Senin, 01 Juni 2020

Diskusi Online “New Normal Journalism, Praktek Jurnalisme di Era Pandemi Covid-19”



Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) menjadi partner kelung.com dan komunitas Mapatik melaksanakan diskusi bertajuk  “New Normal Journalism, Praktek Jurnalisme di Era Pandemi Covid-19”. Diskusi online ini dilaksanakan pada Kamis, 28 Mei 2020, pukul 15.00 – 17.00 wita dengan menggunakan Zoom.

Tampil sebagai pembicara adalah Andreas Harsono. Dia adalah jurnalis, peneliti dan pembela hak asasi manusia, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, Yayasan Pantau, dan International Consortium of Investigative Journalists. Dia menulis beberapa buku, antara lain: Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (dengan Budi Setiyono), menulis “Agama” Saya Adalah Jurnalisme, serta buku terbarunya Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.

Sebagai moderator Denni Pinontoan, direktur PUKKAT, Pemimpin Redaksi Kelung.com. Mengawali diskusi, Denni mengemukakan, bahwa pandemi Covid-19 mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan manusia: sosial, politik, ekonomi, agama, tak terkeculi praktek jurnalisme. Jaga jarak dan pembatasan kontak sosial adalah cara berperilaku yang baru. Jurnalis dan media menghadapi suatu realitas baru, yang kemudian membuatnya mesti memikirkan dan menjalankan praktek jurnalisme yang baru pula.

Perubahan ini membuat para jurnalis dan media segera memasuki cara kerja baru berbasis digital. Bagaimana jurnalis dan media menghadapi kebiasaan baru ini? Bagaimana ia menghadapi publik yang juga serba tergantung pada teknologi digital? Bagaimana kebenaran faktual dihadirkan dalam situasi yang baru ini?



Andreas Harsono mengemukakan tiga pokok dalam diskusi tersebut. Pertama, bagaimana jurnalis meliput di masa pandemi covid-19, kedua tantangan perusahaan media, apa yang terjadi dalam dunia jurnalisme, baik sebelum maupun pasca pandemi. Ketiga, tantangan dan peluang jurnalisme pasca pandemi.

Andreas Harsono lalu mengatakan, wartawan mestinya melakukan liputan secara langsung meskipun dalam situasi sulit karena pandemi. Misalnya di ruang ICU yang memang rawan bagi siapa saja terkena virus. Tentu dengan menggunakan alat pelindung diri sesuai standar.

“Wartawan seyogyanya tidak takut dengan Covid-19. Tapi bukan nekat. Harus punya alat pelindung diri,” kata Andreas.

Andreas lalu mengemukakan tantangan perusahaan-perusahaan media menghadapi perkembangan teknologi digital sebelum pandemi covid-19. Beberapa media besar di Indonesia mengalami kesulitan keuangan karena perkembangan new media. Tapi, menurut dia, sekaligus juga ini menjadi peluang bagi media di daerah, asalkan dapat mengembangkan kemampuan para jurnalis menggunakan teknologi digital dan pengembangan manajemen perusanaan media.


Poin penting yang terungkap dalam diskusi ini adalah, jurnalisme, dalam hal visi tidak berubah. Namun, bisnis media selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Menghadapi ‘new normal’ pasca pandemi covid-19, para jurnalis ditantang memasuki suatu perubahan yang besar. Pengembangkan kualitas pengetahuan dan ketrampilan penting bagi para jurnalis untuk era ini.

Sekitar 30-an jurnalis, aktivis dan akademisi dari berbagai daerah se-Indonesia telah bergabung dalam diskusi ini. Para peserta diskusi tampak antusias bertukar pikiran dan pengalaman mengenai jurnalisme di masa pandemi dan masa sesudahnya.(*)  


*Tayangkan diskusi dapat dilihat di sini (Facebook).

PUKKAT

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar