Diskusi Buku "Aktivisme Agama & Pembangunan yang Memihak: Esai-esai untuk Sulawesi Utara”

Diskusi Seksualitas Dari Perspektif Budaya Minahasa

Sometimes you need advice, Ask a teacher to solve your problems.

Make a Difference with education, and be the best.

Make a Difference with education, and be the best.

Make a Move Together for Better Life

Make a Move Together for Better Life

Latest Posts

Senin, 07 Oktober 2024

Debat

Riane Elean



Tahun 1858, Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas terlibat suatu perang argumen dalam serangkain debat untuk pemilihan kursi Senat. Isu utama yang memicu perdebatan adalah perluasan perbudakan ke wilayah-wilayah baru Amerika Serikat yang belum menjadi negara bagian. Lincoln dari Partai Republik, Douglas dari Partai Demokrat. 

Lincoln antara lain menegaskan dalam debat itu:

"Sebuah rumah yang terpecah tidak dapat bertahan. Saya percaya bahwa pemerintahan ini tidak dapat bertahan jika sebagian besar mendukung perbudakan dan sebagian lagi bebas."

Douglas menegaskan, "Jika rakyat Kansas menginginkan negara bagian yang mendukung perbudakan, itu adalah hak mereka berdasarkan Konstitusi, dan tidak ada kekuatan di dunia yang dapat menolak hak tersebut."

Serangkaian perdebatan panas antara Douglas vs Lincoln dikenal dengan Lincoln-Douglas Debates. 

Debat kemudian menjadi bagian dari demokrasi modern yang rasionalistis. Kata "debat" berasal dari bahasa Latin debattere, yang terdiri dari dua bagian: de- (yang berarti "ke bawah" atau "dari") dan battere (yang berarti "memukul" atau "mendorong"). Secara harfiah, debattere berarti "bertarung" atau "berdebat secara sengit." Dalam bahasa Prancis Kuno, kata ini berubah menjadi debatre, dan kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris sebagai debate. Arti kata ini mengandung makna perlawanan atau perbedaan pendapat yang aktif, yang kemudian berkembang menjadi bentuk diskusi formal tentang berbagai topik.

Debat mesti panas, tapi rasional. Mesti saling mendikte, tapi fokus pada substansi. Debat semacam ini sebenarnya perkembangan dari tradisi demokrasi Yunani klasik. Di forum "Ekklesia", majelis umum debat menjadi bagian penting untuk merumuskan dan memutuskan kebijakan politik. Seorang pendebat mesti menguasai ilmu retorika. 

Retorika adalah ilmu tentang seni berbicara dan menulis secara persuasif. Tujuan utamanya adalah untuk menyakinkan publik mengenai suatu paham pemikiran atau argumentasi. Aristoteles, menulis buku berjudul "Rhetoric". Menurutnya, retorika adalah "kemampuan untuk menemukan cara-cara persuasi yang tersedia dalam setiap situasi." Ia mengidentifikasi tiga komponen utama dalam retorika, yaitu:

Ethos atau kredibilitas atau karakter dari pembicara. Dalam retorika, penting bagi pembicara untuk menunjukkan bahwa ia memiliki otoritas dan bisa dipercaya oleh audiens.

Pathos adalah upaya untuk memengaruhi emosi audiens. Dengan menggunakan pathos, pembicara atau penulis mencoba membuat pendengar atau pembaca merasa terhubung secara emosional dengan pesan yang disampaikan.

Logos, atau logika adalah alasan yang mendasari argumen. Ini melibatkan penggunaan bukti, data, atau penalaran yang jelas dan logis untuk mendukung poin yang disampaikan.

Jadi, dalam tradisi politik modern, debat adalah praktik komunikasi politik, dan retorika adalah ilmunya. Suatu debat politik mesti retoris. Ia mesti menjadi cara untuk menyakinkan publik secara diskursus. Bahwa ada masalah publik yang mesti dipahami secara mendalam, ada kritik yang mesti tajam atas upaya-upaya politik yang sudah, dan sementara dilakukan, dan ada solusi konstruktif yang ditawarkan. 

Paling sederhana, debat mestinya adalah cara untuk menunjukkan kemampuan politik kepada publik. Publik yang menyaksikan, mestinya juga mengikuti setiap argumen secara kritis untuk kemudian nanti tiba pada penilaian dan sikap politik. Suatu debat politik mesti memahami publik sebagai subjek. Dengan demikian, publik mesti mengikuti debat itu secara kritis dan aktif bernalar. (Denni Pinontoan, 8/10/2024

Warisan Budaya Tak Benda Tradisi Pertanian di Motoling

Riane Elean

 


Judul:

Warisan Budaya Tak Benda Tradisi Pertanian di Motoling

Kepengarangan:

Denni H. R. Pinontoan

Penerbit:

Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

Informasi/ Pemesanan:

pukkat.org@gmail.com

Sinopsis

Dokumentasi warisan budaya tak benda dalam tradisi pertanian di Motoling adalah bagian dari upaya pemajuan kebudayaan secara partisipatif.  Buku ini berisi deskripsi mengenai praktik pertanian di Motoling sebagai warisan budaya tak benda kebudayaan Minahasa secara lebih luas. Meskipun perubahan sudah sedang terjadi di masyarakat Motoling, dan tentu memberi  dampak pada praktik dan dan tradisi pertanian,  namun sebagai budaya tak benda budaya ini mewarisi pengetahuan luhur yang mesti didokumentasi dan dikembangkan. Di dalam buku ini diuraikan tentang praktik penataan dan pengolahan lahan, kemudian tradisi mulai dari membersihkan lahan hingga panen, serta tradisi dalam hal membaca dan menafsir peredaran bulan, dan juga hal-hal yang terdapat di lahan pertanian masyarakat Motoling.

Kata kunci

Motoling, Pertanian, Warisan Budaya Tak Benda

Sabtu, 31 Agustus 2024

Pilkada Sebagai Praktik Kebudayaan

Riane Elean

 


Oleh: Denni H.R. Pinontoan

HINGGA kini, publik, para intelektual, dan para aktivis demokrasi masih mendiskusikan tentang praktek dan fenomena politik uang, politisasi identitas, mobilisasi massa PNS, calon yang dinilai tidak berkualitas, dll di Pemilihan Umum (Pemilu), dan lebih khusus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Katakanlah, dari segi prosedur tentu semakin hari semakin baik, apalagi jika dibandingkan sebelum era reformasi, tapi praktek dan fenomena “penyakit demokrasi” tersebut, jelas adalah indikator bahwa demokrasi di negara kita ini belum substansial. 

“Penyakit demokrasi” tersebut terjadi dalam sebuah konteks sosio-kultural. Para peserta Pilkada, yaitu partai politik, para pasangan calon, baik yang diusung oleh partai politik, maupun independen berhadapan dengan rakyat pemilih, kemudian tim sukses yang bekerja mempromosikan para calon dengan segala cara adalah anggota masyarakat. Semua pihak ini adalah bagian dari kehidupan sosial-budaya suatu komunitas atau masyarakat. Demikian bahwa praktik dan aktivitas politik elektoral adalah fenomena sosial dan budaya di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Pilkada adalah juga fenomena kebudayaan.  

Memilih pemimpin dengan didasari kesadaran dan gagasan tertentu adalah bagian dari sejarah peradaban manusia. Di banyak bangsa besar, pemimpin tertingginya, raja atau kaisar keterpilihannya memang dianggap sebagai peristiwa teologis, sebagai kehendak para dewa atau Tuhan. Tapi, di banyak komunitas pemimpin dipilih oleh anggotanya melalui perwakilannya. Demokrasi modern pada akhirnya menetapkan mekanisme, yaitu pemilihan umum, bahwa setiap individu adalah subjek hukum dan politik. 

Pilkada sesungguhnya melanjutkan tradisi penataan kehidupan sosial, terutama dalam hal memilih pemimpin. Sejak makhluk bernama manusia menemukan cara hidup bersama untuk mengatasi berbagai ancaman kehidupan, sejak saat itulah manusia membutuhkan pemimpin. Tidak mungkin semua anggota komunitas menjadi pemimpin, tidak mungkin pula semuanya adalah anggota. Maka, terbentuklah kesadaran, bahwa satu atau beberapa anggota komunitas dapat dipercaya untuk menjadi pemimpin mereka. Dari proses belajar yang terjadi terus menerus, maka di kemudian hari dirumuskan dan ditetapkan syarat bagi anggota komunitas yang dapat dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Demikianlah sehingga sekarang ini kita mesti menyatakan bahwa praktik memilih pemimpin adalah tindakan kebudayaan masyarakat. 

Dalam pemahaman demikianlah maka mesti pula dikatakan, bahwa Pilkada adalah upaya manusia menata kehidupan bersama yang mestinya bukan sebatas rutinitas politik apalagi mekanisme konstitusional yang hanya menjadi arena bagi parpol dan politisi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Tapi, sebagai praktik politik elektoral, kenyataanya Pilkada memang seolah hanya sebagai ajang pertarungan kekuasaan bagi para elit. Rakyat tampaknya hanya menjadi objek kekuasaan. Padahal, selalu diwacanakan, bahwa Pilkada adalah ajang untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana nilai utama demokrasi. 

Jika Pilkada adalah bagian dari praktik kebudayaan, dan semua yang terkait denganya ada dalam suatu konteks sosio-kultural, maka rakyat pemilih yang hidup dan menghidupi nilai-nilai moral dan kulturalnya mesti menjadi subjek. Pilkada mesti menjadi ajang rakyat dengan nilai pengetahuan, moral dan etika yang dimiliki di dalam komunitas. Rakyat pemilih mesti memproyeksikan dan mengkonstruksikan visi politik dan cara-caranya berdasarkan warisan pengetahuan, moral dan etika komunitasnya dalam mengusahakan Pilkada yang berkualitas, yang pada satu pihak berkaitan dengan prosedur kepemiluan, namun kemudian lebih daripada itu adalah untuk menghasilkan demokrasi yang substansial. 

Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat, bukan gelanggang pertarungan para gladiator. Prosedur kepemiluan memfasilitasi dan memastikan hak-hak politik rakyat secara konstitusional. Tapi, yang paling menentukan kualitas hasilnya adalah rakyat pemilih sebagai subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai ....subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai subjek demokrasi berarti partisipasinya mestilah berdasarkan kesadaran dan pengetahuan, bukan karena dimobilisasi oleh politik uang dan politisasi identitas. 

Tentu, partisipasi aktif dan kritis ini mesti menjadi kultur demokrasi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Politik transaksional menumpulkan daya kritis rakyat terhadap jalanya pemerintahan, tetapi politik substansial yang aktif dan kritis adalah modal untuk mengontrol kekuasaan yang selalu cenderung korup. (***)

Kamis, 01 Agustus 2024

INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Penurunan Poster Aspirasi Warga di Festival HAM

Riane Elean
Keterangan: Petugas berseragam tengah menurunkan poster aspirasi warga yang terjadi pada gelaran Festival HAM 2024 pada Selasa, 30 Juli 2024. 

Upaya pembungkaman suara masyarakat terjadi di Festival Hak Asasi Manusia (Festival HAM) 2024 yang sedang berlangsung di Kota Bitung, Sulawesi Utara pada 29-31 Juli 2024. Sebuah poster yang dipajang di booth eksibisi masyarakat sipil di lokasi Festival HAM, Kantor Pemerintah Kota Bitung, sebanyak 2 kali dicopot dan diturunkan oleh petugas yang terlihat menggunakan seragam. Poster itu bertuliskan “STOP PERAMPASAN LAHAN DI KELELONDEY OLEH TNI AD”. Peristiwa pencopotan poster ini terjadi di hari kedua gelaran Festival HAM 2024, yaitu pada Selasa, 30 Juli 2024. Saat para peserta sedang fokus mengikuti sesi di dalam ruang Sarundajang Pemerintah Kota Bitung, sejumlah petugas berseragam yang mengaku dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) mendatangi booth dan langsung menurunkan poster tersebut. 

INFID sebagai penggagas Festival HAM mengecam tindakan pembungkaman ekspresi dan suara warga di acara yang menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia ini. Kecaman ini juga datang dari koalisi masyarakat sipil, khususnya yang turut berpartisipasi dalam acara ini.

“Kami mengecam dan tidak membenarkan tindakan yang jelas-jelas melukai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi warga ini. Sesaat setelah mendapatkan laporan ini, kami langsung menindaklanjutinya dengan menyampaikan kepada 3 mitra penyelenggara lainnya, yaitu Komnas HAM, KSP, dan Pemkot Bitung. Kami dengan tegas meminta agar poster dipasang kembali dan tidak ada lagi tindakan serampangan dan intimidatif dari aparat!” tegas Abdul Waidl, Program Manager HAM & Demokrasi INFID. 

Festival HAM merupakan forum dialog, diskusi, dan titik temu banyak pihak, utamanya warga dengan pemerintah, untuk membincangkan berbagai permasalahan HAM serta berbagi contoh-contoh baik pemenuhan HAM di berbagai daerah di Indonesia. Selain forum diskusi, Festival ini juga memberikan ruang bagi kelompok masyarakat sipil untuk berekspresi melalui booth yang telah disediakan oleh penyelenggara. Selain booth makanan dan produk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), terdapat beberapa booth dari organisasi masyarakat sipil yang berisi advokasi-advokasi yang mereka lakukan. Masyarakat sipil yang berpartisipasi antara lain Gerakan Perempuan Sulawesi Utara, Yayasan Cahaya Mercusuar Indonesia (YCMI), INFID, Swara Parangpuan, LBH Manado, AMAN Sulut, PUKKAT, YSNM, Sanubari, EJF, Jaringan Gusdurian, Save Sangihe Island, Laroma,  Kelola, Peruati, DFW, IMM Sulut, dan masih banyak lagi. Booth tersebut ditempel dengan berbagai macam poster yang menyuarakan perlindungan lingkungan, kesetaraan gender, masyarakat adat, termasuk poster yang bertuliskan “STOP PERAMPASAN LAHAN DI KELELONDEY OLEH TNI AD”. 

INFID dan koalisi masyarakat sipil sangat menyayangkan tindakan tersebut terjadi di acara yang seharusnya menjadi ruang aman bagi warga untuk bersuara. Padahal, dalam perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani oleh 4 lembaga penyelenggara, yaitu INFID, Pemkot Bitung, Komnas HAM, dan KSP, menyepakati bahwa acara ini harus bebas dari kekerasan, intimidasi, dan tindakan-tindakan lainnya yang mencoreng prinsip-prinsip HAM. 

“Kami gerakan masyarakat sipil yang hadir ke Festival HAM ini kecewa sekali. Datang ke sini juga untuk memberi penguatan kepada komunitas Kelelondey, yang wakilnya hadir di Festival ini untuk menuntut  keadilan, tapi poster yang dipasang di pameran sebagai ruang bebas berekspresi malah dicopot oleh aparat,” ungkap Ruth Ketsia dari Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS).

“Kami LBH Manado selaku pendamping hukum petani Kelelondey mengecam dengan keras penurunan poster ini. Poster tersebut merupakan bentuk aspirasi petani-petani Kelelondey yang hari ini masih berjuang dari upaya perampasan tanah yang dilakukan oleh TNI AD. Sebuah aspirasi yang disampaikan dalam forum festival HAM yang seharusnya memberikan jaminan kebebasan, dan ruang aman bagi para korban pencari keadilan.” ujar Yano dari LBH Manado.

“YCMI kecewa dengan adanya pelanggaran hak menyampaikan pendapat di depan umum yang terjadi di lokasi Festival HAM.” ungkap D Novian Baeruma, Ketua YCMI, organisasi masyarakat sipil dari Kota Bitung. 

“Festival HAM adalah ruang aman bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan hak dan aspirasinya tanpa kekerasan. Tindakan penurunan poster aspirasi warga adalah tindakan yang  justru melanggar HAM. Tidak seharusnya terjadi penurunan poster yang merupakan bentuk dari suara rakyat.” cetus Listyowati, Ketua Pengurus Kalyanamitra, organisasi masyarakat sipil dari Jakarta yang turut berpartisipasi dalam Festival HAM.

“Kami meminta agar Pemerintah bisa menjadikan Festival HAM ini sebagai ajang refleksi dan menerima dengan baik suara-suara kritis masyarakat. Selain itu, kami juga mengajak seluruh warga untuk tidak gentar menyuarakan pendapatnya dengan kaidah-kaidah konstitusional yang berlaku,” tandas Waidl. 

Di luar itu, INFID tetap mengapresiasi berbagai upaya pemenuhan hak warga yang telah dilakukan oleh Pemkot Bitung. “Semoga di masa depan Pemerintah bisa memberi ruang aman untuk berekspresi, sehingga upaya-upaya yang sudah dilakukan akan berdampak lebih adil bagi semua warga,” lanjut Waidl.

Merespon cepat peristiwa ini, Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan juga langsung mendatangi pihak Pemkot Bitung, KODIM, dan Kepolisian setempat untuk memastikan Festival HAM bisa menjadi ruang aman untuk berpendapat dan berekspresi, serta tidak ada lagi tindakan represif dari pihak manapun. 


Kami yang mengecam:

1. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jakarta

2. Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS), Manado

3. Yayasan Cahaya Mercusuar Indonesia (YCMI), Bitung

4. Swara Parangpuan, Manado

5. Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM)

6. LBH Manado 

7. AMAN Sulawesi Utara

8. Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

9. Sanubari Sulawesi Utara

10. Environment Justice Foundation

11. Jaringan Gusdurian 

12. Save Sangihe Island, Sulut

13. Save Kelelondey, Sulut

14. Save Kalasey, Sulut

15. Laroma 

16. KELOLA

17. PERUATI

18. DFW 

19. IMM Sulut

20. Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi

21. Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan

22. Swara Parangpuan Sulut

23. Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Selatan

24. Yayasan Tanah Merdeka, Palu, Sulteng

25. Kalyanamitra, Jakarta


Tentang International NGO Forum on Indonesian Development (INFID):

INFID adalah organisasi masyarakat sipil yang berjuang untuk pembangunan Indonesia sejak 1985. INFID terakreditasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menyandang Special Consultative Status untuk ECOSOC PBB. INFID memiliki tiga fokus program; 1) Penurunan Ketimpangan, 2) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan 3) HAM & Demokrasi. 


Tentang Festival HAM 2024:

Festival Hak Asasi Manusia (Festival HAM) adalah sebuah acara tahunan yang digagas oleh INFID sejak 2014 yang berkolaborasi bersama Komnas HAM, KSP RI, dan pemerintah daerah yang menjadi tuan rumah. Pada 2024, Pemkot Bitung terpilih menjadi tuan rumah dan terselenggara pada 29-31 Juli 2024 di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Festival HAM memiliki tiga esensi utama; forum strategis untuk menjawab persoalan HAM, ruang aman bagi masyarakat sipil dan publik bersuara, serta ruang inspirasi untuk berbagi pengalaman dan pembelajaran tentang konsep Kabupaten/Kota berbasis HAM oleh pemerintah daerah sebagai bentuk pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Selasa, 18 Juni 2024

Laroma: Intoleransi di Daerah Toleran

Riane Elean

Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Jakarta merelease film karya mahasiswa-mahasiswi Social Immersion 2023 yang berpraktek di PUKKAT. Film dokumenter ini berjudul "Laroma: Intoleransi di Daerah Toleran". Film ini merupakan salah satu luaran dari program Social Immersion yang merupakan agenda kolaboratif STFT Jakarta, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta dan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) sebagai lembaga mitra.

Film ini menayangkan fakta ironis tindak persekusi dan diskriminasi yang dialami para penghayat kepercayaan di daerah yang mendapat penghargaan sebagai Provinsi dengan Indeks Kerukunan Beragama Kategori 10 Provinsi Terbaik, provinsi yang menerima Harmony Award pada 2021 dan 2022 dari Kementerian Agama Republik Indonesia.

Saksikan film dokumenter tersebut pada link Youtube berikut:

Laroma: Intoleransi di Daerah Toleran

Sabtu, 15 Juni 2024

Perampasan Tanah di Minahasa: Perspektif Hukum, Adat, dan Teologi

Riane Elean


Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur gelar diskusi dengan topik "Perampasan Tanah di Minahasa: Perspektif Hukum, Adat dan Teologi', Sabtu 15 Juni 2024 di Kantor PUKKAT Kakaskasen.

Hadir sebagai pemantik Satriano Pangkey (LBH Manado), Ruth Wangkai (Aktivisi PUKKAT), Wulan Rumengan (Peneliti Kelelondey), Fredy Wowor (Budayawan Mawale Movement), dan Frenly Manaroinsong (Komunitas Kelelondey). Sebagai moderator Denni Pinontoan (Ketua PUKKAT).

Kegiatan yang berlangsung hybrid ini dihadiri mahasiswa-mahasiswi Social Immersion 2024 dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Jakarta, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, sejumlah budayawan, praktisi hukum, dan akademisi.

Link dokumentasi diskusi dapat dilihat di Halaman Facebook PUKKAT.



Rabu, 01 Mei 2024

Penerbit PUKKAT Anggota IKAPI

Riane Elean

 


Penerbit Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) telah terdaftar sebagai anggota IKAPI, dengan nomor anggota 007/Anggota Luar Biasa/SULUT/2024. Keanggotaan ini - sebagaimana tujuan IKAPI - yakni untuk meningkatkan fungsi dan peran literasi dalam kehidupan publik dan mengembangkan industri penerbitan buku, sebagai upaya untuk berkontribusi aktif dalam pendidikan dan peningkatan peradaban bangsa.


Cek keanggotaan IKAPI di https://www.ikapi.org/anggota-ikapi/

Senin, 01 April 2024

Manguni Simbol Pembebasan

Riane Elean

 


Judul:

Manguni Simbol Pembebasan: Folklore dalam Konstruksi Sosial dan Emansipasi Intelektual-Spiritual di Minahasa

 

Kepengarangan:

Thiosani Frinsly Kaat

 

Penerbit:

Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

 

Informasi/ Pemesanan:

pukkat.org@gmail.com

Sinopsis:

Buku ini berisi hasil penelitian yang menganalisis Manguni simbol pembebasan dan folklore (pengetahuan masyarakat) berdasarkan konstruksi masyarakat adat Minahasa. Manguni sebagai paradigma dan simbol pembebasan merupakan ekspresi komunitas masyarakat adat Mawale Movement (gerakan kembali pulang) dan Makatana’ Minahasa (pemilik tanah) untuk menarasikan kembali nilai-nilai kultural yang tertidur karena wacana imajinasi kolonialisme. Lebih dari sepuluh komunitas masyarakat adat yang memakai simbol Manguni, namun kajian pada buku ini berfokus pada Mawale Movement dan Makatana’ Minahasa. Prolegomena yang menjelaskan Manguni sebagai simbol pembebasan dan folklore menjadi instrumen perlawanan masyarakat adat Minahasa untuk memproduksi space-lore (ruang pengetahuan) dengan bebas tanpa intimidasi hegemoni sehingga mencapai stabilitas intelektual-spiritual lewat kebebasan bernarasi/menulis perspektif universal (world view) namun berbasis lokalitas. Eksplanasi kajian ini mencakup pendekatan filosofis-analitis dalam menjelaskan simbol Manguni sebagai bentuk perlawanan masyarakat adat Minahasa untuk memproduksi pengetahuan berbasis kearifan lokal.

Jumat, 15 Maret 2024

Demokrasi dan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB)

Riane Elean

Setiap kali ada kunjungan silaturahmi dari kawan-kawan jaringan ke Wale PUKKAT maka akan didaulat untuk berbagi pengetahuan & pengalaman.

Kali ini kawan-kawan dari Pusat Studi Agama & Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Jakarta, yaitu mas Ihsan Ali-Fauzi, mba Ute, & mas Alam menyambangi Wale Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur - Pukkat di Tomohon - setelah beberapa hari berada di Manado. Kedatangan mereka dalam rangka Konsultasi Program dan Asesmen untuk Pelaksanaan Lokalatih Mediasi Lintas Iman di Manado nanti.

Setelah ngobrol-ngobrol santai, dilanjutkan dengan diskusi yang agak serius seputar isu Demokrasi & KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), serta kerja-kerja advokasi yang telah dilakukan oleh PUSAD beberapa tahun belakangan ini.
Yang menarik dari diskusi sejak kemarin dalam FGD adalah pola pendekatan advokasi yang dikembangkan dalam menciptakan "peace maker" di lapangan adalah melalui pelibatan Pemkot & FKUB sebagai "pintu masuk" dalam pelembagaan mediasi lintas iman di daerah.
Beberapa testimoni tentang penerapan pola ini di beberapa kota tampaknya efektif. Sementara untuk konteks Manado baru akan dicoba-terapkan sebagai langkah strategis dalam mendekatkan lembaga-lembaga negara dimaksud pada komunitas-komunitas akar rumput sebagai SEKUTU dalam mengelola konflik. Artinya, bahwa posisi adalah sama-sama subyek yg setara. Bukan sebaliknya, menggunakan terma "mediasi" atau juga "negosiasi", tapi apa yang terjadi selama ini di lapangan adalah penekanan, pemaksaan, bahkan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok marjinal dan rentan.
Tantangan memang nyata. Konflik berbasis KBB ril bahkan fenomenal.
Untuk itu dibutuhkan sinergitas dlm memperkuat gerakan dalam kerja-kerja advokasi mewujudkan keadilan & inklusi sosial.
Seperti kata Gus Dur "perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi". (Ruth Wangkai)

Minggu, 10 Maret 2024

Festival Kuncikan dalam Diskursus Kristen Kultural Minahasa

Riane Elean


Judul: 

Festival Kuncikan dalam Diskursus Kristen Kultural Minahasa: Perspektif Sosiologi, Teologi dan Pendidikan Agama Kristen


Kepengarangan: 

Denni H. R. Pinontoan; Semuel Selanno; Ivan R. B. Kaunang; Meily M. Wagiu


Penerbit: 

Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)


Informasi dan Pemesanan: 

pukkat.org@gmail.com


Sinopsis: 

Buku in menyajikan suatu hasil kajian yang komprehensif dan lintas ilmu fenomena festival Kuncikan di Minahasa, Sulawesi Utara dan unsur pertunjukan di dalamnya. Meskipun utamanya untuk rekonstruksi teologis dan pedagogis Kristiani, namun studi kami ini juga menggunakan ilmu sejarah, sosiologi dan antropologi. Studi terhadap suatu fenomena sosio-kultural seperti festival Kuncikan, dalam rangka untuk memperoleh suatu pemahaman yang memadai, maka mesti dilakukan secara interdisipliner. Dari hasil kajian yang dilakukan ditemukan dan diungkap nilai-nilai sosio-kultural-religi dari festival Kuncikan tersebut, yang kemudian direkonstruksi secara teologis dan pedagogis Kristen.


Key Words:

Festival dan seni pertunjukan, Kristen dan Budaya, Sosiologi, Teologi, PAK, Kristen Kultural Minahasa

Sabtu, 06 Januari 2024

Reklaim Identitas Tou dan Tana' Minahasa

Riane Elean

Bacirita Awal Taong "Reklaim Identitas Tou dan Tana' Minahasa", Sabtu, 06 Januari 2024 di kantor PUKKAT menegaskan kembali semangat keminahasaan di era kontemporer. Membaca Minahasa, baik di awal tahun 2000-an ketika Mawale Movement mulai mewujud sebagai gerakan kebudayaan, dan di tahun 2024 ini ketika semakin tampak jelas semacam adanya kebangkitan budaya Minahasa dengan beragam cara dan metode, tidak boleh tidak mesti menganalisanya dengan pendekatan geopolitik global dan nasional. 

Sejumlah fenomena yang terjadi tahun 2023 dan tahun-tahun sebelumnya yang berkaitan dengan keminahasaan, membutuhkan suatu pendalaman yang mesti kolaboratif, yaitu melibatkan banyak perspektif, pengalaman dan metode. Pemaparan bung Veldy Reynold Umbas, bung Audy Wuisang mengenai situasi terkini ekonomi negara, dan bersamaan dengan itu tentu adalah politik, lalu penjelasan Fredy Wowor tentang geopolitik Minahasa abad ke-15/16 ketika bangsa-bangsa Eropa mulai merapat ke wilayah ini menegaskan hal yang penting, bahwa Minahasa dan keminahasaan bukanlah sesuatu yang terisolir dari pergerakan global dan nasional. 


Maka dengan itu, peristiwa atau situasi yang terjadi di tana' Minahasa yang memicu pertanyaan-pertanyaan kritis dan reflektif tentang identitas tou dan tana' mesti disikapi dengan pembacaan yang komprehensif. Diskusi kali ini sepakat untuk kembali merevitalisasi arti dan makna "tana", sebagai ruang dan tempat pijakan dalam berbagai dimensinya. Tana' sebagai tempat adalah teritori, sebagai ruang ia mesti dipahami sebagai aktualisasi ide, gagasan, dan praktik politik dan ekonomi. Keduanya penting bagi interpretasi dan rekonstruksi identitas "tou" Minahasa di era disrupsi ini. 

Diskusi yang berlangsung kurang lebih 2 jam ini, pada akhirnya menegaskan lagi panggilan untuk menjaga dan merawat tana' Minahasa ini dari upaya-upaya desktruksi oleh kuasa-kuasa tertentu. Spirit keminahasan adalah nilai yang mesti direkonstruksi menjadi praksis kebudayaan, yaitu sosio-kultural, politik dan juga ekonomi. Nilai-nilai falsafah Minahasa mesti terus digali dan direkonstruksi untuk menjadi fondasi dalam upaya merumuskan strategi kebudayaan yang makin progresif. 

Selain menghasilkan sejumlah pemikiran yang konstruktif, diskusi yang fasilitasi oleh Mawale Movement dan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur - Pukkat ini juga semacam forum "bakudapa lintas generasi". Generasi Minahasa yang memikirkan dan melakukan kerja-kerja kebudayaan untuk tou dan tana' ini ternyata terus berlanjut, paling tidak jika dihitung sejak kemunculan Mawale Movement dua dekade lalu. 

------

Terima kasih bung Audy Wuisang, bung Veldy Umbas, bung Sofyan Yosadi, bung Daniel Kaligis, Candra Rooroh, Rikson Karundeng dan komunitas Mapatik, Bodewyn Talumewo, Makatana Minahasa, Rinto Taroreh, dan semua yang telah hadir dan mengambil bagian dalam upaya memikirkan kembali tentang identitas tou dan tana' Minahasa. (Denni)

Senin, 01 Januari 2024

Pentas Budaya Mawolay

Riane Elean


Pentas budaya Mawolay adalah bagian dari seni pertunjukan yg terwariskan dari sejarah kehidupan & tradisi leluhur  masyarakat  Poopo.

Dalam perkembangannya, tradisi ini kemudian menjadi sebuah pertunjukan seni budaya yang khas, unik & satu-satunya yang ada & terpelihara dengan baik hingga hari ini.  

Seni pertunjukan ini secara rutin ditampilkan  dalam pentas budaya "Mawolay", antara lain, pada perayaan Tahun Baru - sebagaimana kami sedang saksikan saat ini di desa Poopo, Kec. Ranoyapo, Kab. Minahasa Selatan.

Kehadiran kami sebagai tim PUKKAT (Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur), yang telah melakukan riset tentang seni tradisi ini, dan mendokumentasikannya dlm buku berjudul "Seni Pertunjukan Wolay" oleh bung Denni Pinontoan - sekaligus juga utk melaunching  & menyerahkannya kepada kepala desa & camat setempat sebagai perwakilan dari masyarakat Poopo.

Sebagai warisan tradisi yg masih terpelihara dgn baik, seni pertunjukan "Wolay" ini ternyata memiliki makna sosio-kultural  yang dalam,  edukatif pun ekologis - yg mesti dipelihara terus dlm merawat harmoni kehidupan di tanah Minahasa khususnya, dan juga dalam rangka pemajuan kebudayaan Indonesia yang majemuk & beragam.

Selamat bersukacita memasuki tahun baru dalam pentas budaya Mawolay.

Poopo, 1 Januari 2024 (Ruth)


Our Team

  • Ruth Kesia WangkaiAktivis-Peneliti
  • Steven Bons ManengkeiPeneliti
  • Marlin WongkarAktivis
  • Denni PinontoanPeneliti
  • Riane EleanPeneliti
  • Putri KapohPeneliti
  • Rikson KarundengPeneliti
  • Kalfein WuisanPeneliti
  • Yonatan KembuanPeneliti
  • Rivo GosalPeneliti
  • Kharisma KuramaPeneliti
  • Greenhill WeolPeneliti
  • Mineshia LesawengenPeneliti
  • Omega PantowPeneliti
  • Leon WilarPeneliti