Kamis, 23 Juni 2022

Cap Tikus: Tradisi vs Hukum


 “Cap Tikus” adalah minuman alkohol tradisional masyarakat Minahasa yang diwariskan secara turun temurun, baik dalam hal cara memproduksi maupun mengkonsumsinya untuk banyak kegunaan. “Cap Tikus” diolah dari bahan baku air nira atau saguer. Dalam bahasa setempat, proses menyadap saguer dari pohon enau (seho) disebut dengan istilah umum batifar, dalam bahasa daerah orang-orang Minahasa menyebutnya make’et/makehet. Air nira yang telah difermentasi secara alamiah (cuka) kemudian dimasak dan disuling dengan peralatan sederhana/tradisional.

“Cap Tikus” adalah bagian dari kekayaan budaya tradisi masyarakat Minahasa/Sulawesi Utara. “Cap tikus” juga adalah produk kultural yang kemudian berkaitan dengan banyak aspek kebudayaan yang lebih luas, sehingga semua hal yang berkaitan dengan “cap tikus”, yaitu proses persiapan, produksi, produk, produsen dan pemanfaatannya secara adat, sosial, dan  ekonomi memiliki perlindungan oleh negara. Namun, dasar dan pemahaman normatif ini bertolak belakang dengan kenyataan. Pihak petani dan pengepul yang menjadi bagian dari pihak yang melestarikan warisan budaya ini justru sering mengalami masalah berhadapan dengan hukum. Kriminalisasi yang membatasi ruang gerak para petani dan pengepul, lalu fenomena memiriskan yaitu pemusnahan produk “cap tikus” atas nama hukum sangat jelas bermasalah bagi upaya pemajuan kebudayaan dan hak berekonomi masyarakat untuk memenuhi cita-cita negara Indonesia merdeka yaitu menuju masyarakat adil dan sejahtera. 

PUKKAT bersama Mawale Movement dan BPAN menggelar diskusi dengan "Cap Tikus: Tradisi vs Hukum" untuk membahas polemik di balik minuman ini, sekaligus mendapatkan sejumlah data penelitian untuk para mahasiswa dari STFT Jakarta dan UKDW Yogyakarta yang sedang melaksanakan Social Immersion 2022 di PUKKAT. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor PUKKAT, 23/06/2022, dihadiri sejumlah aktivis, jurnalis, dan perwakilan lembaga kemahasiswaan. 




Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar