Sabtu, 12 Juli 2025

Kekristenan dan Kebudayaan Minahasa

Adalah topik yang jadi perhatian dan kajian para mahasiswi/a STFT Jakarta dan UKDW, Yogyakarta, yang sedang melakukan program "Social Immersion" (SI) di PUKKAT. Program ini, yang didukung oleh Kerk in Actie, Belanda, telah keempat kali sejak tahun 2022 diadakan bekerjasama dengan PUKKAT (Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur), Tomohon, SULUT.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang out-put-nya yaitu video yang bercerita tentang TjapTikoes, Laroma dan Kelelondey - tahun ini, hasil akhir yang disyaratkan adalah foto. Setiap peserta memilih tema masing-masing sesuai dgn gambar yang dipotret disertai dengan narasinya.

Topik tentang "Kekristenan dan Kebudayaan Minahasa"   tentu sangat luas. Selama tinggal di Tomohon, berinteraksi sambil belajar dan berdiskusi, baik dengan pengurus PUKKAT dan jaringannya, seperti Institut Mapatik dan Mawale Movement (MM) secara keseluruhan, tapi tentu juga dengan masyarakat luas - akhirnya mahasiswi/a sendiri yang menetapkan pilihannya terkait dengan gambar yang akan dipotret. Namun, sebelum turun ke lapangan utk menemukan foto yang pas dan tema yang sesuai, mereka terlebih dahulu dibekali dengan pelatihan menulis dan skil fotografi.

Setelah hampir dua bulan (STFT Jakarta dan satu bulan utk UKDW) berproses bersama PUKKAT - para mahasiswi/a kemudian mempresentasikan fotonya masing-masing serta narasi yang sudah disiapkan dalam kegiatan FGD. Temanya beragam, yaitu:

  1. Waruga dan Gereja. Gambar yang diambil adalah bangunan gedung gereja GMIM Sion Woloan, yang di halaman yang sama (bagian depannya) terdapat sebuah "waruga" (kuburan leluhur khas Minahasa). Sebuah perjumpaan yang akomodatif dan sebagai penanda harmonitas atau-kah simbol penaklukan budaya?

  2. Kawasaran. Gambar yang dipotret adl pentas seni tari Kawasaran pada "Festival Budaya" dua dekade MM. Yang menarik dari Kawasaran sebagai warisan seni tradisi Minahasa, walau masih diasosiasikan dengan tradisi peperangan tempoe doeloe, seperti tarian cakalele di beberapa daerah lain - kini mulai ada upaya  memaknainya kembali sebagai sebuah spirit yang memberikan kekuatan (daya) positif untuk mampu bertahan berhadapan dengan tantangan dan kerasnya hidup. Aksesoris-aksesoris yang digunakan, seperti santi (pedang) dan tombak, bukan lagi sebagai senjata pemusna dan pembawa kematian melainkan sebagai simbol pembuka jalan bagi keberlangsungan kehidupan. Ini merupakan upaya  reklaiming atas tradisi awal leluhur Minahasa.

  3. Perempuan Minahasa. Gambar yang ditampilkan adl seorang perempuan "walian" (imam) yang sedang memimpin ritual adat beberapa waktu lalu di Woloan. Ini menjadi penanda kuat dari warisan kultur Minahasa yang egaliter. Tapi pada sisi lain, konteks hari ini  memperlihatkan adanya ketimpangan bahkan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan begitu fenomenal. Ini jelas menunjukkan relasi kuasa yang timpang berakar dalam ideologi patriarki dan dominasi maskulinitas yang begitu kuat.

  4. Pasar Beriman Wilken, Kota Tomohon. Gambar yang dipotret adl gapura pasar yang bertuliskan "Pasar Beriman Wilken". Nama "beriman" adalah akronim dari bersih, indah dan aman adalah nama pertama yang disematkan pada  pasar ini. Sementara kata "Wilken" ditambahkan kemudian. Nama ini  menunjuk pada nama dari seorang misionaris yang diutus oleh badan zending Belanda (NZG) ke Minahasa menyebarkan agama Kristen  dan memperkenalkan pendidikan modern di wilayah Tomohon. Pasar ini terbesar di Sulut. Tapi ia dikenal bukan karena tergolong "terbesar", justru karena sebutan "pasar ekstrem", yang dilekatkan lebih pada kepentingan promosi pariwisata. Padahal yang disebut "pasar ekstrem" itu hanya menunjuk pada bagian kecil saja dari lapak yang berjualan jenis hewan-hewan tertentu yang dianggap "ekstrem", seperti ular, tikus, celeng, kelelawar, dll.

Hasil pemotretan  dan narasi foto sudah dipresentasikan. Dihadiri, selain, oleh pengurus PUKKAT, juga oleh Pak Martin Tahun dari UKDW yang berkunjung untuk memonitor, serta para budayawan, akademisi, aktivis/praktisi budaya, jurnalis dan fotografer MM.

Kegiatan FGD ini sangat membantu para mahasiswi/a utk memperluas wawasan mereka ttg Kekristenan dan Kebudayaan di tanah Minahasa, tapi lebih  khusus lagi yakni utk memperkaya narasi dari "foto bercerita" yang dibuat oleh para mahasiswi/a.

Semua foto menarik didiskusikan. Tapi lebih menarik lagi ketika mendiskusikan foto-foto itu dari berbagai angle - ternyata menyimpan misteri berbagai pertarungan politis/ideologis" di dalamnya, tidak sekedar gambar yang tertangkap kamera.

Meski baru pada tahap awal, para mahasiswi/a  telah mencoba me"nyelam" sesuai nama program "Social Immersion ke dalam kehidupan Kekristenan dan Kebudayaan Minahasa. Setidaknya para mahasiswi/a yang berasal dari suku yang berbeda dan atau dari etnis Minahasa diaspora telah memperoleh pengetahuan awal dari apa yang mereka lihat dan selami selama melaksanakan program tersebut di PUKKAT.

Pada pihak lain, tema yang diangkat ini juga meninggalkan PR bagi PUKKAT untuk melakukan kajian kritis yang lebih mendalam tentang perjumpaan  agama Kristen dan budaya Minahasa. Muncul pertanyaan,

mana yang tepat untuk kita: Minahasa Kristen ataukah Kristen (di) Minahasa?

Jangan-jangan ini tantangan kita hari ini, yaitu urgentnya  menemukan  format baru dari kekristenan  yang betul-betul berakar di dalam kultur lokal, bukan sebaliknya, tercerabut darinya.

#sitoutimoutumoutou

#cawanasiparukuancawànasipakuruan

#Sitoumasuatpeleng

#nyakuweweneminahasa

Tomohon, 120725

RKW

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar