Sabtu, 16 Juli 2022

Agama Leluhur Minahasa dalam Kebudayaan Kita Hari Ini

Agama leluhur Minahasa tentu sudah eksis sejak peradaban Minahasa terbentuk. Seperti semua agama, sistem kepercayaan ini terungkap melalui mitologi, ritus, kultus dan etiknya. Tentu di masa ia satu-satunya kepercayaan di Minahasa semua itu menjadi praktik keagamaan yang tidak perlu diberi nama. Nanti ketika para zendeling, etnolog  dan filolog Eropa datang mereka mulai mengkategorisasi dan memberi nama sesuai paham kebudayaan mereka. 

Para zendeling NZG, sejak kedatangan Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel tahun 1831 telah berusaha sekuat tenaga mereka untuk mengganti sistem kepercayaan Minahasa dengan agama Kristen. Tentu upaya itu menurut doktrin yang mereka anut sebagai orang Kristen Eropa. Zendeling terus berdatangan setelah mereka, upaya terus dilakukan. Pada akhirnya, hingga awal abad ke-20 hampir seluruhnya orang Minahasa sudah menjadi Kristen. 

Tapi, agama leluhur Minahasa rupanya tidak musnah seluruhnya. Tahun 1918 terjadi wabah. Sebuah negeri di Tonsea melalukan ritual agama leluhur mereka, demikian juga di wilayah Ratahan. Ini memberi petunjuk, bahwa praktik dan pemahaman-pemahaman keagamaan agama leluhur rupanya tetap hidup bersama kekristenan yang semakin domiman. 

Buku Ensiklopedi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diterbitkan oleh direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, antara mendaftar sejumlah organisasi kepercayaan yang berdasarkan ajaran agama leluhur di Minahasa. Ada berapa organisasi kepercayaan di Minahasa yang didaftar. Salah satunya disebutkan sudah berdiri sebagai organisasi sejak tahun 1950an. Yang lainnya berdiri kemudian dan hingga tahun 2000-an masih ada yang terdata. Terakhir yang akan dimasukan di dalam buku ensiklopedi itu adalah Laroma yang berkedudukan di Desa Tondey, Minahasa Selatan. 

Dalam bentuk lain, warisan agama leluhur Minahasa ini adalah praktek pengobatan orang-orang sakit di banyak kampung se Minahasa. Lalu kemudian dalam bentuk komunitas-komunitas budaya yang berusaha menggali dan mempraktikkan warisan nilainya dalam bentuk ritual. Kalau mau saksikan sendiri "agama rakyat Minahasa" yang rupanya terus direkonstruksi, datanglah ke Watu Pinawetengan pada setiap tanggal 3 Januari. Di sana Anda akan menyaksikan ribuan orang berkumpul, ada komunitas-komunitas budaya yang bergantian melakukan ritual, ada pula yang mau terus mengalami keminahasaannya secara sosio-kultural. 

Warisan lain, justru sudah berbentuk Kristen. Misalnya pangucapan syukur, tradisi ibadah tiga malam, kumawus, ziarah makam, dan termasuk kebiasaan mendoakan motor, mobil baru, ibadah rumah baru, dll. Memang kebanyakan orang akan menolak jika praktik-praktik Kristen itu disebut adalah transformasi dari warisan agama leluhur. Tapi, untuk memahami kosmologi dan spiritulitas Minahasa, praktik-praktik tersebut adalah wujud material yang dapat mengantar kita memahami religiusitas Minahasa. 

Deskripsi singkat di atas adalah maksud saya untuk memberi gambaran bahwa agama leluhur Minahasa itu akan terus ada dalam diskursus kebudayaan Minahasa. Sama halnya, kekristenan yang baru beberapa abad itu telah seolah-olah menjadi identitas keminahasaan bagi kalangan tertentu. Demikian pula, ketika berbicara identitas keminahasaan secara tradisi suka atau tidak suka pasti akan dikaitkan dengan warisan nilai dan praktik agama leluhur Minahasa pra Kristen. 

Dalam hal kebiasaan orang-orang Minahasa menghormati leluhurnya (apo/opo), sudah harus diterima jika ada yang merujuk kepada leluhur yang masih hidup dengan tradisi kepercayaanya, dan demikian juga adalah kenyataan (dan kadang-kadang tidak disadari) leluhur yang dihormatinya sudah beragama Kristen. Keduanya, baik leluhur yang hidup di era pra Kristen maupun leluhur yang hidup di era dan bahkan penganjur agama Kristen secara bersama dihormati secara kuktural dan juga religius. 

Tapi di mana-mana, agama itu tidak hanya soal kerohanian. Agama-agama juga berkaitan dengan ideologi dan kekuasaan. Maka, kehadiran agama baru di suatu tempat juga berkaitan dengan penguasaan atau dominasi ruang. Akibatnya, di Minahasa agama Kristen berhasil menguasai ruang dan wacana, warisan agama leluhur harus kehilangan ruang. 

Jadinya kemudian, dalam diskurus kebudayaan Minahasa kekinian, agama leluhur Minahasa adalah warisan yang ambigu. Ia menjadi berbeda dengan warisan heroisme keterlibatan leluhur Minahasa dalam Perang Jawa (1825-1830) atau narasi sejarah guru-guru Kristen Minahasa di abad ke-19. Ambiguitasnya makin jelas, ketika pada satu pihak tokoh-tokoh mitologis seperti Karema, Lumimuut, dan Toar jadi referensi identitas keminahasaan secara religi, kultural dan politik, namun pada pihak lain menerima secara bangga tokoh-tokoh zendeling Eropa. 

Atas nama doktrin Kristen tentang "kemurnian", maka ambiguitas itu menjadi sikap keras menolak. Berdasarkan paham monisme moral Barat, bahwa, "untuk menjadi seorang Kristen maka tidak boleh mengadopsi ajaran dan praktik tradisi lain", maka warisan agama leluhur Minahasa ditolak dan berusaha diberangus. 

Ini ambigiutas kedua dalam diskursus kebudayaan Minahasa. Seorang Minahasa yang mengklaim diri sebagai "Kristen sejati" tidak menyadari, bahwa kekristenan yang dianutnya dengan penuh kesetiaan itu sudah mengalami sinkretisasi dengan kebudayaan Eropa jauh sebelum dia dibaptis. Artinya, justru dalam kesetiannya itu atau bahkan dalam kefanatikannyalah itu wujud kongkrit dari sinkretisme Kristen dengan paham kebudayaan Eropa atau kemudian Amerika. 

Dalam ambiguitas inilah agama leluhur Minahasa, entah warisan nilainya atau praktik ritual dan bahkan wujud kelembagaannya menjadi sesuatu yang "aneh" bagi kalangan tertentu tou Minahasa. Padahal, seperti yang saya deskripsikan di atas, bahwa agama leluhur Minahasa itu terus menjadi bagian dalam kebudayaan Minahasa. Jika kemudian sekarang ini ia mewujud dalam bentuk lembaga menurut tafsir kelompok tertentu, itu adalah suatu keniscayaan yang mesti diterima secara arif, sama halnya orang-orang Minahasa hidup serumah atau telah terjalin secara kekelurgaan dengan yang Islam, Konghucu, Hindu, Budha dll. 

Mari belajar dari sejarah. Bahwa, kehadiran, dan kemunculan kembali tradisi religius yang berbeda dengan yang dominan adalah suatu keniscayaan dalam sejarah kehidupan. Saya coba membayangkan bagaimana para leluhur kita dulu yang masih kita hormati hingga kini berjumpa dengan paham agama baru, yaitu Kristen di masa lalu. Pastilah perjumpaan itu bukan sesuatu yang mudah. Tapi, pada akhirnya yang baru itu menjadi bagian dari kebudayaan Minahasa. Demikianlah dengan agama leluhur Minahasa, warisan dari kebudayaan leluhur yang kini seolah dianggap "baru" dalam kebudayaan kontemporer Minahasa. 

Oleh karena agama leluhur Minahasa terutama dalam bentuk warisan nilai atau kosmologi disadari atau tidak disadari dihidupi terus dalam praktik sosial, agama termasuk politik, maka adalah suatu kesia-siaan berusaha meniadakannya. Mengabaikannya, bisa ya, tapi menolaknya sebagai paham dan praktik adalah sesuatu yang tidak bisa karena sudah begitu adanya manusia.

Sikap arif untuk membuktikan sikap keterbukaan dan kemoderatan Minahasa adalah secara terbuka menerima adanya kelompok tou Minahasa yang memilih jalan spiritual leluhur. Pemerintah, gereja, atau komunitas, lembaga apapun, dan masyarakat pada umumnya harus menerima kenyataan bahwa, salah satu keunikan Minahasa adalah adanya kelompok yang beragama menurut tradisi leluhur. Ini sama halnya dengan sikap moderat menerima kehadiran organisasi agama-agama lain, yang suatu masa adalah baru di tana' ini. (Denni Pinontoan, 15 Juli 2022)

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar