Pada sampul sebuah novel yang terbit tahun 2020 lalu, tertulis nama pengarangnya: Dian Purnomo. Judul novel itu, "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam". Jumat, 09 September kemarin, novelis perempuan ini datang ke kantor PUKKAT di jalan Kalutay, Kakaskasen, Tomohon.
Mbak Dian sedang dalam perjalanan pulang dari Sangihe ke Jakarta. Ibu Ruth Wangkai, pembina PUKKAT minta dia singgah barang sehari saja untuk berbagi dengan para penulis dan jurnalis di kota ini. Tante Jull Takaliuang menjemput Mbak Dian di pelabuhan Manado, singgah sebentar di rumahnya di Malalayang, lalu lanjut ke Tomohon.
Dua perempuan yang seolah tak pernah lelah ini tiba di kantor PUKKAT kira-kira pukul sebelasan. Waktu itu sudah ada beberapa kawan yang ingin mendapat ilmu menulis dari penulis. Acara saling kenal pun segera berlangsung. Mbak Dian orangnya suka berteman. Obrolan ringan terjadi. Tante Jull bacirita dengan bahasa Melayu Manado. Mbak Dian rupanya paham dengan cara bicara kami.
"Saya penggemar tinutuan," kata mbak Dian.
"Wah. Kalau di Jakarta belinya di mana?" Tanyaku.
"Ya, masak sendiri," jawabnya santai.
Kantor PUKKAT sebenarnya di lantai dua rumah panggung ibu Ruth. Di situ nanti mbak Dian akan berbagi ilmu dengan kawan-kawan jaringan PUKKAT. Tapi kami sekarang masih di lantai dasar. Di situ rak-rak lemari dipenuhi dengan buku-buku. Kami sering klaim, itu juga perpustakaan PUKKAT.
"Cuma boleh baca di sini," begitu ibu Ruth selalu mengingatkan siapapun yang mampir ke situ.
Kalau di ruang itu buku jadi dinding, di luarnya bunga. Ya, kecuali garasi, semuanya adalah bunga. Itulah sehingga kami sering berkelakar, "Rumah ibu Ruth ini punya '3B': buku, bunga, babi."
"Babi" itu istilah untuk menyebut ragey atau tinoransak, dua menu andalan PUKKAT. Jadi, "babi" sebutan untuk mewakili kebiasaan di tempat itu: makan, dan makan. Ini adatnya PUKKAT.
Perjumpaan dengan mbak Dian juga harus ditandai dengan makan-makan. Macam-macam menu sudah tersaji di meja makan. Ada cakalang bakar, tinutuan, dabu-dabu, ayam kecap, sudah pasti nasi, dan lain-lain. Sayang kali ini tak tampak ragey atau tinoransak.
"Torang makang dulu baru bacirita," kata ibu Ruth, sang makawale.
Bacirita, ya diskusi. Itulah yang kami bilang ke kawan-kawan penulis dan jurnalis waktu mengundang mereka: "Belajar Menulis".
Selesai acara makan-makan, waktunya pindah ke lantai dua. Karpet merah sudah identik dengan ruangan diskusi PUKKAT ini. Jadilah acara bacirita dengan lesehan. Mbak Dian sudah siap. Greenhill G. Weol, moderator acara bacirita membuka dengan perkenalan dan apa saja yang nantinya jadi cakapan.
Mbak Dian bicara tentang proses yang dia lakukan sampai novel terbarunya berjudul "Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam" terbit. Mengapa dia menulis novel itu, apa misinya, dan lain-lain jadi materi belajar.
"Saya mengerjakannya selama dua bulan," kata mbak Dian.
Dua bulan menulis, tapi mulai dari ketika mendapatkan ide, turun ke lapangan untuk memperoleh informasi mengenai pokok yang akan dia tulis, dan proses bersama editor penerbit tentu lebih dari dua bulan.
Novel itu berkisah tentang Magi Diela, seorang perempuan muda. Ia adalah kisah tentang banyak perempuan di Sumba yang terpaksa menjadi istri untuk seorang laki-laki dalam praktik "Kawin Tangkap." Sebagai sebuah karya sastra yang terinspirasi dari fenomena praktik itu, sang penulis tentu telah bekerja keras untuk mengolah semua informasi menjadi "kisah yang hidup" dalam teks dengan imajinasi dan kreatifitas.
Mbak Dian mesti pergi ke Sumba untuk hadir, mendengar dan melihat "Magi Diela" sebelum dia mulai menulis. Dia memang bukan antropolog, tapi itu penting untuk menciptakan cerita yang hidup.
"Saya justru kuliahnya di jurusan kriminologi," kata mbak Dian menjelaskan latar akademiknya.
Magi Diela adalah tentang para perempuan yang menangis dalam kekelaman. Namun, lebih dari sekedar tokoh, Magi Diela adalah refleksi tentang narasi penaklukan, tapi juga perlawanan.
Apakah "Kawin Paksa" adalah tradisi atau adat sesungguhnya Sumba? Pertanyaan ini memicu "kelas belajar menulis" berubah jadi diskusi kritik budaya melalui karya sastra.
Paling tidak ada dua pendekatan yang tampaknya sedikit berbeda memahami fenomena "Kawin Tangkap" itu. Pendekatan feminis kritis dan pendekatan adat.
Ibu Ruth, yang khas dengan feminis kritisnya memprovokasi dengan pernyataan, "Kalau adat itu tidak membebaskan, ya harus didekonstruksi!"
"Ada indikasi, pendekatan novel mbak Dian ini seperti yang dipakai para pengarang zaman Balai Pustaka. Yaitu, menyasar adat dengan wacana modernisasi," kata Green.
"Itu bukan adat melainkan tindakan kriminal murni," kata Rikson Karundeng, direktor Mapatik.
Saya ikut berbicara: "Mungkin perlu ada studi sejarah dan antropologi yang mendalam. Apakah itu budaya asli Sumba?"
Kataku melanjutkan, adat itu tidak bebas dari kekuasaan. Ia tidak turun dari langit sebagai sesuatu yang kebal dan abadi murni. Adat adalah juga konstruksi manusia dan masyarakatnya.
"Sialnya, sering yang dominan menafsir dan mengkonstruksi adat adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan," tegasku.
Mbak Dian sendiri mengatakan, praktik "Kawin Tangkap" terus terjadi karena ada kekuasaan patriarki yang dominan dalam masyarakat.
"Banyak perempuan Sumba yang bahkan menganggap kawin tangkap sebagai bukan masalah," kata mbak Dian.
Itu terjadi karena praktik yang jelas menjadikan perempuan sebagai korban seolah-olah telah diterima sebagai adat. Prosesnya sudah lama berlangsung. Tidak ada kritik jadi ia telah diterima sebagai keniscayaan bagi perempuan.
Kritik, ya itu penting. Kritik sosial, kritik budaya, kritik sejarah, dan atau teologi yang kritis oleh gereja. Ketika setiap kejadian yang diskriminatif dan bahkan tindakan kekerasan dilegitimasi atas nama adat yang dipercaya benar semuanya, maka praktik "Kawin Tangkap" dan sejenisnya di tempat-tempat lain akan menjadi keseharian dalam masyarakat.
Saya sempat bertanya kepada mbak Dian, apa istilah dalam bahasa Sumba untuk praktik yang dalam bahasa Melayu populer disebut "kawin tangkap" itu. Maksud saya dengan pertanyaan ini, bahwa jika itu sudah lama berlangsung, sangat mungkin ia sudah mengalami pergeseran. Salah satu caranya adalah dengan menelisik istilah aslinya, paling tidak tentang hal kawin secara umum.
Acara bacirita akhirnya kembali lagi tentang teknik dan proses-proses kreatif menulis. Dialog terus berlangsung dengan sesekali diselingi "bakusedu" sambil minum kopi dan makan pisang goroho goreng dari dapur. Ya, di PUKKAT, antara ruang dapur dan ruang diskusi, keduanya ibarat alat tulis dan ide dalam mengarang. Ada ide tapi tapi tidak ada alat tulis, tulisan tidak akan pernah ada. Ada ide, ada alat tulis, tapi tidak segera menulis maka tidak akan pernah ada karya.
0 komentar:
Posting Komentar