Senin, 02 Maret 2020

Politisasi Kerukunan atau Politik Kerukunan?

Oleh Denni H.R. Pinontoan (Peneliti PUKKAT)


POLITISASI kerukunan berbeda dengan politik kerukunan. Politisasi identitas berbeda dengan politik pengelolaan keragaman identitas.
Sulut mengklaim sebagai daerah terukun. Tapi kerukunan ada dinamikanya. Negara menekan keragaman demi stabilitas disebut kerukunan. Orang-orang yang berbeda identitas saling menjaga batas-batasnya, berusaha untuk menahan diri meski didiskriminasi itu juga dapat menciptakan kerukunan. Kerukunan politis namanya.
Kota Manado mendapat pengakuan sebagai kota tertoleran. Benar. Tentu pada hal-hal yang dilihat sebagai indikator menurut konsep kerukunan tertentu.
Tapi, apakah daerah ini memiliki politik kerukunan atau politik pengelolaan keragaman yang kemudian menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang sensitif kerukunan?
Contoh, apakah di dalam desain-desain pembangunan jangka pendek dan panjang, misalnya pengembangan wilayah-wilayah ekonomi, pemukiman (a.l. melalui RT/RW) dslbnya telah memperhatikan kemungkinan adanya kelompok-kelompok identitas yang terpinggirkan? Apakah dalam penataan kota, misalnya pendirian asesoris-asesoris kota seperti monumen, menara, dlsb telah mempertimbangkan aspirasi atau paham-paham kelompok tertentu, yang entah dapat menyebabkan ketersinggungan atau perasaan terpinggir?
Contoh kasus misalnya pembangunan bendungan di Kuwil. Ketika pembangunan dilaksanakan ternyata harus berdampak rusaknya waruga-waruga di tempat itu kemudian menimbulkan ketidaksenangan bagi orang-orang yang memiliki hubungan historis dan kultural dengan waruga. Lalu di kota Manado kasus Texas, misalnya. Pemerintah kota membuat kebijakan untuk membuat taman wisata religi. Pembangunan itu mesti berdampak pada mesjid yang bagi kelompok warga kota tertentu adalah sakral.
Itu baru dua contoh. Mungkin masih akan ditemukan banyak kasus yang memicu konflik karena kebijakan pemerintah yang tidak sensitif keragaman.
Sekali lagi, politisasi kerukunan tidak sama dengan politik kerukunan. Selama ini yang ada mungkin adalah politisasi kerukunan. Politik kerukunan yang antara lain tampak pada kebijakan publik yang peka pada keragaman rasanya belum.
Politisasi kerukunan adalah prestise tapi tidak substansial. Lebih sebagai kebanggaan politis, jargon dan jualan politik dan investasi. Tapi, sesungguhnya kerukunan itu ada. Di Sulut itu adalah usaha-usaha kelompok-kelompok masyarakat, inisiatif warga dengan caranya sendiri. Dan justru, usaha-usaha warga ini sering bermasalah dengan kebijakan-kebijakan publik pemerintah yang tidak sensitif kerukunan.
Ini soal besar sebenarnya. Sebab yang disebut keragaman itu pada satu pihak menunjuk kelompok-kelompok warga yang berbeda-beda identitas, dan pada pihak lain identitas itu terbanyak adalah hal yang sensitif. Sementara masyarakat sebagai subjek penting dari segala upaya politik pemerintah terbentuk oleh struktur-struktur keragaman yang saling terjalin.(*)

PUKKAT

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar