Pusat Kajian
Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) menjadi partner kelung.com dan komunitas
Mapatik melaksanakan diskusi bertajuk “New
Normal Journalism, Praktek Jurnalisme di Era Pandemi Covid-19”. Diskusi online
ini dilaksanakan pada Kamis, 28 Mei 2020, pukul 15.00 – 17.00 wita dengan
menggunakan Zoom.
Tampil sebagai
pembicara adalah Andreas Harsono. Dia adalah jurnalis, peneliti dan pembela hak
asasi manusia, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Pantau, dan
International Consortium of Investigative Journalists. Dia menulis beberapa
buku, antara lain: Jurnalisme Sastrawi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (dengan Budi Setiyono), menulis “Agama” Saya Adalah Jurnalisme, serta
buku terbarunya Race, Islam and Power:
Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.
Sebagai moderator
Denni Pinontoan, direktur PUKKAT, Pemimpin Redaksi Kelung.com. Mengawali
diskusi, Denni mengemukakan, bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi banyak hal
dalam kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi, agama, tak terkeculi praktek
jurnalisme. Jaga jarak dan pembatasan kontak sosial adalah cara berperilaku
yang baru. Jurnalis dan media menghadapi suatu realitas baru, yang kemudian
membuatnya mesti memikirkan dan menjalankan praktek jurnalisme yang baru pula.
Perubahan ini
membuat para jurnalis dan media segera memasuki cara kerja baru berbasis
digital. Bagaimana jurnalis dan media menghadapi kebiasaan baru ini? Bagaimana
ia menghadapi publik yang juga serba tergantung pada teknologi digital?
Bagaimana kebenaran faktual dihadirkan dalam situasi yang baru ini?
Andreas Harsono
mengemukakan tiga pokok dalam diskusi tersebut. Pertama, bagaimana jurnalis
meliput di masa pandemi covid-19, kedua tantangan perusahaan media, apa yang
terjadi dalam dunia jurnalisme, baik sebelum maupun pasca pandemi. Ketiga,
tantangan dan peluang jurnalisme pasca pandemi.
Andreas Harsono lalu
mengatakan, wartawan mestinya melakukan liputan secara langsung meskipun dalam
situasi sulit karena pandemi. Misalnya di ruang ICU yang memang rawan bagi
siapa saja terkena virus. Tentu dengan menggunakan alat pelindung diri sesuai
standar.
“Wartawan
seyogyanya tidak takut dengan Covid-19. Tapi bukan nekat. Harus punya alat
pelindung diri,” kata Andreas.
Andreas lalu
mengemukakan tantangan perusahaan-perusahaan media menghadapi perkembangan
teknologi digital sebelum pandemi covid-19. Beberapa media besar di Indonesia
mengalami kesulitan keuangan karena perkembangan new media. Tapi, menurut dia,
sekaligus juga ini menjadi peluang bagi media di daerah, asalkan dapat mengembangkan
kemampuan para jurnalis menggunakan teknologi digital dan pengembangan
manajemen perusanaan media.
Poin penting yang
terungkap dalam diskusi ini adalah, jurnalisme, dalam hal visi tidak berubah.
Namun, bisnis media selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Menghadapi ‘new
normal’ pasca pandemi covid-19, para jurnalis ditantang memasuki suatu
perubahan yang besar. Pengembangkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan
penting bagi para jurnalis untuk era ini.
Sekitar 30-an jurnalis,
aktivis dan akademisi dari berbagai daerah se-Indonesia telah bergabung dalam
diskusi ini. Para peserta diskusi tampak antusias bertukar pikiran dan
pengalaman mengenai jurnalisme di masa pandemi dan masa sesudahnya.(*)
*Tayangkan diskusi dapat dilihat di sini (Facebook).
0 komentar:
Posting Komentar