Diskusi Buku "Aktivisme Agama & Pembangunan yang Memihak: Esai-esai untuk Sulawesi Utara”

Diskusi Seksualitas Dari Perspektif Budaya Minahasa

Sometimes you need advice, Ask a teacher to solve your problems.

Make a Difference with education, and be the best.

Make a Difference with education, and be the best.

Make a Move Together for Better Life

Make a Move Together for Better Life

Latest Posts

Sabtu, 28 Januari 2023

Menegakkan Kedaulatan Spiritualitas Nusantara

Riane Elean

 


PUKKAT menggelar kegiatan "Bacirita Bersama Dr. Bambang Noorsena" dengan topik "Menegakan Keadilan Spiritualitas Nusantara (Di Balik Berdirinya Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional)", Jumat 27 Januari 2023 di kantor PUKKAT, Kakaskasen Tomohon. Noorsena adalah seorang budayawan, pendiri Institute for Syriac Culture Studies (ISCS). Hadir dalam kegiatan ini sejumlah aktivis, budayawan, akademisi, jurnalis dan rohaniawan. 




Rekaman diskusi ini dapat disaksikan di link ini

Rekaman 1

Rekaman 2

Sabtu, 07 Januari 2023

Kebudayaan Masa Antara

Riane Elean

 




Judul: Kebudayaan Masa Antara

Penulis: Denni H. R. Pinontoan

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

Informasi dan Pemesanan Buku: email ke pukkat.org@gmail.com

Sinopsis:
Buku ini mendeskripsikan dan merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat lokal, nasional dan lokal di era pasca perang dunia kedua. Era ini adalah masa antara dari masa kolonial ke era milenial (abad ke-21).

Isu kebudayaan yang di bahas dalam buku mulai dari soal minyak goreng hingga tren angkot, musik, film, dan tradisi mudik. Inilah masa antara: secara psikologis diingat secara romantik, secara politik dikenang secara traumatis, secara sosial dihubungkan dengan represi yang menenangkan, secara kultural ini adalah era semua serba alternatif. Hal-hal ini yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai antara lain fenomena kebudayaan masa antara.

Keywords: kebudayaan, orde baru, musik, film

Minahasa dalam Ingatan dan Tradisi

Riane Elean


 Judul: Minahasa dalam Ingatan dan Tradisi

Penulis:
Rikson C. Karundeng . Rafael W. Taroreh . Belarmino M. Lapong . Leonard A. Wilar . Josua R. Wajong . Gerard A. B. Tiwow . Hendra R. Mokorowu

Editor:
Rikson C. Karundeng

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

Informasi dan Pemesanan Buku: email ke pukkat.org@gmail.com


Sinopsis:
Buku ini berisi kisah-kisah sejarah dan budaya, catatan tentang nilai-nilai ke-Minahasa-an yang masih tersimpan dalam ingatan dan terekspresi dalam praktek hidup tou Minahasa sehari-hari. Lebih dari itu, karya ini adalah wujud semangat (nilai ke-Minahasa-an itu sendiri) untuk mencari pengetahuan. Seperti ungkapan orang Toudano, “Si tou timou tumo’u to’u” (Manusia hidup untuk belajar sampai tahu).

Sabtu, 31 Desember 2022

Kelahiran A.I. dan Kematian (Kecerdasan) Manusia

Riane Elean

 



PUKKAT menggelar sebuah diskusi hybrid dengan topik "Kelahiran A.I dan Kematian (Kecerdasan) Manusia". Diskusi ini digelar dalam momentum Bakudapa Akhir Tahun Mawale Movement, 30 Desember 2022 di Kantor PUKKAT, Kakaskasen. Hadir dalam kegiatan ini sejumlah akademisi, praktisi hukum, jurnalis, budayawan, aktivis di Tanah Minahasa. 

Diskusi ini membahas tentang masalah-masalah etika, moral dan kultural yang terkait dengan revolusi kecerdasan buatan. Artificial Intelligence (AI) adalah teknologi yang mengandalkan komputer untuk memecahkan masalah dan melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh manusia. 

Sejarah A.I dimulai tahun 1950-an, ketika komputer pertama kali dapat menyelesaikan  tugas-tugas yang biasa dilakukan manusia, seperti mengeluarkan keputusan atau mengenali objek. 

Perkembangan A.I saat ini telah berkembang lebih jauh dari itu, dengan komputer yang mampu memecahkan masalah secara otomatis dan mengambil keputusan dengan sendirinya. Dengan demikian A.I membawa banyak manfaat bagi kemajuan teknologi dan industri. Namun di sisi lain, revolusi A.I juga menimbulkan beberapa permasalahan etika seperti menghilangnya lapangan kerja untuk manusia, meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh A.I, serta masalah privasi yang timbul dari penggunaan A.I.

Dalam diskusi kali ini semua yang hadir diundang untuk berpartisipasi aktif dalam membahas permasalahan etika yang terkait dengan A.I, dan memberikan solusi atas masalah tersebut. 

Kamis, 29 Desember 2022

Merayakan Natal di Rumah Baha'i

Riane Elean



SORE ini, cukup cerah. Berbeda dari warna hari-hari penghujung tahun 2022 sebelumnya. Di Rinegetan, Tondano, pada sebuah halaman rumah berlantai beton, berdiri tenda putih sekira 8×10 meter. Puluhan orang duduk di kursi yang tertata rapi, menghadap selatan.

Pohon natal, lilin-lilin, dan berbagai hiasan natal lain, menyemarakkan suasana. Di depan bagian tengah, ada selembar baliho. Paling atas tercetak sebuah lonceng berhias daun dan pita merah. Di bawahnya tertulis, “Begitu kuat cahaya persatuan sehingga dapat menerangi seluruh bumi”. Di bawahnya lagi tertera tulisan dengan huruf yang lebih besar, “Merefleksikan Makna Natal Sebagai Upaya Membangun Kehidupan Bersama Dalam kerukunan dan Keselarasan”.

Di dalam rumah, sajian makanan sudah tersedia di atas meja untuk disantap. Seorang bapak kemudian dipanggil untuk membawakan doa makan. Sebelum mengucapkan doa, ia berkata “Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan. Mari berdoa…”

Pemimpin doa itu bernama Asri Rasjid. Seorang Muslim Syiah yang tinggal di Minahasa Utara. Ia salah salah satu dari sekian banyak umat beragam agama yang hadir dalam tenda itu.


Refleksi Natal Bersama

Rabu, 28 Desember 2022, sebuah komunitas yang menamakan diri “Gerakan Cinta Damai Sulut” (GCDS) menggelar sebuah perayaan Natal. Rumah tempat pelaksanaan acara, milik keluarga Agus Basith. Penganut Baha’i yang tinggal di Kelurahan Rinegetan, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa.

Suasana sukacita tergurat jelas dari setiap wajah yang menyatu di tempat itu. Erny Jacob, salah seorang dari keluarga besar GCDS, membacakan Alkitab. Bahan refleksi ini diambil dari kitab Matius 2:1-12. Bagian akhir dari ayat-ayat yang dibacakan merupakan tema untuk perayaan Hari Natal 2022 yang disepakati Pesekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), “Maka Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain”.

Umat dengan berbagai latar belakang agama yang berbeda, dengan penuh khusyuk memasang lilin. Mereka juga melakukan refleksi bersama tentang Natal Yesus Kristus. Seorang penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diberi kesempatan pertama untuk berefleksi. Sesudah itu, tampil seorang penganut Hindu, kemudian Kristen, Islam, dan Baha’i.

Penggerak GCDS, Pendeta Ruth Wangkai menegaskan, acara ini bagus dan positif karena membangun kehidupan bersama. Ia sangat menikmati “acara syukur lintas iman” sekaligus refleksi Natal sebagai upaya membangun hubungan bersama antar umat beragama.

Ia sendiri ikut merefleksikan bagian Alkitab yang menjadi tema Natal PGI dan KWI, dalam kaitan dengan konteks perayaan ini.

“Ini ‘jalan lain’, bukan mainstream, seperti biasa perayaan Natal dibuat di gereja, oleh sesama orang Kristen, dan sekali-sekali melibatkan denominasi lain. Kali ini berbeda. Ini jalan lain yang dipilih, tidak biasa, dan menurut saya adalah jalan kehidupan,” ucap teolog ini, sembari menjelaskan jika inti ajaran Baha’i memang untuk menyatukan.

Aktivis perempuan yang juga Koordinator Gerakan Perempuan Sulut (GPS) ini merasakan kesejukan, tatkala mendengar refleksi-refleksi dari penganut agama berbeda, yang menyaksikan tentang Tuhan Yang Maha Kasih, yang tidak melakukan kekerasan.

“Ini juga refleksi terhadap fenomena  yang selama ini terjadi, klaim-klaim eksklusif, klaim-klaim kebenaran mutlak. Kenapa sih, perbedaan harus menjadi ancaman, atau jadi sumber konflik?” kata Ruth.

“Ternyata ketika kita bersama-sama, menyanyi bersama-sama, mau berefleksi dari keyakinan yang berbeda, kita boleh menikmati makna kehidupan. Makan bersama, berbagi kisah bersama, tertawa bersama.”


Natal Sebagai Peristiwa Interfaith

Tahun 2016, beberapa orang tengah kongko-kongko, minum kopi, dan makan pisang goreng. Sebuah aktivitas yang biasa mereka lakukan. Kali ini, muncul reaksi keprihatinan atas kondisi yang sedang terjadi di ibu kota Jakarta.

“Dari diskusi itu kita melihat ada sesuatu yang perlu direspons, kaitan dengan apa yang terjadi di ibu kota sana. Kita kemudian sepakat membuat sebuah komunitas dan memberi nama Gerakan Cinta Damai Sulut,” kata Denni Pinontoan, mengawali ucapan terima kasih mewakili GCDS.

Sederet kegiatan yang melibatkan umat berbagai agama berbeda di Sulawesi Utara (Sulut) pun mengiringi kehadiran GCDS sejak tahun 2016, hingga hari ini. Perayaan Natal yang diekspresikan dalam beragam bentuk juga mulai dilakukan sejak itu. Semua yang berinisiatif, mempersiapkan kegiatan, dan yang terlibat secara langsung dalam perayaan Natal, penganut agama yang berbeda.

“Sebenarnya Natal itu sejak awal adalah peristiwa interfaith. Sebuah peristiwa lintas agama. Karena seperti yang kita baca (dalam Alkitab) tadi, ada sekelompok orang majus, mungkin orang-orang bijaksana dari Persia dan mereka itu dari peradaban berbeda tapi juga agama Zoroaster,” ujarnya.

“Kata itu (majus) kemudian berkembang menjadi megician. Yang soal kemudian, kata itu menjadi negatif, diterjemahkan penyihir. Padahal maknanya ‘orang-orang bijaksana’,” sambung Denni.

Akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado ini menjelaskan, sejak awal, kelahiran Yesus Kristus disambut dengan sukacita oleh para gembala, seorang perempuan (Maria) dan para orang bijaksana (orang majus).

“Entah sejak kapan Yesus itu dikristenkan. Kita harus cari tahu sejarahnya. Karena sudah sejak mulanya Yesus itu adalah tokoh untuk semua,” jelasnya.

Menurut Denni, itulah semangat dan spirit yang membungkus Agus Basith dan keluarganya yang merupakan penganut Baha’i, sehingga mau memaknai, menghayati, merayakan salah satu tokoh besar dari banyak tokoh besar yang telah mengubah peradaban. Dalam hal ini, Yesus Kristus. Semua yang hadir kemudian turut merayakannya bersama-sama.

Fakta, jarang ada yang menerima undangan dari umat beragama lain untuk merayakan Natal. Itu mengapa perayaan Natal di rumah Agus dan keluarga memberi kesan yang sangat mendalam. Sehingga apa yang menjadi makna dari peristiwa Natal, yaitu paling terutama “damai di bumi, damai di surga” bisa dirasakan.

“Paling banyak terjadi kan kita hanya berdoa saja, damai di surga, tapi tidak damai di bumi. Atau hanya damai-damai di surga, tapi kemudian kita tidak punya visi besar untuk damai secara universal. Dengan demikian Natal akan lebih bermakna bagi kita,” tutur Denni yang juga dikenal sebagai Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat).

Semua Umat Adalah Satu

Agus Basith, makawale hajatan istimewa itu bertutur, dalam dirinya ada sebuah keyakinan yang teguh bahwa semua umat adalah satu dan berasal dari sumber yang satu.

“Memang ini menjadi sebuah keyakinan, bahwa kita semuanya ini adalah satu. Jadi kami ini meyakini bahwa semua agama berasal dari satu Tuhan,” kata Agus.

Salah satu ekspresi keyakinan “yang satu” itu, ia dan keluarganya meyakini Yesus secara keseluruhan, termasuk hari raya-Nya.

“Kalau agamamu, agama kami juga. Jadi satu Tuhan. Artinya, kita juga harus merayakan semua hari raya keagamaan,” ujarnya.

Baginya, perayaan secara bersama hari-hari besar keagamaan memang seharusnya. Bukan malah menjadi masalah.

Pada perayaan-perayaan Natal di tahun-tahun sebelumnya, Agus dan keluarga biasanya merayakan bersama-sama dengan umat Kristen yang lain. Mereka hadir di perayaan Natal bersama sahabat, kerabat dan tetangga. Kali ini ia dan keluarga memilih untuk membuat perayaan Natal secara langsung di rumahnya.

“Tahun-tahun sebelumnya, biasanya kalau ada perayaan Natal di lingkungan tempat kami tinggal di Rinegetan, kami terlibat dan membantu apa saja,” ungkap Agus.

Semenjak tinggal di Tondano tahun 2010, Agus selalu merasakan pengalaman hidup bersama yang indah. Ia meyakini, teman-teman di sekitar mereka juga merasakan hal yang sama. Walaupun berbeda, mereka tetap bisa menjaga kesatuan.

“Sebenarnya kesatuan itu bisa dibangun. Jadi kita perlu ada saling interaksi. Artinya, kita tidak hanya istilahnya di kegiatan agama tertentu saja, tapi juga bagaimana terlibat secara langsung dalam kehidupan bersama sehari-hari,” tutur Agus.

Baginya, apa yang dilakukan kali ini merupakan sebuah awal untuk bagaimana bisa menyatukan visi kehidupan bersama yang harmonis. Harapannya, ini akan menjadi lebih ke upaya konkret di lingkungan di mana dia dan mereka yang hadir tinggal.

“Kita bisa bekerja sama bersama orang-orang di sekitar kita,” kata Agus.

Langkah lebih lanjut yang harus dilakukan, menurutnya kegiatan seperti ini bukan hanya untuk orang dewasa tapi bagaimana anak-anak berbeda agama juga bisa dipersatukan dalam seremoni dan kehidupan bersama.

“Kita sudah mulai menanamkan benih-benih rasa satu sejak dini. Rasa saling menghargai harus dibangun sejak dini. Kita sebagai orang tua harus lebih dahulu memulai untuk memberi teladan hidup bagi anak-anak kita,” tegasnya.

Sebuah Keberanian

Sikap yang diekpresikan dan kesaksian Agus Basith, menuai apresiasi dari umat yang hadir. Pengalaman hidup dia bersama keluarganya, benar-benar bisa menjadi teladan bagi umat beragama lainnya.

“Kita harus mengapresiasi keberanian Pak Agus dan keluarganya. Berarti dapat ditarik kesimpulan, umat Baha’i ini biar hanya kecil tapi mampu beradaptasi dengan baik,” kata Jull Takaliuang, aktivis lingkungan yang juga intens melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus perempuan dan anak di Sulawesi Utara.

Ia berpendapat, kegiatan ini luar biasa. Sebuah bukti bahwa Agus dan keluarga mampu membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lain. Itu terlihat juga dalam acara ini, banyak sekali orang berbagai latar belakang agama yang hadir.  Tetangga-tetangganya juga turut serta menikmati sukacita Natal di tempatnya.

“Sungguh tidak disangka sebelumnya, Natal bisa dirayakan oleh komunitas Baha’i. Kenapa kita kemudian masih sedih melihat fakta (kasus diskriminasi penganut agama tertentu terhadap penganut agama yang lain) di berbagai tempat, termasuk di Boltim Sulawesi Utara. Berarti betapa sangat tertutupnya mata, hati, pikiran dan perasaan bahwa kita di Sulut ini beragam,” ucapnya.

Jull menyaksikan secara langsung keindahan mengagumkan di tempat itu. Ketika umat berbeda keyakinan boleh bersama-sama saling berbagi, saling bertemu, merayakan Natal bersama-sama, tidak ada yang merasa tersakiti. Malah yang terbangun adalah kebahagiaan bersama.

“Kita menumbuhkan kekuatan bersama menghadapi hari-hari ke depan. Entah situasi politik seperti apa, kita akan terhindarkan dari politik identitas ketika kita punya kekuatan yang basic-nya seperti ini, dibangun seperti ini,” kata Jull.

Ketua Yayasan Suara Nurani Minaesa ini mengaku salut untuk keberanian yang luar biasa dari para penganut Baha’i di Sulawesi Utara. “Itu karena mereka sudah punya dasar kenyamanan dengan lingkungannya yang ada di Tondano. Bahkan kini mereka mengundang teman-teman dari luar, dari berbagai agama. Ada Hindu, Islam, penghayat kepercayaan dan penganut agama lain yang hadir. Ini luar biasa.”

Hal yang bisa jadi pelajaran banyak orang dari Agus, paling penting penerimaan luar biasa atas ajaran agama lain. Karena dia kemudian tidak merasa yang satu-satunya benar, yang betul hanya ajaran agama yang diimaninya, tapi kemudian dia menghargai bahwa ada ajaran lain yang sama.

“Itu adalah sebuah kesadaran yang terbangun atas satu dasar, bahwa Tuhan itu satu. Hanya kita menyembah dengan cara yang berbeda, dan itu yang harus diterima,” tegas Jull.

Dalam acara ini Jull betul-betul menikmati pengalaman yang luar biasa. Semua bicara bagaimana menebar kebaikan, menjaga keselarasan, bagaimana membangun kehidupan yang damai.

“Semua orang menginginkan itu. Dan ketika semua mampu menciptakan itu, kita sedang menjalankan ajaran agama masing-masing. Berarti tolak ukurnya satu, berbuat baik saja karena tujuan kita hanya pada satu Tuhan,” kuncinya.


Berbeda Bisa Menyatu

Kegiatan Natal bersama yang diselenggarakan GCDS adalah langkah yang sebetulnya perlu diambil oleh banyak pihak. “Karena kalau diambil banyak pihak, niscaya kerusuhan, perselisihan antar umat yang berbeda keyakinan agama, suku, ras, itu terhindarkan,” kata Iswan Sual, ketua penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung.

Baginya, momen ini sebetulnya jadi contoh, panutan dari kelompok-kelompok yang toleran. Bukan hanya sekedar tidak berbuat apa-apa, tapi perlu mengambil langkah konkret dalam mewujudkan perdamaian.

Ia rindu, kiranya kegiatan seperti ini boleh menginspirasi anak-anak muda yang di masa mendatang akan menjadi pemimpin. “Paling penting kegiatan lintas iman ini bukan dilakukan oleh golongan elit, tapi memang dari akar rumput. Orang-orang yang memiliki kesadaran untuk menciptakan damai di Sulawesi Utara,” ujarnya.

“Kegiatan ini melibatkan semua penganut kepercayaan. Saya sebagai penganut kepercayaan Lalang Rondor Malesung, sangat bergembira dan berterima kasih, karena diberikan ruang untuk hadir dalam ruang-ruang keberagaman yang luar biasa seperti ini.”

Mardiansyah Usman, Ketua Lesbumi Nahdaltul Ulama (NU) Sulut menyebut, kegiatan model seperti ini sangat spesial karena jarang terjadi. Pertama, yang jadi tuan dan nyonya rumah dari agama Baha’i, sementara konsepnya perayaan Natal.

“Ini jarang terjadi, agama lain mengundang kita lintas agama menghadiri acara semacam ini. Kalau kita lihat, ini bisa dijadikan model sosial baru, khususnya di Sulawesi Utara, untuk mempertahankan kebersamaan dalam keberagaman,” nilainya.

Diakui, di GCDS sebenarnya kegiatan-kegiatan serupa sudah sering dilakukan. Kali ini memang tepatnya di momen Natal, dan kemudian mereka ikut memberikan refleksi dari masing-masing keyakinan.

“Terpenting bagi kita, dengan acara-acara seperti ini bisa saling kenal-mengenal, kemudian kita bisa saling mengetahui. Kalau dulu ada rasa kecurigaan, tapi sekarang ini ketika semua masing-masing memberikan refleksi, kita bisa lebih terbuka dan tahu bahwa ternyata semua kelompok, semua agama itu ingin berdamai,” tandasnya.

Kesan senada dituturkan I Dwi Budi Medhawinata, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Minahasa. Ia melihat suasana acara ini sangat indah. Di sini mereka bisa menyatu walau berbeda agama. Baginya, umat beragama bisa menyatu, membawakan doa bersama, dan saling berbagi bersama dalam kegembiraan adalah Nusantara yang sesungguhnya.

“Mengutip yang pernah dinyatakan Bung Karno, ‘Bagaimana caranya kita menyatukan pikiran-pikiran, golongan-golongan, tanpa kita kuatkan yang bisa menjadi landasan, yang bisa menjadi wadah untuk bersatu’. Kali ini, Pak Agus menjadi wadah kesatuan kita di sini, di Minahasa,” ucapnya.

Bagi Dwi, hidup bersama dalam perbedaan merupakan pengalaman nyata yang dia rasakan di tanah Minahasa. Tanah yang memberikan kenyamanan baginya untuk mengekspresikan keyakinan walau berbeda dengan lainnya.

“Hidup rukun sudah saya rasakan dari kecil di Minahasa. Saya sendiri Hindu tapi bisa beradaptasi, rukun dengan teman-teman sejak masih sekolah SD, SMP, SMA, bahkan di bangku kuliah. Itu sangat membahagiakan,” tutur Dwi yang kini tinggal di Kelurahan Maesa Unima, Tondano.

“Tak ada beban sama sekali. Aura-aura negatif yang membuat kita marah kepada orang lain, itu tidak ada. Di Minahasa, kami hidup enak, tanpa beban.” (Rikson Karundeng)


Sumber:

https://kelung.id/kelung/merayakan-natal-di-rumah-bahai/?amp=1&fbclid=IwAR35RZDw1bZxbPfUUgOYEKJyUusiCFYf0v6q6rHbwQX60DSKlQ45P9V-TAA

Kamis, 22 Desember 2022

Garden Amidst the Flame

Riane Elean



PUKKAT menjadi host pemutaran film "Garden Amidst the Flame" dan diskusi karya Natasha Tontey, seorang seniman visual, desainer grafis dan peneliti, yang telah menghasilkan banyak karya seni yang dipresentasikan di dalam dan luar negeri.

Menurut seniman berdarah Minahasa ini, setelah premier di London serta pameran di Zürich, Den Haag dan Bangkok, akhirnya, Garden Amidst the Flame (2022) pulang ke Tanah Minahasa di Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur - Pukkat.

Pemutaran film dan diskusi yang digelar 21 Desember 2022 di Kantor PUKKAT - Kakaskasen, dihadiri para pemeran dan kru film, sejumlah akademisi, aktivis, jurnalis dan tim PUKKAT.



"Garden Amidst the Flame" adalah kisah masa depan di mana penonton dipandu ke dalam fantasi seorang gadis muda Minahasa dalam struktur waktu non-linear. Perjalanan dimulai dari protagonis muda Virsay mengisi malam dengan mencukur alisnya bersama adik perempuannya dalam tampilan hipermaskulinitas budaya Minahasa yang tidak emosional. Tanpa mengetahui adik perempuannya adalah salah satu anggota tumpukan Kawasaran perempuan yang mempraktikkan pengetahuan kuno, dia menemukan dunia antah berantah dengan kemunculan tiba-tiba fosil hidup, monster Coelacanth, di tempat tidurnya, binatang ayam jago menari di kamarnya saat itu dipenggal oleh kawasaran perempuan, dan situasi fantastis dan absurd lainnya.

Menurut Natasha, Plot "Garden Amidst the Flame" ditulis setelah dirinya berpartisipasi dalam ritual Karai. Pengalaman immaterial yang luhur untuk menggali, mengambil bagian, dan mengamati budaya leluhurnya menginspirasi untuk melahirkan karya ini. Simbol dan mitos diadaptasi dan dibenturkan dengan fiksi dan kritik untuk membangun narasi cerita yang tidak linier. Eksperimen dan penelitian bermutasi menjadi film fantasi. Karya tersebut mengeksplorasi psikologi dari banyak karakter fiksi yang muncul dalam film; protagonis muda utama Virsay, adik perempuannya Mikha, Kakek Yop, monster Coelacanth, monster ayam jago, dan yang terpenting Wulan Lengkoan, tumpukan Kawasaran perempuan. Semua karakter ini berinteraksi satu sama lain untuk memikirkan metode baru perawatan spekulatif, sebagai ide untuk menentang presentasi hipermaskulin budaya ritual Minahasa dan kehidupan sehari-hari.

Film ini disajikan dalam pengaturan instalasi yang menciptakan lingkungan suara, pencahayaan, dan gambar bergerak yang berlapis-lapis.

Menurut Natasha, dia memperluas penelitian artistiknya dalam kosmologi Minahasa, dalam karya filmnya ini. Dia mengembangkan pendekatan queering dalam memahami salah satu upacara ritual utama dalam masyarakat Minahasa, "Karai". "Karai" adalah ritual di mana prajurit Minahasa berpakaian dengan baju besi yang tak terkalahkan untuk membuat mereka kebal terhadap perang suku. Di Minahasa kontemporer, Karai lebih banyak dipahami sebagai ritual hiper-maskulin karena sebagian besar pesertanya adalah laki-laki. Namun, dalam karya ini, berdasarkan penelitian dan pengalamannya, dia menggali ide potensial perawatan spekulatif di Karai. Karena ritual ini terkait erat dengan pengertian tentang pakaian, simbol, dan pakaian, dan mengingat bahwa dalam mitologi kosmos Minahasa bahwa dunia bukanlah tempat bermain yang heteronormatif, Dia mengamati kemungkinan destabilisasi dan rekonfigurasi asumsi Karai dalam hubungannya, untuk gagasan perawatan dan kekebalan bukan agresi dan maskulinitas.

Sejumlah karya Tontey lainnya telah dipresentasikan di Singapore Biennale 2022 (Singapore, 2022), Auto Italia (London, 2022), GHOST;2565 (Bangkok, Thailand, 2022), De Stroom Den Haag (The Hague, 2022), Protozone8; Queer Trust di Shedhalle (Zurich, 2022), transmediale for refusal (Berlin, 2021), Molecular Minds Monstrous Matters di Akademie Schloß-Solitude (2021), Asian Film Archive (Singapore, 2021), Kyoto Experiment (Kyoto, 2021), Polyphonic Social yang di kurasi oleh Liquid Architecture (Melbourne, 2019), Other Futures: Multispecies Experiment (Amsterdam, 2019), dan masih banyak lagi.

Sabtu, 10 Desember 2022

Festival Film Wanua Hentak Tomohon

Riane Elean



Sebuah event ‘tak biasa’ bertajuk ‘Festival Film Wanua’ (FFW), bergulir di Tanah Lumimuut-Toar. Para sineas, komunitas film, pencinta film di Minahasa raya, sejumlah pejabat pemerintah kota Tomohon, hingga masyarakat dari berbagai kalangan usia, bersua di Balai Kelurahan Taratara Dua, Tomohon Barat, 10 Desember 2022, pada event yang diorganisir Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat).

Rangkaian acara pemutaran film, diskusi dan apresiasi bagi para sineas dan komunitas film di Tanah Minahasa ini dipandu Director Komunitas Penulis Mapatik, Rikson Karundeng dan Director Smartphone Movement, Kalfein Wuisan.

Ketua Pukkat, Dr. Denni Pinontoan, M.Teol., mengatakan Festival Film Wanua merupakan rangkaian sejumlah kegiatan. Mulai dari sosialisasi dan pendataan sineas, komunitas film dan karyanya, penulisan buku profil filmmaker dan komunitas film, serta materi karyanya, pemutaran film dan diskusi keliling di enam lokasi berbeda di tanah Minahasa, hingga seminar film yang membahas tentang proses kreatif, isi dan tema film.

“Kita mulai festival ini dari Tomohon. Selanjutnya akan dilaksanakan di SMA Negeri 3 Tondano di Kembuan, Malola Kumelembuay, Wuwuk Tareran, Minanga Pusomaen, dan Laikit Dimembe. Puncak festival, ruang apresiasi dan launching buku akan dilaksanakan pada bulan April 2023 nanti, di Benteng Moraya Tondano,” kata Pinontoan, saat memberikan sambutan di awal kegiatan.

Dijelaskan, Festival Film Wanua yang diorganisir Pukkat ini didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI lewat Program Sinema Mikro dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

“Kegiatan festival film yang ditunjang oleh Kemendikbudristek dan LPDP ini menjadi wadah ekspresi, apresiasi dan edukasi,” ucapnya.


Pinontoan juga menjelaskan kenapa secara spesifik festival film ini diberi tema ‘Festival Film Wanua’. Menurutnya, ‘wanua’ dalam pengertian tradisi orang-orang Minahasa menunjuk pada kampung atau desa, sebagai suatu kesatuan adat yang dialami secara spiritual dan sosial.

“Pada komunitas wanua, tou atau manusia, dan sumber daya alam yang berfungsi secara praktis untuk kehidupan, yaitu dalam bentuk wale atau papan, kan atau pangan dan karai atau sandang, membentuk suatu praktik dan etik. Secara teknis, tema ini menunjuk pada ruang lingkup dan materi film,” paparnya.

Di ujung sambutannya, Pinontoan menyampaikan terima kasih dan apresiasi bagai para sineas, komunitas film dan pemerintah kota Tomohon yang terlibat langsung, dan memberikan dukungan nyata bagi kegiatan ini.

Ketua Panitia Festival Film Wanua, Yonatan Kembuan, M.Teol., menjelaskan lebih lanjut jika Festival Film Wanua ini sebenarnya sudah didahului dengan berbagai publikasi, sosialisasi, dan workshop film, di sejumlah wanua atau roong di Minahasa.

“Sejak bulan Juli 2022, Pukkat sudah mulai dengan publikasi. Bekerja sama dengan Smartphone Movement dan Komunitas Penulis Mapatik, kami juga menggelar workshop film kepada para pemuda dan remaja di kampung-kampung. Itu sekalian sosialisasi, mengajak para filmmaker dan komunitas film di Minahasa untuk bergabung dan membawa karya filmnya, kemudian kita putar dan tonton bersama,” ungkap Kembuan.

Dijelaskan juga, puluhan komunitas film yang sudah mendaftar secara resmi untuk terlibat dalam rangkaian Festival Film Wanua, telah melalui beberapa tahapan. Mulai dari pendaftaran secara langsung ke Pukkat atau melalui website resmi https://festivalfilmwanua.com.

“Jadi, filmmaker dan komunitas yang terlibat, mereka sudah mengisi formulir pendaftaran. Kemudian ada proses kurasi.  Film yang sudah dikirimkan, diseleksi oleh peyelenggara festival berdasarkan kriteria yang ada. Film terpilih yang kemudian diputar dalam roadshow pemutaran film Festival Film Wanua,” papar Kembuan.

Pantauan di lokasi kegiatan, sepanjang acara Festival Film Wanua berlangsung di Balai Kelurahan Taratara Dua, beragam apresiasi mengalir dari sejumlah kalangan yang hadir. Diawali dari Kepala Dinas Pariwisata Daerah Kota Tomohon, Yudhistira Siwu, S.E., M.Si., kemudian Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tomohon, Sonny Saruan, M.Pd., Lurah Taratara Dua, John Lonta, S.Hut., M.A.P., Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Michelin Salata, serta sejumlah sineas dan penggerak komunitas film di Tanah Minahasa.

Pihak Pemerintah Kota Tomohon dan BPAN, dalam kegiatan ini memastikan akan mendukung, bahkan terlibat bersama dalam upaya mengedukasi, mendorong daya kreativitas masyarakat agar semakin banyak sineas dan komunitas film hadir di Tanah Minahasa, termasuk kota Tomohon. Diyakini, upaya ini sangat positif untuk memberikan dampak positif pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. (*)

Link Pemberitaan Media:

https://kelung.id/kelung/festival-film-wanua-bergulir-apresiasi-mengalir/?amp=1&fbclid=IwAR3uG7HBisp47EIRUXYG2SIbySpYZKXsIIRAbXmld8K5QbjaxOLNNzHLn5c

https://inatara.com/festival-film-wanua-hentak-tomohon/?fbclid=IwAR3WWbdEaMu4IxiW1ybkHG9MJWma68-Jrs6kzf_inIY2AnEeEXeUejszHnE

https://manadoxpress.com/berita-19668-festival-film-wanua-dimulai-pinontoan-ini-wadah-ekspresi-apresiasi-dan-edukasi-.html?fbclid=IwAR2EJnjwnQAS9njjV0nTZaZMx1vCwoQH6c5Ij9HBVZotFaH4p1IRO0R1Css

https://kanalmetro.com/2022/12/11/pukkat-kemendikbudristek-gelar-festival-film-wanua-di-tomohon/?fbclid=IwAR0Kf_4v_7LFiJymIHkvxcPSLqNzxlhuUo7a27HBvj_oU4ryIdhvDXZF4Gk

https://timurtimes.com/2022/12/pukkat-kemendikbudristek-gelar-festival-film-wanua-di-tomohon/?fbclid=IwAR3HAbEmDQkjJTv1rVdHBHRp3fiFSMza4AVfd7uvc0KwR-4LgM_7A_APWlA

http://www.lensasulut.com/2022/12/10/festival-film-wanua-digelar-di-tomohon-oleh-pukkat-dan-kemendikbudristek/?fbclid=IwAR38wv8Bv4D3MvFfWxVk4Ypa_F5jZItgdL1AYhTm3rgP-4hrnRWD5_YlvcQ

https://bacarita.id/2022/12/12/festival-film-wanua-yang-diorganisir-pukkat-kemendikbudristek-banjir-apresiasi/?fbclid=IwAR2o25pyspnXoosei-D4ugvpVUWpOoEdcm-IISCAwp-gKGRbQBeVEe-Q6vA

https://rri.co.id/manado/daerah/109926/diorganisir-pukkat-kemendikbudristek-taratara-jadi-tempat-pertama-bergulirnya-festival-film-wanua?fbclid=IwAR3Fse_QXMTTQfPIbTikZf-N1kBBXBa1Jk0capgZVt0hGmq_dTEVSuEre7Q

Kamis, 01 Desember 2022

Rabu, 23 November 2022

Festival Film Wanua 2022

Riane Elean

 


Perkembangan teknologi digital telah berdampak pada kemajuan dunia perfilman di Indonesia, terutama berkaitan dengan proses kreatif orang-orang muda di Minahasa, Sulawesi Utara. Film menjadi salah satu karya yang banyak diciptakan dari proses kreatif tersebut. Hal ini memungkinkan munculnya filmmaker dan komunitas film. Mayoritas dari mereka merupakan anak muda yang berasal dari wanua (kampung-kampung) di penjuru Sulawesi Utara. 

Namun perkembangan kuantitatif filmmaker dan komunitas film tidak sejalan dengan apresiasi. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya ruang atau wadah ekspresi maupun apresiasi untuk karya-karya ini. Satu-satunya ruang apresiasi yang pernah diadakan oleh jaringan PUKKAT pada tahun 2017 adalah “Festival Komunitas Film Orang Gunung”. Melalui kegiatan ini terdata seratus lebih film yang diproduksi oleh filmmaker dan komunitas film di Minahasa. Jumlah filmmaker dan komunitas film sekitar 90-an. Karya-karya mereka kebanyakan diproduksi dengan menggunakan Smartphone, beberapa di antaranya DSLR. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi ponsel pintar yang begitu cepat dengan harga yang murah dijangkau, yang teknologinya telah mendukung produksi film pendek. “Festival Komunitas Film Orang Gunung” adalah benar-benar festival, bukan lomba. Festival ini dibuat terutama untuk maksud menyiapkan ruang ekspresi, apresiasi, dan sharing. Pada festival ini, ditampilkan film-film karya para filmmaker dan komunitas film dari Minahasa yang bertemakan banyak hal tentang budaya Minahasa.  

Ruang atau wadah ekspresi dan apresiasi sangat penting untuk mendorong dan merespons kreatifitas para sineas yang muncul. Selain ruang, sharing pengetahuan, keterampilan maupun dorongan dan motivasi sangat penting untuk  meningkatkan kualitas substansi materi, teknik produksi film dan konsistensi menghasilkan karya. Dengan pertimbangan tersebut maka festival film menjadi salah satu upaya strategis dan efektif untuk menyiapkan ruang ekspresi, apresiasi, sharing, motivasi dan edukasi bagi para sineas, komunitas film, maupun masyarakat di tanah Minahasa.

Di samping pertimbangan di atas, tema dan materi film yang berkaitan tradisi papan, pangan dan sandang Minahasa sangat menarik, namun hingga kini belum menjadi perhatian para filmmaker dan komunitas film di Minahasa. Sementara, tema tradisi, selain penting untuk menggali kekayaan kebudayaan etnik (daerah) untuk kebudayaan nasional, namun juga untuk dunia kepariwisataan di Sulawesi Utara yang sedang menjadi perhatian pemerintah, dan lebih luas Indonesia.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur didukung oleh Kementerian Kebudayaan RI lewat Program Sinema Mikro menggelar sebuah rangkaian kegiatan festival film sebagai wadah ekspresi, apresiasi dan edukasi. Secara spesifik rencana festival film ini kami beri tema: “Festival Film Wanua” (FFW). “Wanua” dalam pengertian tradisi orang-orang Minahasa menunjuk pada kampung (desa) sebagai suatu kesatuan adat yang dialami secara spiritual dan sosial. Pada komunitas “wanua”, manusia (tou), dan sumber daya alam yang berfungsi secara praktis untuk kehidupan, yaitu dalam bentuk papan (wale), pangan (kan) dan sandang (karai) membentuk suatu praktik dan etik. Secara teknis, tema ini menunjuk pada ruang lingkup dan materi film. 

Konsep Kegiatan
Festival Film Wanua merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari:
  • Sosialisasi dan pendataan sineas, komunitas film dan karyanya
  • Penulisan buku profil filmmaker/ komunitas film dan materi karyanya
  • Pemutaran film dan diskusi keliling di enam lokasi berbeda di tanah Minahasa
  • Seminar film yang membahas tentang proses kreatif, isi dan tema film
  • Puncak festival: ruang apresiasi dan launching buku
Waktu dan Tempat Kegiatan 
Waktu : 10 November 2022  s.d 29 April 2023
Tempat : Tomohon, Tondano, Motoling, Wuwuk, Minanga, dan Likupang 

Informasi Selengkapnya Cek festivalfilmwanua.com

Jumat, 11 November 2022

Jurnalis dan Aktivis Asal Indonesia Timur Belajar Narasi di Tomohon

Riane Elean

 


Tomohon –  Sebanyak 15 peserta dari sejumlah daerah di Indonesia timur mengikuti kelas Narrative Journalism Tour (NJT) 2022 yang diadakan Yayasan Pantau bersama Universitas George Washington dan Kedutaan Amerika Serikat di Tomohon, Sulawesi Utara pada 7-11 November.

Peserta terdiri dari jurnalis, aktivis, dan minoritas penghayat kepercayaan, dari Manado, Kendari, Makasar, Maluku Utara hingga Papua. Di Tomohon kelas diampu oleh Janet Steele, guru besar di Universitas George Washington dan Andreas Harsono, pendiri Yayasan Pantau juga Peneliti Senior Human Rights Watch. 

“Sebagai dua negara demokrasi terbesar dan paling dinamis di dunia, Amerika Serikat memiliki komitmen yang sama dengan Indonesia untuk melindungi kelompok-kelompok rentannya," ujar Michael Quinlan, Juru Bicara dan Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.


Quinlan mengatakan Amerika Serikat mendukung upaya Indonesia untuk menegakkan dan menggalakkan perlindungan bagi minoritas.


“Media memainkan peran penting dalam menyuarakan suara dan pandangan yang termarjinalisasi – dan pelaporan dengan jurnalisme yang baik dapat membentuk opini dan mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan. Untuk mencapai tujuan ini, kami bangga dapat bermitra dengan Yayasan Pantau, yang sangat memahami kebutuhan di lapangan. Kami juga senang bekerja sama dengan Universitas George Washington, untuk berbagi tentang praktik terbaik jurnalisme dari perspektif AS. Kami menantikan untuk membaca kisah-kisah menarik yang dihasilkan pelatihan ini, dan berharap kisah-kisah ini dan para peserta akan menginspirasi yang lain untuk melakukan yang sama," ujarnya.

Pendiri dan penasihat Yayasan Pantau, Andreas Harsono mengatakan Tomohon adalah tempat khusus dalam sejarah Minahasa, maupun Indonesia, baik karena ia adalah tempat pergolakan kalangan Kristen, maupun gereja berbagai suku di Indonesia, sekaligus kesulitan dalam mengelola perbedaan dalam Gereja Masehi Injili di Minahasa. 

“Tomohon menunjukkan bahwa liputan agama dan kepercayaan, dari Kristen sampai Islam, dari Parmalim sampai Kejawen, adalah kerja sangat penting yang harus dimengerti mereka yang belajar jurnalisme," kata Andreas. 

Di Tomohon, Yayasan Pantau bekerja sama dengan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Denni Pinontoan, Direktur PUKKAT menilai kelas narasi ini sangat baik sekali untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan menulis yang lebih dalam dan memikat. 

Di era banjir informasi ini, kata Denni, butuh kemampuan yang lebih untuk memberitakan fakta secara menarik. 

“PUKKAT sangat beruntung karena boleh dilibatkan untuk program NJT bersama Embassy of the United States (Jakarta-Indonesia) - Institute for Public Diplomacy & Global Communication - The George Washington University dan Yayasan Pantau,” kata Denni. 

Neno Karlina Paputungan, jurnalis zonautara.com beranggapan kursus ini sangat membantu para peserta terutama jurnalis untuk menyajikan liputan-liputan yang selama ini penuh data dan susah dipahami, menjadi lebih mudah. 


“Selain itu, laporan yang dikemas secara naratif, mudah menarik pembaca untuk berempati, membuat penulis bisa memberi emosi dalam tulisan sehingga pembaca tetap tertarik membaca hingga akhir, terutama untuk tulisan mendalam,” kata Neno. 


Neno berharap Yayasan Pantau bisa terus membuka kursus seperti ini di semua daerah di Indonesia, agar lebih banyak lagi orang yang bisa menulis naratif, dan menghasilkan karya yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga menarik.


Iswan Sual, Ketua organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, Lalang Rondor Malesung (Laroma) yang menjadi salah satu peserta kelas, berharap kelas narasi bisa mendidik masyarakat lebih baik soal penghayat kepercayaan termasuk Laroma. 


“Artinya, cara penyampaiannya berorientasi pada kebenaran tapi menyejukkan," kata Iswan. 


Secara personal, bagi Iswan, kelas narasi ini  memberikan pengalaman dan pengetahuan baru.

 

“Saya punya pengalaman menulis tapi ada banyak hal yang baru yang memberi sumbangan pada kemampuan menulis saya. Saya berharap nanti akan saya terapkan dalam media kami, yang akan jadi penyambung lidah komunitas penganut agama lokal,” ujarnya. 


Selain Iswan, kelas ini juga diikuti Disha Natalia Sayori, seorang tenaga kesehatan dari Medis Frontline Papua. 


“Pelatihan ini membantu aktivitas kerja saya selanjutnya sebagai seorang tenaga kesehatan di pelosok Papua untuk siap menyuarakan apa yang sedang terjadi di daerah. Saya harap saya bisa mewakilkan suara-suara yang selama ini tak bisa disuarakan. Janet dan Andreas berhasil membuat peserta pelatihan menulis kelas Manado (Tomohon) menjadi lebih excellent,” ujar Disha. 


Yayasan Pantau telah memulai kelas-kelas Jurnalisme Narasi maupun Jurnalisme Sastrawi, sejak 2001. Materi dalam kelas ini mengikuti gerakan Tom Wolfe yang menggabungkan disiplin jurnalisme, riset dan daya pikat sastra.



Catatan editor:


  • Yayasan Pantau adalah sebuah lembaga yang bertujuan mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia melalui program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan serta diskusi terbatas. 


  • Misi Amerika Serikat bermitra dengan Indonesia untuk mempererat ikatan antara masyarakat dan pemerintah kedua negara untuk mempromosikan dan melindungi demokrasi, keamanan, dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat AS dan Indonesia, kawasan, dan dunia.


  • Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) adalah organisasi masyarakat sipil non profit yang berdiri pada 29 September 2013. Kegiatan PUKKAT banyak bermitra dengan organisasi masyarakat sipil lain dan sejumlah perguruan tinggi si Sulawesi Utara maupun di Indonesia dalam isu feminisme, jurnalisme, multikulturalisme dan kebudayaan. 

Our Team

  • Ruth Kesia WangkaiAktivis-Peneliti
  • Steven Bons ManengkeiPeneliti
  • Marlin WongkarAktivis
  • Denni PinontoanPeneliti
  • Riane EleanPeneliti
  • Putri KapohPeneliti
  • Rikson KarundengPeneliti
  • Kalfein WuisanPeneliti
  • Yonatan KembuanPeneliti
  • Rivo GosalPeneliti
  • Kharisma KuramaPeneliti
  • Greenhill WeolPeneliti
  • Mineshia LesawengenPeneliti
  • Omega PantowPeneliti
  • Leon WilarPeneliti