pinontoan, 8/10/2024
Judul:
Warisan Budaya Tak Benda Tradisi Pertanian di Motoling
Kepengarangan:
Denni H. R. Pinontoan
Penerbit:
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
Informasi/ Pemesanan:
pukkat.org@gmail.com
Sinopsis
Dokumentasi warisan budaya tak benda dalam tradisi pertanian di Motoling adalah bagian dari upaya pemajuan kebudayaan secara partisipatif. Buku ini berisi deskripsi mengenai praktik pertanian di Motoling sebagai warisan budaya tak benda kebudayaan Minahasa secara lebih luas. Meskipun perubahan sudah sedang terjadi di masyarakat Motoling, dan tentu memberi dampak pada praktik dan dan tradisi pertanian, namun sebagai budaya tak benda budaya ini mewarisi pengetahuan luhur yang mesti didokumentasi dan dikembangkan. Di dalam buku ini diuraikan tentang praktik penataan dan pengolahan lahan, kemudian tradisi mulai dari membersihkan lahan hingga panen, serta tradisi dalam hal membaca dan menafsir peredaran bulan, dan juga hal-hal yang terdapat di lahan pertanian masyarakat Motoling.
Kata kunci
Motoling, Pertanian, Warisan Budaya Tak Benda
Oleh: Denni H.R. Pinontoan
HINGGA kini, publik, para intelektual, dan para aktivis demokrasi masih mendiskusikan tentang praktek dan fenomena politik uang, politisasi identitas, mobilisasi massa PNS, calon yang dinilai tidak berkualitas, dll di Pemilihan Umum (Pemilu), dan lebih khusus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Katakanlah, dari segi prosedur tentu semakin hari semakin baik, apalagi jika dibandingkan sebelum era reformasi, tapi praktek dan fenomena “penyakit demokrasi” tersebut, jelas adalah indikator bahwa demokrasi di negara kita ini belum substansial.
“Penyakit demokrasi” tersebut terjadi dalam sebuah konteks sosio-kultural. Para peserta Pilkada, yaitu partai politik, para pasangan calon, baik yang diusung oleh partai politik, maupun independen berhadapan dengan rakyat pemilih, kemudian tim sukses yang bekerja mempromosikan para calon dengan segala cara adalah anggota masyarakat. Semua pihak ini adalah bagian dari kehidupan sosial-budaya suatu komunitas atau masyarakat. Demikian bahwa praktik dan aktivitas politik elektoral adalah fenomena sosial dan budaya di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Pilkada adalah juga fenomena kebudayaan.
Memilih pemimpin dengan didasari kesadaran dan gagasan tertentu adalah bagian dari sejarah peradaban manusia. Di banyak bangsa besar, pemimpin tertingginya, raja atau kaisar keterpilihannya memang dianggap sebagai peristiwa teologis, sebagai kehendak para dewa atau Tuhan. Tapi, di banyak komunitas pemimpin dipilih oleh anggotanya melalui perwakilannya. Demokrasi modern pada akhirnya menetapkan mekanisme, yaitu pemilihan umum, bahwa setiap individu adalah subjek hukum dan politik.
Pilkada sesungguhnya melanjutkan tradisi penataan kehidupan sosial, terutama dalam hal memilih pemimpin. Sejak makhluk bernama manusia menemukan cara hidup bersama untuk mengatasi berbagai ancaman kehidupan, sejak saat itulah manusia membutuhkan pemimpin. Tidak mungkin semua anggota komunitas menjadi pemimpin, tidak mungkin pula semuanya adalah anggota. Maka, terbentuklah kesadaran, bahwa satu atau beberapa anggota komunitas dapat dipercaya untuk menjadi pemimpin mereka. Dari proses belajar yang terjadi terus menerus, maka di kemudian hari dirumuskan dan ditetapkan syarat bagi anggota komunitas yang dapat dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Demikianlah sehingga sekarang ini kita mesti menyatakan bahwa praktik memilih pemimpin adalah tindakan kebudayaan masyarakat.
Dalam pemahaman demikianlah maka mesti pula dikatakan, bahwa Pilkada adalah upaya manusia menata kehidupan bersama yang mestinya bukan sebatas rutinitas politik apalagi mekanisme konstitusional yang hanya menjadi arena bagi parpol dan politisi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Tapi, sebagai praktik politik elektoral, kenyataanya Pilkada memang seolah hanya sebagai ajang pertarungan kekuasaan bagi para elit. Rakyat tampaknya hanya menjadi objek kekuasaan. Padahal, selalu diwacanakan, bahwa Pilkada adalah ajang untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana nilai utama demokrasi.
Jika Pilkada adalah bagian dari praktik kebudayaan, dan semua yang terkait denganya ada dalam suatu konteks sosio-kultural, maka rakyat pemilih yang hidup dan menghidupi nilai-nilai moral dan kulturalnya mesti menjadi subjek. Pilkada mesti menjadi ajang rakyat dengan nilai pengetahuan, moral dan etika yang dimiliki di dalam komunitas. Rakyat pemilih mesti memproyeksikan dan mengkonstruksikan visi politik dan cara-caranya berdasarkan warisan pengetahuan, moral dan etika komunitasnya dalam mengusahakan Pilkada yang berkualitas, yang pada satu pihak berkaitan dengan prosedur kepemiluan, namun kemudian lebih daripada itu adalah untuk menghasilkan demokrasi yang substansial.
Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat, bukan gelanggang pertarungan para gladiator. Prosedur kepemiluan memfasilitasi dan memastikan hak-hak politik rakyat secara konstitusional. Tapi, yang paling menentukan kualitas hasilnya adalah rakyat pemilih sebagai subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai ....subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai subjek demokrasi berarti partisipasinya mestilah berdasarkan kesadaran dan pengetahuan, bukan karena dimobilisasi oleh politik uang dan politisasi identitas.
Tentu, partisipasi aktif dan kritis ini mesti menjadi kultur demokrasi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Politik transaksional menumpulkan daya kritis rakyat terhadap jalanya pemerintahan, tetapi politik substansial yang aktif dan kritis adalah modal untuk mengontrol kekuasaan yang selalu cenderung korup. (***)
Upaya pembungkaman suara masyarakat terjadi di Festival Hak Asasi Manusia (Festival HAM) 2024 yang sedang berlangsung di Kota Bitung, Sulawesi Utara pada 29-31 Juli 2024. Sebuah poster yang dipajang di booth eksibisi masyarakat sipil di lokasi Festival HAM, Kantor Pemerintah Kota Bitung, sebanyak 2 kali dicopot dan diturunkan oleh petugas yang terlihat menggunakan seragam. Poster itu bertuliskan “STOP PERAMPASAN LAHAN DI KELELONDEY OLEH TNI AD”. Peristiwa pencopotan poster ini terjadi di hari kedua gelaran Festival HAM 2024, yaitu pada Selasa, 30 Juli 2024. Saat para peserta sedang fokus mengikuti sesi di dalam ruang Sarundajang Pemerintah Kota Bitung, sejumlah petugas berseragam yang mengaku dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mendatangi booth dan langsung menurunkan poster tersebut.
INFID sebagai penggagas Festival HAM mengecam tindakan pembungkaman ekspresi dan suara warga di acara yang menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia ini. Kecaman ini juga datang dari koalisi masyarakat sipil, khususnya yang turut berpartisipasi dalam acara ini.
“Kami mengecam dan tidak membenarkan tindakan yang jelas-jelas melukai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi warga ini. Sesaat setelah mendapatkan laporan ini, kami langsung menindaklanjutinya dengan menyampaikan kepada 3 mitra penyelenggara lainnya, yaitu Komnas HAM, KSP, dan Pemkot Bitung. Kami dengan tegas meminta agar poster dipasang kembali dan tidak ada lagi tindakan serampangan dan intimidatif dari aparat!” tegas Abdul Waidl, Program Manager HAM & Demokrasi INFID.
Festival HAM merupakan forum dialog, diskusi, dan titik temu banyak pihak, utamanya warga dengan pemerintah, untuk membincangkan berbagai permasalahan HAM serta berbagi contoh-contoh baik pemenuhan HAM di berbagai daerah di Indonesia. Selain forum diskusi, Festival ini juga memberikan ruang bagi kelompok masyarakat sipil untuk berekspresi melalui booth yang telah disediakan oleh penyelenggara. Selain booth makanan dan produk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), terdapat beberapa booth dari organisasi masyarakat sipil yang berisi advokasi-advokasi yang mereka lakukan. Masyarakat sipil yang berpartisipasi antara lain Gerakan Perempuan Sulawesi Utara, Yayasan Cahaya Mercusuar Indonesia (YCMI), INFID, Swara Parangpuan, LBH Manado, AMAN Sulut, PUKKAT, YSNM, Sanubari, EJF, Jaringan Gusdurian, Save Sangihe Island, Laroma, Kelola, Peruati, DFW, IMM Sulut, dan masih banyak lagi. Booth tersebut ditempel dengan berbagai macam poster yang menyuarakan perlindungan lingkungan, kesetaraan gender, masyarakat adat, termasuk poster yang bertuliskan “STOP PERAMPASAN LAHAN DI KELELONDEY OLEH TNI AD”.
INFID dan koalisi masyarakat sipil sangat menyayangkan tindakan tersebut terjadi di acara yang seharusnya menjadi ruang aman bagi warga untuk bersuara. Padahal, dalam perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani oleh 4 lembaga penyelenggara, yaitu INFID, Pemkot Bitung, Komnas HAM, dan KSP, menyepakati bahwa acara ini harus bebas dari kekerasan, intimidasi, dan tindakan-tindakan lainnya yang mencoreng prinsip-prinsip HAM.
“Kami gerakan masyarakat sipil yang hadir ke Festival HAM ini kecewa sekali. Datang ke sini juga untuk memberi penguatan kepada komunitas Kelelondey, yang wakilnya hadir di Festival ini untuk menuntut keadilan, tapi poster yang dipasang di pameran sebagai ruang bebas berekspresi malah dicopot oleh aparat,” ungkap Ruth Ketsia dari Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS).
“Kami LBH Manado selaku pendamping hukum petani Kelelondey mengecam dengan keras penurunan poster ini. Poster tersebut merupakan bentuk aspirasi petani-petani Kelelondey yang hari ini masih berjuang dari upaya perampasan tanah yang dilakukan oleh TNI AD. Sebuah aspirasi yang disampaikan dalam forum festival HAM yang seharusnya memberikan jaminan kebebasan, dan ruang aman bagi para korban pencari keadilan.” ujar Yano dari LBH Manado.
“YCMI kecewa dengan adanya pelanggaran hak menyampaikan pendapat di depan umum yang terjadi di lokasi Festival HAM.” ungkap D Novian Baeruma, Ketua YCMI, organisasi masyarakat sipil dari Kota Bitung.
“Festival HAM adalah ruang aman bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan hak dan aspirasinya tanpa kekerasan. Tindakan penurunan poster aspirasi warga adalah tindakan yang justru melanggar HAM. Tidak seharusnya terjadi penurunan poster yang merupakan bentuk dari suara rakyat.” cetus Listyowati, Ketua Pengurus Kalyanamitra, organisasi masyarakat sipil dari Jakarta yang turut berpartisipasi dalam Festival HAM.
“Kami meminta agar Pemerintah bisa menjadikan Festival HAM ini sebagai ajang refleksi dan menerima dengan baik suara-suara kritis masyarakat. Selain itu, kami juga mengajak seluruh warga untuk tidak gentar menyuarakan pendapatnya dengan kaidah-kaidah konstitusional yang berlaku,” tandas Waidl.
Di luar itu, INFID tetap mengapresiasi berbagai upaya pemenuhan hak warga yang telah dilakukan oleh Pemkot Bitung. “Semoga di masa depan Pemerintah bisa memberi ruang aman untuk berekspresi, sehingga upaya-upaya yang sudah dilakukan akan berdampak lebih adil bagi semua warga,” lanjut Waidl.
Merespon cepat peristiwa ini, Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan juga langsung mendatangi pihak Pemkot Bitung, KODIM, dan Kepolisian setempat untuk memastikan Festival HAM bisa menjadi ruang aman untuk berpendapat dan berekspresi, serta tidak ada lagi tindakan represif dari pihak manapun.
Kami yang mengecam:
1. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jakarta
2. Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS), Manado
3. Yayasan Cahaya Mercusuar Indonesia (YCMI), Bitung
4. Swara Parangpuan, Manado
5. Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM)
6. LBH Manado
7. AMAN Sulawesi Utara
8. Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)
9. Sanubari Sulawesi Utara
10. Environment Justice Foundation
11. Jaringan Gusdurian
12. Save Sangihe Island, Sulut
13. Save Kelelondey, Sulut
14. Save Kalasey, Sulut
15. Laroma
16. KELOLA
17. PERUATI
18. DFW
19. IMM Sulut
20. Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi
21. Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan
22. Swara Parangpuan Sulut
23. Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Selatan
24. Yayasan Tanah Merdeka, Palu, Sulteng
25. Kalyanamitra, Jakarta
Tentang International NGO Forum on Indonesian Development (INFID):
INFID adalah organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985. INFID terakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menyandang Special Consultative Status untuk ECOSOC PBB. INFID memiliki tiga fokus program; 1) Penurunan Ketimpangan, 2) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan 3) HAM & Demokrasi.
Tentang Festival HAM 2024:
Festival Hak Asasi Manusia (Festival HAM) adalah sebuah acara tahunan yang digagas oleh INFID sejak 2014 yang berkolaborasi bersama Komnas HAM, KSP RI, dan pemerintah daerah yang menjadi tuan rumah. Pada 2024, Pemkot Bitung terpilih menjadi tuan rumah dan terselenggara pada 29-31 Juli 2024 di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Festival HAM memiliki tiga esensi utama; forum strategis untuk menjawab persoalan HAM, ruang aman bagi masyarakat sipil dan publik bersuara, serta ruang inspirasi untuk berbagi pengalaman dan pembelajaran tentang konsep Kabupaten/Kota berbasis HAM oleh pemerintah daerah sebagai bentuk pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Jakarta merelease film karya mahasiswa-mahasiswi Social Immersion 2023 yang berpraktek di PUKKAT. Film dokumenter ini berjudul "Laroma: Intoleransi di Daerah Toleran". Film ini merupakan salah satu luaran dari program Social Immersion yang merupakan agenda kolaboratif STFT Jakarta, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta dan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) sebagai lembaga mitra.
Film ini menayangkan fakta ironis tindak persekusi dan diskriminasi yang dialami para penghayat kepercayaan di daerah yang mendapat penghargaan sebagai Provinsi dengan Indeks Kerukunan Beragama Kategori 10 Provinsi Terbaik, provinsi yang menerima Harmony Award pada 2021 dan 2022 dari Kementerian Agama Republik Indonesia.
Saksikan film dokumenter tersebut pada link Youtube berikut:
Hadir sebagai pemantik Satriano Pangkey (LBH Manado), Ruth Wangkai (Aktivisi PUKKAT), Wulan Rumengan (Peneliti Kelelondey), Fredy Wowor (Budayawan Mawale Movement), dan Frenly Manaroinsong (Komunitas Kelelondey). Sebagai moderator Denni Pinontoan (Ketua PUKKAT).
Kegiatan yang berlangsung hybrid ini dihadiri mahasiswa-mahasiswi Social Immersion 2024 dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Jakarta, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, sejumlah budayawan, praktisi hukum, dan akademisi.
Link dokumentasi diskusi dapat dilihat di Halaman Facebook PUKKAT.
Copyrights @ PUKKAT - Blogger Templates By Templateism | Templatelib