Sabtu, 28 Juni 2025

Catatan Reflektif Festival Budaya Mawale Movement

 


Tahun ini perjalanan Mawale Movement (MM) melangkah ke usia dua dekade. Sebuah momentum yang penting dirayakan bersama sebagai wujud komitmen dalam merawat keberlangsungan spirit & identitas keminahasaan serta integritas dalam menghidupi nilai-nilai keminahasaan yg humanis & menghidupkan warisan lokal para leluhur Tou Minahasa.
Kendati nyaris tergerus oleh arus zaman dalam tahapan beribu tahun perjumpaan & sentuhan dengan peradaban asing, (termasuk budaya global) - dan karena itu tak dapat terhindarkan produk identitas kultural yang hibrid - tokh sebuah fakta yg tidak bisa dinafikan, bahwa Tou Minahasa tetap berakar di dalam kultur keminahasaannya.
MM adalah salah satu gerakan alternatif untuk kembali ke "wale", rumah bersama, yaitu rumah Minahasa. Kembali ke akar & nilai budaya leluhur, yang tentu mesti dimaknai ulang & terus menerus seiring dengan perjalanan waktu & pergeseran konteks. Dalam kesadaran inilah MM hadir dan lebih concerned pada spirit & nilai keminahasaan. Ia bukan organisasi yang kaku & struktural. Kepemimpinannya pun tidak tersentralistik, apalagi tertumpu pada satu atau sekelompok orang saja. Power sebagai sebuah daya & energi positif menyebar pada kekuatan jaringan-jaringan organisasi atau komunitas atau pun individu yg se-visi. MM ini hidup, eksis berkiprah & berkontribusi dalam memperkuat identitas kultural justru melalui jaringan-jaringannya, yang pada sisi lain independen & merdeka dalam berkarya & berinovasi.
Ikatan yang dirangkai & dirawat terus adalah pada visi perjuangan bersama untuk memperkuat identitas keminahasaan agar terus bertahan, resilien & survived berhadapan dengan resistensi budaya eksternal, tapi juga tradisi internal yang destruktif.
Kehadirannya pun untuk merawat kewarasan & nalar kritis melawan politik penunggalan kebudayaan atau juga sikap religiositas tertentu yang anti budaya, yang kerap distigma sebagai "kuasa kegelapan".
Selain itu, manfaat kehadiran MM sebagaimana telah dikerjakan selama ini adalah melakukan edukasi berkelanjutan melahirkan kader-kader muda potensial, kritis tapi konstruktif dlm membangun peradaban yang berpihak pada kemanusiaan yang bermartabat & alam yg lestari.
Dalam kesadaran inilah, pada perayaan Dua Dekade MM tahun ini, disepakati sejumlah (rangkaian) kegiatan. Ada yang dilakukan bersama semua jaringan yang terdiri dari puluhan organisasi/komunitas dan ada pula yg dilakukan oleh masing-masing jaringan sesuai dgn kapasitas & concern isu.
Sejak minggu lalu beberapa kegiatan sudah dimulai, yaitu "Papendangan Festival". Kegiatan ini diiniasi oleh IAKN Manado yang didukung oleh PUKKAT (Pusat Kajian Indonesia Timur), Institut Mapatik & MM. Selain itu, melibatkan juga kelas IAIN Manado. Kegiatan selanjutnya adalah Sekolah Jurnalisme diinisiasi oleh Institut Mapatik dan didukung oleh PUKKAT & MM.
Kemarin, 28 Juni, berlangsung Festival Budaya. Selain tampilan pentas (pertunjukan) seni budaya, juga ada pameran buku yg ditulis oleh para anggota dan oleh jaringan MM & mitranya.
Ada juga jaringan MM, seperti Gerakan Perempuan Sulut (GPS), turut mengisi acara, yaitu kampanye ANTI KEKERASAN berbasis gender, dan lebih khusus lagi, anti KtP & KtA. Bersamaan dgn kampanye ini, komunitas Saksi & Korban (SSK) SULUT, yang dibentuk oleh LPSK RI (Lembaga Perlindungan Saksi & Korban) melakukan sosialisasi memperkenalkan apa itu LPSK, yg akan segera membuka Kantor Penghubung di Kota Manado.
Kampanye STOP KEKERASAN berbasis gender ini adalah juga bagian integral dari komitmen & perjuangan MM utk terus mengintegrasikan & mempromosikan nilai-nilai luhur Minahasa yg humanis & pro-kehidupan.
Beberapa ungkapan bijak para leluhur, di antaranya: "Si Tou Timou Tumou Tou", artinya manusia hidup untuk menghidupkan sesamanya & tentu juga menghidupkan alam sebagai subyek yang setara. Kosmologi Minahasa tak dapat dipisahkan dari "tiga batu dodika" "manusia - alam - Opo/Empung Kasuruan Wangko". Semua saling bergantung sebagai kesempurnaan kehidupan seutuhnya. Salah satu komitmen MM ramah lingkungan ialah tidak lagi menggunakan kemasan gelas plastik seperti pada perayaan festival kemarin.
Demikian juga ungkapan populer lainnya yaitu "Si Tou Peleng Masuat Waya" artinya setiap orang adalah setara. Local wisdom ini jelas sekali menindikasikan penolakan terhadap budaya kekerasan, termasuk KDRT & KS (kekerasan seksual).
Satu yg tak mungkin terabaikan adalah tradisi makan bersama yaitu menggelar meja beralaskan daun pisang/laikit & menyajikan menu tradisional dimasak dalam bambu.
Tentu ada juga makanan nasional yg dipesan khusus bagi saudari/a kita yang tidak mengonsumsi menu tradisional Minahasa. Ini adalah bagian yg utuh dari hospitalitas berMAWALE. Siapa pun akan disambut dan dilayani dgn sukacita & hati yg tulus. Tapi juga akan tertolak di tanah ini, Tana' Karema-Lumimuut-Toar, jika ada yg datang dengan membawa serta ideologi intoleran, yang hendak merusak nilai-nilai budaya hospitabel & inklusif.
Perayaan ini sungguh meriah sejak pagi sampai malam hari, silih berganti. Semuanya dapat terselenggara bukan karena MM punya dukungan finansial yang kuat. MM tidak punya sponsor dari siapa/mana pun, apalagi dari instansi atau lembaga tertentu. Perjalanan MM hingga hari ini hanya bermodalkan RU'KUP, artinya pemberian sukarela. Ru'kup adalah sebuah tradisi komunal masyarakat agraris, yang tak mengikat secara politis, tapi mengikat secara kultural para anggota & jaringan. Ru'kup bisa berupa uang atau natura atau pun alat perlengkapan untuk menopang terlenggaranya agenda kegiatan.
Inilah kekhasan MM dalam berMAWALE. Meski harus diakui pula ada dinamika dalam mendorong pada tanggung jawab bersama, yang tampaknya mulai tergerus oleh individualime modern. Namun lepas dari itu, perlu disyukuri bahwa perbedaan pendapat bukan hambatan apalagi ancaman. Justru perbedaan itu memperkaya dalam mengelola kekuatan bersama agar tetap eksis merperkokoh identitas keminahasaan dalam mewarnai identitas kebangsaan. Tidak ada kebudayaan nasional yang tunggal. Yang disebut kebudayaan nasional itu adalah plural & beragam sebagaimana beragamnya etnis/suku/ras, serta agama & kepercayaan yg telah ada sejak ribuan tahun di bumi pertiwi ini.
Salam keminahasaan.
Sebuah warisan leluhur yg adiluhung sbgm nama MINAHASA artinya "menjadi esa". Menjadi satu dalam perbedaan & keragaman. Tapi juga dalam keragaman & perbedaan itu, yang esa tetap ada, eksis & dihargai sebagai subyek yang setara, anugerah dari Sang Semesta.
Tomohon, 29/06/25
RKW

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar