Jumat, 03 Juli 2020

Bincang Online tentang Keragaman Identitas di Masa Pandemi




Pada negara majemuk seperti Indonesia, identitas agama dan etnis menyimpan kerentanan-kerentanan tertentu. Terutama ketika identitas telah dipolitisasi sedemikian rupa menjadi ideologi eksklusif. Konflik dan kekerasan dapat kapan saja meledak. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sangat terasa polarisasi antara kelompok-kelompok yang membawa identitas tertentu.

Dalam konteks Sulawesi Utara di masa pandemi ini, justru polarisasi berdasarkan identitas dan agama tersebut muncul dalam bentuk aksi kelompok yang membawa simbol dan emosi identitas agama dan etnis. Pada tanggal 1 Juni, sekelompok orang menolak jenasah yang berstatus PDP dimakamkan dengan protokol Covid-19 yang meninggal di Rumah Sakit Pancaran Kasih Manado. Aksi penolakan maupun reaksi terhadap aksi itu dengan kasat mata menampikan simbol-simbol identitas keagamaan Islam dan Kristen.

Lalu pada tanggal 14 Juni, terjadi perkelahian antar kelompok warga Keluarahan Kampung Jawa Tondano dengan kelompok Kelurahan Marawas. Perkelahian yang terjadi di kebun itu menewaskan seorang warga dari kelurahan Marawas. Kejadian itu dapat dengan mudah direspon secara bias agama dan etnis, karena secara faktual dua kampung tersebut secara jelas berbeda secara agama dan etnis.

Meski kejadian-kejadian ini jelas dipicu bukan oleh sentimen agama dan etnis, tapi rupanya bagi kelompok-kelompok tertentu peristiwa-peristiwa itu lebih mudah direspon secara agamis dan etnis. Mengapa dalam masyarakat kita (Indonesia dan Sulawesi Utara) identitas agama dan etnis dapat dengan mudah dipolitisasi menjadi sikap penolakan atau balas dendam? Mengapa identitas agama dan etnis begitu sensitif dalam relasi-relasi sosial, terlebih politis? Faktor-faktor apa yang menjadi pemicunya?

Untuk membedah masalah kerentanan-kerentanan yang muncul dalam masyarakat majemuk identitas, terutama dalam konteks pandemi, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT() bekerjsama sama dengan Mawale Cultural Center, Komunitas Mapatik,  Institut SEBUMI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi Utara dan Kelung.com menyelenggarakan seri diskusi topik mengenai “Persoalan Keragaman Identitas di Tengah Pandemi”.  

Seri diskusi pertama dilaksanakan dalam bentuk talkshow pada Jumat, 26 Juni 2020, pukul 16.00 – 18.00 via aplikasi Zoom. Sebagai pemantik adalah: 1. Nia Sjarifudin (ANBTI)
2. Pdt. Drs. David Tular (Teolog Gereja Masehi Injili di Minahasa)
3. Rusli Umar (Aktivis NU Sulawesi Utara)
4. Ir. Jhon F. Mailangkay (Brigade Manguni Indonesia Minahasa)
5. Amir Liputo (Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara)
6. Dr. Denni Pinontoan (PUKKAT).

Sebagai moderator Rikson Ch. Karundeng.

(Tayangan siaran diskusi ini dapat diikuti pada halaman Kelung.com.)


Diskusi seri kedua mengangkat topik “Merawat Keragaman Identitas dalam Solidaritas Kemanusiaan” yang dilaksanakan pada Jumat, 3 Juli 2020, jam 18.00 - 21.00 wita via aplikasi zoom. Topik ini diangkat berangkat dari beberapa kasus yang terjadi di tengah pandemi, yang mengusung simbol-simbol agama dan etnis tertentu dan mencoba membedah faktor-faktor kerentanan politisasi identitas di SULUT dan di Indonesia pada umumnya.

Diskusi kali ini menyorot upaya merawat keragaman melalui kerja-kerja interfaith dan aksi-aksi konkrit lintas identitas dari beragam perspektif dan pengalaman.

Para pemantik dalam diskusi ini adalah:
1. Wawan Gunawan M.Ud - Jakatarub, Bandung - Jawa Barat
2. Ws. Sofyan Yosadi, SH. - pengurus nasional MATAKIN, budayawan Tionghoa.
3. Ir. Deeby Momongan, M.Min. - aktivis interfaith.  
4. Sulaiman Mappiasse, Ph.D. - akademisi IAIN Manado  
5. Iswan Sual, S.Pd. - penghayat kepercayaan Malesung dan pengurus MLKI Sulawesi Utara 
6. Ruth Ketsia Wangkai, M.Th. - PUKKAT   

Sebagai moderator Riane Elean dan Rivo Gosal.
(Tayangan diskusi ini dapat diikuti pada halaman Kelung.com)


PUKKAT

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar