SORE ini, cukup cerah. Berbeda dari warna hari-hari penghujung tahun 2022 sebelumnya. Di Rinegetan, Tondano, pada sebuah halaman rumah berlantai beton, berdiri tenda putih sekira 8×10 meter. Puluhan orang duduk di kursi yang tertata rapi, menghadap selatan.
Pohon natal, lilin-lilin, dan berbagai hiasan natal lain, menyemarakkan suasana. Di depan bagian tengah, ada selembar baliho. Paling atas tercetak sebuah lonceng berhias daun dan pita merah. Di bawahnya tertulis, “Begitu kuat cahaya persatuan sehingga dapat menerangi seluruh bumi”. Di bawahnya lagi tertera tulisan dengan huruf yang lebih besar, “Merefleksikan Makna Natal Sebagai Upaya Membangun Kehidupan Bersama Dalam kerukunan dan Keselarasan”.
Di dalam rumah, sajian makanan sudah tersedia di atas meja untuk disantap. Seorang bapak kemudian dipanggil untuk membawakan doa makan. Sebelum mengucapkan doa, ia berkata “Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan. Mari berdoa…”
Pemimpin doa itu bernama Asri Rasjid. Seorang Muslim Syiah yang tinggal di Minahasa Utara. Ia salah salah satu dari sekian banyak umat beragam agama yang hadir dalam tenda itu.
Refleksi Natal Bersama
Rabu, 28 Desember 2022, sebuah komunitas yang menamakan diri “Gerakan Cinta Damai Sulut” (GCDS) menggelar sebuah perayaan Natal. Rumah tempat pelaksanaan acara, milik keluarga Agus Basith. Penganut Baha’i yang tinggal di Kelurahan Rinegetan, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa.
Suasana sukacita tergurat jelas dari setiap wajah yang menyatu di tempat itu. Erny Jacob, salah seorang dari keluarga besar GCDS, membacakan Alkitab. Bahan refleksi ini diambil dari kitab Matius 2:1-12. Bagian akhir dari ayat-ayat yang dibacakan merupakan tema untuk perayaan Hari Natal 2022 yang disepakati Pesekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), “Maka Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain”.
Umat dengan berbagai latar belakang agama yang berbeda, dengan penuh khusyuk memasang lilin. Mereka juga melakukan refleksi bersama tentang Natal Yesus Kristus. Seorang penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diberi kesempatan pertama untuk berefleksi. Sesudah itu, tampil seorang penganut Hindu, kemudian Kristen, Islam, dan Baha’i.
Penggerak GCDS, Pendeta Ruth Wangkai menegaskan, acara ini bagus dan positif karena membangun kehidupan bersama. Ia sangat menikmati “acara syukur lintas iman” sekaligus refleksi Natal sebagai upaya membangun hubungan bersama antar umat beragama.
Ia sendiri ikut merefleksikan bagian Alkitab yang menjadi tema Natal PGI dan KWI, dalam kaitan dengan konteks perayaan ini.
“Ini ‘jalan lain’, bukan mainstream, seperti biasa perayaan Natal dibuat di gereja, oleh sesama orang Kristen, dan sekali-sekali melibatkan denominasi lain. Kali ini berbeda. Ini jalan lain yang dipilih, tidak biasa, dan menurut saya adalah jalan kehidupan,” ucap teolog ini, sembari menjelaskan jika inti ajaran Baha’i memang untuk menyatukan.
Aktivis perempuan yang juga Koordinator Gerakan Perempuan Sulut (GPS) ini merasakan kesejukan, tatkala mendengar refleksi-refleksi dari penganut agama berbeda, yang menyaksikan tentang Tuhan Yang Maha Kasih, yang tidak melakukan kekerasan.
“Ini juga refleksi terhadap fenomena yang selama ini terjadi, klaim-klaim eksklusif, klaim-klaim kebenaran mutlak. Kenapa sih, perbedaan harus menjadi ancaman, atau jadi sumber konflik?” kata Ruth.
“Ternyata ketika kita bersama-sama, menyanyi bersama-sama, mau berefleksi dari keyakinan yang berbeda, kita boleh menikmati makna kehidupan. Makan bersama, berbagi kisah bersama, tertawa bersama.”
Natal Sebagai Peristiwa Interfaith
Tahun 2016, beberapa orang tengah kongko-kongko, minum kopi, dan makan pisang goreng. Sebuah aktivitas yang biasa mereka lakukan. Kali ini, muncul reaksi keprihatinan atas kondisi yang sedang terjadi di ibu kota Jakarta.
“Dari diskusi itu kita melihat ada sesuatu yang perlu direspons, kaitan dengan apa yang terjadi di ibu kota sana. Kita kemudian sepakat membuat sebuah komunitas dan memberi nama Gerakan Cinta Damai Sulut,” kata Denni Pinontoan, mengawali ucapan terima kasih mewakili GCDS.
Sederet kegiatan yang melibatkan umat berbagai agama berbeda di Sulawesi Utara (Sulut) pun mengiringi kehadiran GCDS sejak tahun 2016, hingga hari ini. Perayaan Natal yang diekspresikan dalam beragam bentuk juga mulai dilakukan sejak itu. Semua yang berinisiatif, mempersiapkan kegiatan, dan yang terlibat secara langsung dalam perayaan Natal, penganut agama yang berbeda.
“Sebenarnya Natal itu sejak awal adalah peristiwa interfaith. Sebuah peristiwa lintas agama. Karena seperti yang kita baca (dalam Alkitab) tadi, ada sekelompok orang majus, mungkin orang-orang bijaksana dari Persia dan mereka itu dari peradaban berbeda tapi juga agama Zoroaster,” ujarnya.
“Kata itu (majus) kemudian berkembang menjadi megician. Yang soal kemudian, kata itu menjadi negatif, diterjemahkan penyihir. Padahal maknanya ‘orang-orang bijaksana’,” sambung Denni.
Akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado ini menjelaskan, sejak awal, kelahiran Yesus Kristus disambut dengan sukacita oleh para gembala, seorang perempuan (Maria) dan para orang bijaksana (orang majus).
“Entah sejak kapan Yesus itu dikristenkan. Kita harus cari tahu sejarahnya. Karena sudah sejak mulanya Yesus itu adalah tokoh untuk semua,” jelasnya.
Menurut Denni, itulah semangat dan spirit yang membungkus Agus Basith dan keluarganya yang merupakan penganut Baha’i, sehingga mau memaknai, menghayati, merayakan salah satu tokoh besar dari banyak tokoh besar yang telah mengubah peradaban. Dalam hal ini, Yesus Kristus. Semua yang hadir kemudian turut merayakannya bersama-sama.
Fakta, jarang ada yang menerima undangan dari umat beragama lain untuk merayakan Natal. Itu mengapa perayaan Natal di rumah Agus dan keluarga memberi kesan yang sangat mendalam. Sehingga apa yang menjadi makna dari peristiwa Natal, yaitu paling terutama “damai di bumi, damai di surga” bisa dirasakan.
“Paling banyak terjadi kan kita hanya berdoa saja, damai di surga, tapi tidak damai di bumi. Atau hanya damai-damai di surga, tapi kemudian kita tidak punya visi besar untuk damai secara universal. Dengan demikian Natal akan lebih bermakna bagi kita,” tutur Denni yang juga dikenal sebagai Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat).
Semua Umat Adalah Satu
Agus Basith, makawale hajatan istimewa itu bertutur, dalam dirinya ada sebuah keyakinan yang teguh bahwa semua umat adalah satu dan berasal dari sumber yang satu.
“Memang ini menjadi sebuah keyakinan, bahwa kita semuanya ini adalah satu. Jadi kami ini meyakini bahwa semua agama berasal dari satu Tuhan,” kata Agus.
Salah satu ekspresi keyakinan “yang satu” itu, ia dan keluarganya meyakini Yesus secara keseluruhan, termasuk hari raya-Nya.
“Kalau agamamu, agama kami juga. Jadi satu Tuhan. Artinya, kita juga harus merayakan semua hari raya keagamaan,” ujarnya.
Baginya, perayaan secara bersama hari-hari besar keagamaan memang seharusnya. Bukan malah menjadi masalah.
Pada perayaan-perayaan Natal di tahun-tahun sebelumnya, Agus dan keluarga biasanya merayakan bersama-sama dengan umat Kristen yang lain. Mereka hadir di perayaan Natal bersama sahabat, kerabat dan tetangga. Kali ini ia dan keluarga memilih untuk membuat perayaan Natal secara langsung di rumahnya.
“Tahun-tahun sebelumnya, biasanya kalau ada perayaan Natal di lingkungan tempat kami tinggal di Rinegetan, kami terlibat dan membantu apa saja,” ungkap Agus.
Semenjak tinggal di Tondano tahun 2010, Agus selalu merasakan pengalaman hidup bersama yang indah. Ia meyakini, teman-teman di sekitar mereka juga merasakan hal yang sama. Walaupun berbeda, mereka tetap bisa menjaga kesatuan.
“Sebenarnya kesatuan itu bisa dibangun. Jadi kita perlu ada saling interaksi. Artinya, kita tidak hanya istilahnya di kegiatan agama tertentu saja, tapi juga bagaimana terlibat secara langsung dalam kehidupan bersama sehari-hari,” tutur Agus.
Baginya, apa yang dilakukan kali ini merupakan sebuah awal untuk bagaimana bisa menyatukan visi kehidupan bersama yang harmonis. Harapannya, ini akan menjadi lebih ke upaya konkret di lingkungan di mana dia dan mereka yang hadir tinggal.
“Kita bisa bekerja sama bersama orang-orang di sekitar kita,” kata Agus.
Langkah lebih lanjut yang harus dilakukan, menurutnya kegiatan seperti ini bukan hanya untuk orang dewasa tapi bagaimana anak-anak berbeda agama juga bisa dipersatukan dalam seremoni dan kehidupan bersama.
“Kita sudah mulai menanamkan benih-benih rasa satu sejak dini. Rasa saling menghargai harus dibangun sejak dini. Kita sebagai orang tua harus lebih dahulu memulai untuk memberi teladan hidup bagi anak-anak kita,” tegasnya.
Sebuah Keberanian
Sikap yang diekpresikan dan kesaksian Agus Basith, menuai apresiasi dari umat yang hadir. Pengalaman hidup dia bersama keluarganya, benar-benar bisa menjadi teladan bagi umat beragama lainnya.
“Kita harus mengapresiasi keberanian Pak Agus dan keluarganya. Berarti dapat ditarik kesimpulan, umat Baha’i ini biar hanya kecil tapi mampu beradaptasi dengan baik,” kata Jull Takaliuang, aktivis lingkungan yang juga intens melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus perempuan dan anak di Sulawesi Utara.
Ia berpendapat, kegiatan ini luar biasa. Sebuah bukti bahwa Agus dan keluarga mampu membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lain. Itu terlihat juga dalam acara ini, banyak sekali orang berbagai latar belakang agama yang hadir. Tetangga-tetangganya juga turut serta menikmati sukacita Natal di tempatnya.
“Sungguh tidak disangka sebelumnya, Natal bisa dirayakan oleh komunitas Baha’i. Kenapa kita kemudian masih sedih melihat fakta (kasus diskriminasi penganut agama tertentu terhadap penganut agama yang lain) di berbagai tempat, termasuk di Boltim Sulawesi Utara. Berarti betapa sangat tertutupnya mata, hati, pikiran dan perasaan bahwa kita di Sulut ini beragam,” ucapnya.
Jull menyaksikan secara langsung keindahan mengagumkan di tempat itu. Ketika umat berbeda keyakinan boleh bersama-sama saling berbagi, saling bertemu, merayakan Natal bersama-sama, tidak ada yang merasa tersakiti. Malah yang terbangun adalah kebahagiaan bersama.
“Kita menumbuhkan kekuatan bersama menghadapi hari-hari ke depan. Entah situasi politik seperti apa, kita akan terhindarkan dari politik identitas ketika kita punya kekuatan yang basic-nya seperti ini, dibangun seperti ini,” kata Jull.
Ketua Yayasan Suara Nurani Minaesa ini mengaku salut untuk keberanian yang luar biasa dari para penganut Baha’i di Sulawesi Utara. “Itu karena mereka sudah punya dasar kenyamanan dengan lingkungannya yang ada di Tondano. Bahkan kini mereka mengundang teman-teman dari luar, dari berbagai agama. Ada Hindu, Islam, penghayat kepercayaan dan penganut agama lain yang hadir. Ini luar biasa.”
Hal yang bisa jadi pelajaran banyak orang dari Agus, paling penting penerimaan luar biasa atas ajaran agama lain. Karena dia kemudian tidak merasa yang satu-satunya benar, yang betul hanya ajaran agama yang diimaninya, tapi kemudian dia menghargai bahwa ada ajaran lain yang sama.
“Itu adalah sebuah kesadaran yang terbangun atas satu dasar, bahwa Tuhan itu satu. Hanya kita menyembah dengan cara yang berbeda, dan itu yang harus diterima,” tegas Jull.
Dalam acara ini Jull betul-betul menikmati pengalaman yang luar biasa. Semua bicara bagaimana menebar kebaikan, menjaga keselarasan, bagaimana membangun kehidupan yang damai.
“Semua orang menginginkan itu. Dan ketika semua mampu menciptakan itu, kita sedang menjalankan ajaran agama masing-masing. Berarti tolak ukurnya satu, berbuat baik saja karena tujuan kita hanya pada satu Tuhan,” kuncinya.
Berbeda Bisa Menyatu
Kegiatan Natal bersama yang diselenggarakan GCDS adalah langkah yang sebetulnya perlu diambil oleh banyak pihak. “Karena kalau diambil banyak pihak, niscaya kerusuhan, perselisihan antar umat yang berbeda keyakinan agama, suku, ras, itu terhindarkan,” kata Iswan Sual, ketua penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung.
Baginya, momen ini sebetulnya jadi contoh, panutan dari kelompok-kelompok yang toleran. Bukan hanya sekedar tidak berbuat apa-apa, tapi perlu mengambil langkah konkret dalam mewujudkan perdamaian.
Ia rindu, kiranya kegiatan seperti ini boleh menginspirasi anak-anak muda yang di masa mendatang akan menjadi pemimpin. “Paling penting kegiatan lintas iman ini bukan dilakukan oleh golongan elit, tapi memang dari akar rumput. Orang-orang yang memiliki kesadaran untuk menciptakan damai di Sulawesi Utara,” ujarnya.
“Kegiatan ini melibatkan semua penganut kepercayaan. Saya sebagai penganut kepercayaan Lalang Rondor Malesung, sangat bergembira dan berterima kasih, karena diberikan ruang untuk hadir dalam ruang-ruang keberagaman yang luar biasa seperti ini.”
Mardiansyah Usman, Ketua Lesbumi Nahdaltul Ulama (NU) Sulut menyebut, kegiatan model seperti ini sangat spesial karena jarang terjadi. Pertama, yang jadi tuan dan nyonya rumah dari agama Baha’i, sementara konsepnya perayaan Natal.
“Ini jarang terjadi, agama lain mengundang kita lintas agama menghadiri acara semacam ini. Kalau kita lihat, ini bisa dijadikan model sosial baru, khususnya di Sulawesi Utara, untuk mempertahankan kebersamaan dalam keberagaman,” nilainya.
Diakui, di GCDS sebenarnya kegiatan-kegiatan serupa sudah sering dilakukan. Kali ini memang tepatnya di momen Natal, dan kemudian mereka ikut memberikan refleksi dari masing-masing keyakinan.
“Terpenting bagi kita, dengan acara-acara seperti ini bisa saling kenal-mengenal, kemudian kita bisa saling mengetahui. Kalau dulu ada rasa kecurigaan, tapi sekarang ini ketika semua masing-masing memberikan refleksi, kita bisa lebih terbuka dan tahu bahwa ternyata semua kelompok, semua agama itu ingin berdamai,” tandasnya.
Kesan senada dituturkan I Dwi Budi Medhawinata, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Minahasa. Ia melihat suasana acara ini sangat indah. Di sini mereka bisa menyatu walau berbeda agama. Baginya, umat beragama bisa menyatu, membawakan doa bersama, dan saling berbagi bersama dalam kegembiraan adalah Nusantara yang sesungguhnya.
“Mengutip yang pernah dinyatakan Bung Karno, ‘Bagaimana caranya kita menyatukan pikiran-pikiran, golongan-golongan, tanpa kita kuatkan yang bisa menjadi landasan, yang bisa menjadi wadah untuk bersatu’. Kali ini, Pak Agus menjadi wadah kesatuan kita di sini, di Minahasa,” ucapnya.
Bagi Dwi, hidup bersama dalam perbedaan merupakan pengalaman nyata yang dia rasakan di tanah Minahasa. Tanah yang memberikan kenyamanan baginya untuk mengekspresikan keyakinan walau berbeda dengan lainnya.
“Hidup rukun sudah saya rasakan dari kecil di Minahasa. Saya sendiri Hindu tapi bisa beradaptasi, rukun dengan teman-teman sejak masih sekolah SD, SMP, SMA, bahkan di bangku kuliah. Itu sangat membahagiakan,” tutur Dwi yang kini tinggal di Kelurahan Maesa Unima, Tondano.
“Tak ada beban sama sekali. Aura-aura negatif yang membuat kita marah kepada orang lain, itu tidak ada. Di Minahasa, kami hidup enak, tanpa beban.” (Rikson Karundeng)
Sumber:
https://kelung.id/kelung/merayakan-natal-di-rumah-bahai/?amp=1&fbclid=IwAR35RZDw1bZxbPfUUgOYEKJyUusiCFYf0v6q6rHbwQX60DSKlQ45P9V-TAA