Minggu, 31 Desember 2023

Lumales: Menelusuri Jejak Peradaban Tou Minahasa

Riane Elean


Judul: Lumales: Menelusuri Jejak Peradaban Tou Minahasa

Kepengarangan: Rikson Childwan Karundeng

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

Informasi dan Pemesanan: pukkat.org@gmail.com


Sinopsis:

Buku ini berisi reportase perjalanan kegiatan ziarah kultural yang dilaksanakan oleh sejumlah pegiat budaya di tanah Minahasa yang dilakukan semenjak 2010. Ziarah kultural merupakan sebuah penjelajahan untuk mencari, menemukan situs-situs budaya yang masih tersisa di tanah Minahasa, termasuk pendokumentasian tuturan hasil  wawancara dengan para orang tua di kampung-kampung yang memiliki “keistimewaan” sebagai penutur. 


Wale dan Harmoni Kehidupan

Riane Elean


Judul: Wale dan Harmoni Kehidupan

Kepengarangan: Ruth Ketsia Wangkai

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

Informasi dan Pemesanan: pukkat.org@gmail.com


Sinopsis: 

Buku ini berisi dokumentasi dari hasil riset tentang wale atau rumah adat Minahasa, yang masih ada hingga hari ini, walaupun fungsi dan maknanya sebagai rumah adat, yang erat kaitannya dengan ritus-ritus kepercayaan tua Minahasa, tidak tampak lagi. Sebuah realitas yang tidak terhindarkan menjadi fakta riil, bahwa pengaruh Kekristenan yang begitu kuat di tanah Minahasa, yang datang bersamaan dengan peradaban Barat, serta dominasi kapitalisme global, kini hanya meninggalkan jejak dari bentuk wale. Ia bukan lagi rumah adat melainkan sekedar rumah tinggal, yang laris menjadi komoditas dan bisnis “rumah panggung” Minahasa, yang terbuat dari bahan kayu. Tidak mengherankan bentuk rumah panggung ini telah dimodifikasi sesuai kebutuhan dan selera pasar (konsumen), yang berorientasi hanya pada keuntungan pelaku bisnis saja. Walau tinggal jejaknya, pendokumentasian buku ini merupakan sebuah upaya untuk menggali ulang makna wale, fungsi dan bentuknya sebagai rumah adat, warisan leluhur, yang sarat dengan nilai-nilai kosmologis-spiritual-kultural Minahasa. Tentu ada harapan, bahwa dengan menguak kembali nilai-nilai dan kearifan lokal ini, akan dapat menyumbang bagi pemaknaan ulang rumah, yakni tidak sekedar bangunan dan tempat tinggal saja, tetapi wale sebagai ruang bagi harmoni kehidupan antar sesama dan dengan alam sebagai rumah bersama semua makhluk.

Sabtu, 16 Desember 2023

Bertemu Sahabat

Riane Elean

Sore hingga malam, duduk berdiskusi dengan para sahabat di kantor Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), Kakaskasen, Tomohon. Ivan R B Kaunang, Greenhill Weol, Denni Pinontoan, Ibu Ruth Ketsia, Filo Karundeng, Josua Wajong, dan tak ketinggalan si aktor (agak) tampan, Fredy Wowor. 

Kami (tidak) kebetulan kedatangan kawan lama, Erica Larson. Peneliti asal Boston, Amerika Serikat, tapi tinggal Singapura. Ia bekerja di Asia Research Institute, National University of Singapore. 

Berbagai kisah pun mengalir bersama kopi nikmat racikan Denni. Suasana kian hangat ketika biapong khas Kaki Lokon ikut nimbrung. 

Erica akrab dengan Indonesia, termasuk tanah Minahasa. Seberapa akrab, bisa terlihat dari fasihnya ia bicara menggunakan bahasa Indonesia, bahkan Melayu Manado. Beberapa waktu lalu ia datang meneliti tentang pendidikan kewargaan di sejumlah sekolah di Sulawesi Utara. Hasilnya kini telah ditenteng menjadi buah tangan, "Ethics of Belonging: Education, Religion, and Politics in Manado, Indonesia".

Kali ini, Erica datang masih dengan tujuan yang sama. Topiknya yang berbeda. Ia meneliti tentang bagaimana perspektif mahasiswa soal korupsi. 


Kami berdiskusi panjang dan baru bubar (berganti topik) beberapa saat setelah Kalfein Wuisan tiba. Katanya, Aruy ngambek. Entahlah ... Kata Fredy, pengalaman ini telah menjadi ritual rutin setiap Kale kembali dari perjalanan luar negeri. Heran, dia baru balik dari Dubai, tidur di kamar dengan kasur puluhan juta per malam, tapi agak sulit membayar tambal ban bocor 😜

Saat catatan dan foto di dinding FB ini diupload, kami sedang menunggu ragey dan nasi bungkus yang dijemput Filo. Seperti biasa, kami rukup setiap bersua. Captikus Wuwuk yang datang bersama Kale, jadi teman untuk menanti. (Rikson)

Jumat, 24 November 2023

Jajaki Peluang Kerjasama, ISI Surakarta Sambangi PUKKAT

Riane Elean

ISI Surakarta sambangi PUKKAT, 24 November 2023, di kantor PUKKAT, Jalan Kalutay Kakaskasen Tomohon. Rektor ISI Surakarta Dr. I Nyoman Sukerna, S.Kar., M.Hum, didampingi Dr. Bambang Sunarto, S.Sen., M.Sn. (Wakil Rektor I), Dr. Dra. Tatik Harpawati, M.Sn. (Dekan Fakultas Seni Pertunjukan) bersama rombongan lainnya diterima Ketua PUKKAT Dr. Denni H. R Pinontoan dan tim PUKKAT. Kedua lembaga menjajaki peluang-peluang kerjasama yang akan dilakukan terutama terkait isu-isu pemajuan kebudayaan. 

Demokrasi Deliberatif Orang Laut

Riane Elean

Menikmati aroma kopi robusta bersama rintik hujan sore di Kaki Lokon, terasa sangat nikmat. Apalagi sambil duduk meresapi aliran pengetahuan dari seorang guru. Namanya, Julianus Mojau. Teman-temannya biasa menyapa akrab, Bung Nus. 

Di kalangan intelektual, para teolog, Anak Loloda, Maluku Utara ini sangat dikenal. Apalagi ia pernah menjadi Rektor Universitas Halmahera, pimpinan di Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (Persetia). Ketua Umum PGIW Maluku Utara ini juga sudah beberapa periode berada di kursi pimpinan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). 

Saya mengenal Pak Mojau sejak duduk di bangku kuliah Fakultas Teologi, UKIT. Tidak secara langsung, tapi melalui buah pikiran, karya-karya intelektualnya yang terdokumentasi dalam berbagai buku. Di antaranya: Apa itu Teologi, Bersama Sang Hidup, Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, Merawat Wajah Keindonesiaan Allah, Teologi Politik Pemberdayaan, dan Religiositas Kekristenan Halmahera. 

Saya memulai percakapan dengan sebuah cerita yang baru dialami. Tadi pagi, flayer kegiatan dikirim ke beberapa orang. Seorang kawan dari pulau seberang yang kini mengajar pada sebuah kampus di Sulawesi Utara merespons, "Ngoni orang gunung tertarik so mo bicara soal laut?" Ada juga jawaban dari kawan orang Minahasa yang kini sedang menuntaskan studi program doktoralnya, "Adoh, maaf, Mner.  Suka pigi, mar payah lei kwa kita pe pengetahuan soal laut." Mungkin mereka sedikit bergurau (entahlah, soalnya pesan di WA tidak ada nada suara untuk bisa lebih memastikan penilaian itu) saat membalas pesan saya, tapi pernyataan-pernyataan itu seperti jawaban tentang stigma Minahasa "orang gunung saja" benar-benar kuat. Hem  ... 

Sebagai orang yang lagi belajar menulis, saya tentu sangat excited berbincang dengan Pak Mojau. Percakapan kami terus berlanjut di ruang diskusi Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat). Pak Mojau bicara secara khusus topik "Demokrasi Deliberatif Orang Laut". Ia berbagi dengan penuh semangat. Pisau kritisnya masih seperti biasa, tajam. 

Di ujung percakapan, kami bersepakat untuk menuangkan ide-ide dalam diskusi ini lebih serius ke dalam sebuah buku. Kita akan difasilitasi oleh Pukkat untuk mewujudkan rindu itu. Tentu akan senang bisa menulis soal "Lour dan Tou Minahasa". 😇 (Rikson)

Kamis, 09 November 2023

Seni Pertunjukan Wolay di Desa Poopo, Kec. Ranoyapo, Kab. Minahasa Selatan

Riane Elean



 Judul

Seni Pertunjukan "Wolay" di Desa Poopo, Kec. Ranoyapo, 

Kab. Minahasa Selatan

Penulis

Denni H. R. Pinontoan

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

ISBN: Dalam Proses Pengajuan

Informasi dan Pemesanan: email pukkat.org@gmail.com

Sinopsis:

Buku ini ini mendokumentasi salah satu warisan kekayaan budaya masyarakat desa Poopo, Kec. Ranoyapo, Kab. Minahasa Selatan, yaitu seni pertunjukkan “Wolay”. Selain tentu merupakan budaya masyarakat Poopo, seni pertunjukkan ini adalah bagian dari kekayaan budaya Minahasa yang juga memperkaya keragaman budaya Indonesia.

Jumat, 03 November 2023

Hidup Damai Komunitas Yahudi di Manado

Riane Elean


Pengawas PUKKAT, Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, M. Th. menjadi salah satu pembicara dalam Talkshow Merawat Kebhinekaan yang dilaksanakan Katolikana, dengan topik " Hidup Damai Komunitas Yahudi di Manado" pada Kamis, 2 November 2023.

Rekaman talkshow tersebut dapat disaksikan di chanel Katolikana pada link di bawah ini.

Talkshow Katolikana


Minggu, 30 April 2023

Film Wanua: Karya dan Profil Sineas dan Komunitas Film Minahasa

Riane Elean

 


Judul: Film Wanua: Karya dan Profil Sineas dan Komunitas Film Minahasa

Penulis

Denni Pinontoan, Ruth K. Wangkai, Riane Elean, 

Rikson Karundeng, Kalfein Wuisan

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

ISBN978-623-92756-3-1

Informasi dan Pemesanan: email pukkat.org@gmail.com

Sinopsis:

Buku ini tidak hanya mendokumentasi kegiatan-kegiatan Festival Film Wanua, namun juga tentang sejarah perfilman di Sulawesi Utara, gagasan-gagasan untuk membangun dan meningkatkan literasi dan ekosistem perfilman yang muncul dalam seminar dan profil para sineas atau komunitas film yang ada di daerah ini. Tujuan buku ini adalah untuk menegaskan, melalui Festival Film Wanua yang telah dilaksanakan oleh PUKKAT dengan dukungan penuh dari Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) maka komitmen untuk mengembangkan literasi dan ekosistem film telah dicanangkan di daerah ini.

Sabtu, 28 Januari 2023

Menegakkan Kedaulatan Spiritualitas Nusantara

Riane Elean

 


PUKKAT menggelar kegiatan "Bacirita Bersama Dr. Bambang Noorsena" dengan topik "Menegakan Keadilan Spiritualitas Nusantara (Di Balik Berdirinya Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional)", Jumat 27 Januari 2023 di kantor PUKKAT, Kakaskasen Tomohon. Noorsena adalah seorang budayawan, pendiri Institute for Syriac Culture Studies (ISCS). Hadir dalam kegiatan ini sejumlah aktivis, budayawan, akademisi, jurnalis dan rohaniawan. 




Rekaman diskusi ini dapat disaksikan di link ini

Rekaman 1

Rekaman 2

Sabtu, 07 Januari 2023

Kebudayaan Masa Antara

Riane Elean

 




Judul: Kebudayaan Masa Antara

Penulis: Denni H. R. Pinontoan

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

ISBN:
978-623-92756-1-7
978-623-92756-2-4 (PDF)

Informasi dan Pemesanan Buku: email ke pukkat.org@gmail.com

Sinopsis:
Buku ini mendeskripsikan dan merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat lokal, nasional dan lokal di era pasca perang dunia kedua. Era ini adalah masa antara dari masa kolonial ke era milenial (abad ke-21).

Isu kebudayaan yang di bahas dalam buku mulai dari soal minyak goreng hingga tren angkot, musik, film, dan tradisi mudik. Inilah masa antara: secara psikologis diingat secara romantik, secara politik dikenang secara traumatis, secara sosial dihubungkan dengan represi yang menenangkan, secara kultural ini adalah era semua serba alternatif. Hal-hal ini yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai antara lain fenomena kebudayaan masa antara.

Keywords: kebudayaan, orde baru, musik, film

Minahasa dalam Ingatan dan Tradisi

Riane Elean


 Judul: Minahasa dalam Ingatan dan Tradisi

Penulis:
Rikson C. Karundeng . Rafael W. Taroreh . Belarmino M. Lapong . Leonard A. Wilar . Josua R. Wajong . Gerard A. B. Tiwow . Hendra R. Mokorowu

Editor:
Rikson C. Karundeng

Penerbit: Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT)

ISBN:
978-623-92756-0-0
978-623-98840-9-3 (PDF)

Informasi dan Pemesanan Buku: email ke pukkat.org@gmail.com


Sinopsis:
Buku ini berisi kisah-kisah sejarah dan budaya, catatan tentang nilai-nilai ke-Minahasa-an yang masih tersimpan dalam ingatan dan terekspresi dalam praktek hidup tou Minahasa sehari-hari. Lebih dari itu, karya ini adalah wujud semangat (nilai ke-Minahasa-an itu sendiri) untuk mencari pengetahuan. Seperti ungkapan orang Toudano, “Si tou timou tumo’u to’u” (Manusia hidup untuk belajar sampai tahu).

Sabtu, 31 Desember 2022

Kelahiran A.I. dan Kematian (Kecerdasan) Manusia

Riane Elean

 



PUKKAT menggelar sebuah diskusi hybrid dengan topik "Kelahiran A.I dan Kematian (Kecerdasan) Manusia". Diskusi ini digelar dalam momentum Bakudapa Akhir Tahun Mawale Movement, 30 Desember 2022 di Kantor PUKKAT, Kakaskasen. Hadir dalam kegiatan ini sejumlah akademisi, praktisi hukum, jurnalis, budayawan, aktivis di Tanah Minahasa. 

Diskusi ini membahas tentang masalah-masalah etika, moral dan kultural yang terkait dengan revolusi kecerdasan buatan. Artificial Intelligence (AI) adalah teknologi yang mengandalkan komputer untuk memecahkan masalah dan melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh manusia. 

Sejarah A.I dimulai tahun 1950-an, ketika komputer pertama kali dapat menyelesaikan  tugas-tugas yang biasa dilakukan manusia, seperti mengeluarkan keputusan atau mengenali objek. 

Perkembangan A.I saat ini telah berkembang lebih jauh dari itu, dengan komputer yang mampu memecahkan masalah secara otomatis dan mengambil keputusan dengan sendirinya. Dengan demikian A.I membawa banyak manfaat bagi kemajuan teknologi dan industri. Namun di sisi lain, revolusi A.I juga menimbulkan beberapa permasalahan etika seperti menghilangnya lapangan kerja untuk manusia, meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh A.I, serta masalah privasi yang timbul dari penggunaan A.I.

Dalam diskusi kali ini semua yang hadir diundang untuk berpartisipasi aktif dalam membahas permasalahan etika yang terkait dengan A.I, dan memberikan solusi atas masalah tersebut. 

Kamis, 29 Desember 2022

Merayakan Natal di Rumah Baha'i

Riane Elean



SORE ini, cukup cerah. Berbeda dari warna hari-hari penghujung tahun 2022 sebelumnya. Di Rinegetan, Tondano, pada sebuah halaman rumah berlantai beton, berdiri tenda putih sekira 8×10 meter. Puluhan orang duduk di kursi yang tertata rapi, menghadap selatan.

Pohon natal, lilin-lilin, dan berbagai hiasan natal lain, menyemarakkan suasana. Di depan bagian tengah, ada selembar baliho. Paling atas tercetak sebuah lonceng berhias daun dan pita merah. Di bawahnya tertulis, “Begitu kuat cahaya persatuan sehingga dapat menerangi seluruh bumi”. Di bawahnya lagi tertera tulisan dengan huruf yang lebih besar, “Merefleksikan Makna Natal Sebagai Upaya Membangun Kehidupan Bersama Dalam kerukunan dan Keselarasan”.

Di dalam rumah, sajian makanan sudah tersedia di atas meja untuk disantap. Seorang bapak kemudian dipanggil untuk membawakan doa makan. Sebelum mengucapkan doa, ia berkata “Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan. Mari berdoa…”

Pemimpin doa itu bernama Asri Rasjid. Seorang Muslim Syiah yang tinggal di Minahasa Utara. Ia salah salah satu dari sekian banyak umat beragam agama yang hadir dalam tenda itu.


Refleksi Natal Bersama

Rabu, 28 Desember 2022, sebuah komunitas yang menamakan diri “Gerakan Cinta Damai Sulut” (GCDS) menggelar sebuah perayaan Natal. Rumah tempat pelaksanaan acara, milik keluarga Agus Basith. Penganut Baha’i yang tinggal di Kelurahan Rinegetan, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa.

Suasana sukacita tergurat jelas dari setiap wajah yang menyatu di tempat itu. Erny Jacob, salah seorang dari keluarga besar GCDS, membacakan Alkitab. Bahan refleksi ini diambil dari kitab Matius 2:1-12. Bagian akhir dari ayat-ayat yang dibacakan merupakan tema untuk perayaan Hari Natal 2022 yang disepakati Pesekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), “Maka Pulanglah Mereka ke Negerinya Melalui Jalan Lain”.

Umat dengan berbagai latar belakang agama yang berbeda, dengan penuh khusyuk memasang lilin. Mereka juga melakukan refleksi bersama tentang Natal Yesus Kristus. Seorang penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diberi kesempatan pertama untuk berefleksi. Sesudah itu, tampil seorang penganut Hindu, kemudian Kristen, Islam, dan Baha’i.

Penggerak GCDS, Pendeta Ruth Wangkai menegaskan, acara ini bagus dan positif karena membangun kehidupan bersama. Ia sangat menikmati “acara syukur lintas iman” sekaligus refleksi Natal sebagai upaya membangun hubungan bersama antar umat beragama.

Ia sendiri ikut merefleksikan bagian Alkitab yang menjadi tema Natal PGI dan KWI, dalam kaitan dengan konteks perayaan ini.

“Ini ‘jalan lain’, bukan mainstream, seperti biasa perayaan Natal dibuat di gereja, oleh sesama orang Kristen, dan sekali-sekali melibatkan denominasi lain. Kali ini berbeda. Ini jalan lain yang dipilih, tidak biasa, dan menurut saya adalah jalan kehidupan,” ucap teolog ini, sembari menjelaskan jika inti ajaran Baha’i memang untuk menyatukan.

Aktivis perempuan yang juga Koordinator Gerakan Perempuan Sulut (GPS) ini merasakan kesejukan, tatkala mendengar refleksi-refleksi dari penganut agama berbeda, yang menyaksikan tentang Tuhan Yang Maha Kasih, yang tidak melakukan kekerasan.

“Ini juga refleksi terhadap fenomena  yang selama ini terjadi, klaim-klaim eksklusif, klaim-klaim kebenaran mutlak. Kenapa sih, perbedaan harus menjadi ancaman, atau jadi sumber konflik?” kata Ruth.

“Ternyata ketika kita bersama-sama, menyanyi bersama-sama, mau berefleksi dari keyakinan yang berbeda, kita boleh menikmati makna kehidupan. Makan bersama, berbagi kisah bersama, tertawa bersama.”


Natal Sebagai Peristiwa Interfaith

Tahun 2016, beberapa orang tengah kongko-kongko, minum kopi, dan makan pisang goreng. Sebuah aktivitas yang biasa mereka lakukan. Kali ini, muncul reaksi keprihatinan atas kondisi yang sedang terjadi di ibu kota Jakarta.

“Dari diskusi itu kita melihat ada sesuatu yang perlu direspons, kaitan dengan apa yang terjadi di ibu kota sana. Kita kemudian sepakat membuat sebuah komunitas dan memberi nama Gerakan Cinta Damai Sulut,” kata Denni Pinontoan, mengawali ucapan terima kasih mewakili GCDS.

Sederet kegiatan yang melibatkan umat berbagai agama berbeda di Sulawesi Utara (Sulut) pun mengiringi kehadiran GCDS sejak tahun 2016, hingga hari ini. Perayaan Natal yang diekspresikan dalam beragam bentuk juga mulai dilakukan sejak itu. Semua yang berinisiatif, mempersiapkan kegiatan, dan yang terlibat secara langsung dalam perayaan Natal, penganut agama yang berbeda.

“Sebenarnya Natal itu sejak awal adalah peristiwa interfaith. Sebuah peristiwa lintas agama. Karena seperti yang kita baca (dalam Alkitab) tadi, ada sekelompok orang majus, mungkin orang-orang bijaksana dari Persia dan mereka itu dari peradaban berbeda tapi juga agama Zoroaster,” ujarnya.

“Kata itu (majus) kemudian berkembang menjadi megician. Yang soal kemudian, kata itu menjadi negatif, diterjemahkan penyihir. Padahal maknanya ‘orang-orang bijaksana’,” sambung Denni.

Akademisi Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado ini menjelaskan, sejak awal, kelahiran Yesus Kristus disambut dengan sukacita oleh para gembala, seorang perempuan (Maria) dan para orang bijaksana (orang majus).

“Entah sejak kapan Yesus itu dikristenkan. Kita harus cari tahu sejarahnya. Karena sudah sejak mulanya Yesus itu adalah tokoh untuk semua,” jelasnya.

Menurut Denni, itulah semangat dan spirit yang membungkus Agus Basith dan keluarganya yang merupakan penganut Baha’i, sehingga mau memaknai, menghayati, merayakan salah satu tokoh besar dari banyak tokoh besar yang telah mengubah peradaban. Dalam hal ini, Yesus Kristus. Semua yang hadir kemudian turut merayakannya bersama-sama.

Fakta, jarang ada yang menerima undangan dari umat beragama lain untuk merayakan Natal. Itu mengapa perayaan Natal di rumah Agus dan keluarga memberi kesan yang sangat mendalam. Sehingga apa yang menjadi makna dari peristiwa Natal, yaitu paling terutama “damai di bumi, damai di surga” bisa dirasakan.

“Paling banyak terjadi kan kita hanya berdoa saja, damai di surga, tapi tidak damai di bumi. Atau hanya damai-damai di surga, tapi kemudian kita tidak punya visi besar untuk damai secara universal. Dengan demikian Natal akan lebih bermakna bagi kita,” tutur Denni yang juga dikenal sebagai Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat).

Semua Umat Adalah Satu

Agus Basith, makawale hajatan istimewa itu bertutur, dalam dirinya ada sebuah keyakinan yang teguh bahwa semua umat adalah satu dan berasal dari sumber yang satu.

“Memang ini menjadi sebuah keyakinan, bahwa kita semuanya ini adalah satu. Jadi kami ini meyakini bahwa semua agama berasal dari satu Tuhan,” kata Agus.

Salah satu ekspresi keyakinan “yang satu” itu, ia dan keluarganya meyakini Yesus secara keseluruhan, termasuk hari raya-Nya.

“Kalau agamamu, agama kami juga. Jadi satu Tuhan. Artinya, kita juga harus merayakan semua hari raya keagamaan,” ujarnya.

Baginya, perayaan secara bersama hari-hari besar keagamaan memang seharusnya. Bukan malah menjadi masalah.

Pada perayaan-perayaan Natal di tahun-tahun sebelumnya, Agus dan keluarga biasanya merayakan bersama-sama dengan umat Kristen yang lain. Mereka hadir di perayaan Natal bersama sahabat, kerabat dan tetangga. Kali ini ia dan keluarga memilih untuk membuat perayaan Natal secara langsung di rumahnya.

“Tahun-tahun sebelumnya, biasanya kalau ada perayaan Natal di lingkungan tempat kami tinggal di Rinegetan, kami terlibat dan membantu apa saja,” ungkap Agus.

Semenjak tinggal di Tondano tahun 2010, Agus selalu merasakan pengalaman hidup bersama yang indah. Ia meyakini, teman-teman di sekitar mereka juga merasakan hal yang sama. Walaupun berbeda, mereka tetap bisa menjaga kesatuan.

“Sebenarnya kesatuan itu bisa dibangun. Jadi kita perlu ada saling interaksi. Artinya, kita tidak hanya istilahnya di kegiatan agama tertentu saja, tapi juga bagaimana terlibat secara langsung dalam kehidupan bersama sehari-hari,” tutur Agus.

Baginya, apa yang dilakukan kali ini merupakan sebuah awal untuk bagaimana bisa menyatukan visi kehidupan bersama yang harmonis. Harapannya, ini akan menjadi lebih ke upaya konkret di lingkungan di mana dia dan mereka yang hadir tinggal.

“Kita bisa bekerja sama bersama orang-orang di sekitar kita,” kata Agus.

Langkah lebih lanjut yang harus dilakukan, menurutnya kegiatan seperti ini bukan hanya untuk orang dewasa tapi bagaimana anak-anak berbeda agama juga bisa dipersatukan dalam seremoni dan kehidupan bersama.

“Kita sudah mulai menanamkan benih-benih rasa satu sejak dini. Rasa saling menghargai harus dibangun sejak dini. Kita sebagai orang tua harus lebih dahulu memulai untuk memberi teladan hidup bagi anak-anak kita,” tegasnya.

Sebuah Keberanian

Sikap yang diekpresikan dan kesaksian Agus Basith, menuai apresiasi dari umat yang hadir. Pengalaman hidup dia bersama keluarganya, benar-benar bisa menjadi teladan bagi umat beragama lainnya.

“Kita harus mengapresiasi keberanian Pak Agus dan keluarganya. Berarti dapat ditarik kesimpulan, umat Baha’i ini biar hanya kecil tapi mampu beradaptasi dengan baik,” kata Jull Takaliuang, aktivis lingkungan yang juga intens melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus perempuan dan anak di Sulawesi Utara.

Ia berpendapat, kegiatan ini luar biasa. Sebuah bukti bahwa Agus dan keluarga mampu membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lain. Itu terlihat juga dalam acara ini, banyak sekali orang berbagai latar belakang agama yang hadir.  Tetangga-tetangganya juga turut serta menikmati sukacita Natal di tempatnya.

“Sungguh tidak disangka sebelumnya, Natal bisa dirayakan oleh komunitas Baha’i. Kenapa kita kemudian masih sedih melihat fakta (kasus diskriminasi penganut agama tertentu terhadap penganut agama yang lain) di berbagai tempat, termasuk di Boltim Sulawesi Utara. Berarti betapa sangat tertutupnya mata, hati, pikiran dan perasaan bahwa kita di Sulut ini beragam,” ucapnya.

Jull menyaksikan secara langsung keindahan mengagumkan di tempat itu. Ketika umat berbeda keyakinan boleh bersama-sama saling berbagi, saling bertemu, merayakan Natal bersama-sama, tidak ada yang merasa tersakiti. Malah yang terbangun adalah kebahagiaan bersama.

“Kita menumbuhkan kekuatan bersama menghadapi hari-hari ke depan. Entah situasi politik seperti apa, kita akan terhindarkan dari politik identitas ketika kita punya kekuatan yang basic-nya seperti ini, dibangun seperti ini,” kata Jull.

Ketua Yayasan Suara Nurani Minaesa ini mengaku salut untuk keberanian yang luar biasa dari para penganut Baha’i di Sulawesi Utara. “Itu karena mereka sudah punya dasar kenyamanan dengan lingkungannya yang ada di Tondano. Bahkan kini mereka mengundang teman-teman dari luar, dari berbagai agama. Ada Hindu, Islam, penghayat kepercayaan dan penganut agama lain yang hadir. Ini luar biasa.”

Hal yang bisa jadi pelajaran banyak orang dari Agus, paling penting penerimaan luar biasa atas ajaran agama lain. Karena dia kemudian tidak merasa yang satu-satunya benar, yang betul hanya ajaran agama yang diimaninya, tapi kemudian dia menghargai bahwa ada ajaran lain yang sama.

“Itu adalah sebuah kesadaran yang terbangun atas satu dasar, bahwa Tuhan itu satu. Hanya kita menyembah dengan cara yang berbeda, dan itu yang harus diterima,” tegas Jull.

Dalam acara ini Jull betul-betul menikmati pengalaman yang luar biasa. Semua bicara bagaimana menebar kebaikan, menjaga keselarasan, bagaimana membangun kehidupan yang damai.

“Semua orang menginginkan itu. Dan ketika semua mampu menciptakan itu, kita sedang menjalankan ajaran agama masing-masing. Berarti tolak ukurnya satu, berbuat baik saja karena tujuan kita hanya pada satu Tuhan,” kuncinya.


Berbeda Bisa Menyatu

Kegiatan Natal bersama yang diselenggarakan GCDS adalah langkah yang sebetulnya perlu diambil oleh banyak pihak. “Karena kalau diambil banyak pihak, niscaya kerusuhan, perselisihan antar umat yang berbeda keyakinan agama, suku, ras, itu terhindarkan,” kata Iswan Sual, ketua penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung.

Baginya, momen ini sebetulnya jadi contoh, panutan dari kelompok-kelompok yang toleran. Bukan hanya sekedar tidak berbuat apa-apa, tapi perlu mengambil langkah konkret dalam mewujudkan perdamaian.

Ia rindu, kiranya kegiatan seperti ini boleh menginspirasi anak-anak muda yang di masa mendatang akan menjadi pemimpin. “Paling penting kegiatan lintas iman ini bukan dilakukan oleh golongan elit, tapi memang dari akar rumput. Orang-orang yang memiliki kesadaran untuk menciptakan damai di Sulawesi Utara,” ujarnya.

“Kegiatan ini melibatkan semua penganut kepercayaan. Saya sebagai penganut kepercayaan Lalang Rondor Malesung, sangat bergembira dan berterima kasih, karena diberikan ruang untuk hadir dalam ruang-ruang keberagaman yang luar biasa seperti ini.”

Mardiansyah Usman, Ketua Lesbumi Nahdaltul Ulama (NU) Sulut menyebut, kegiatan model seperti ini sangat spesial karena jarang terjadi. Pertama, yang jadi tuan dan nyonya rumah dari agama Baha’i, sementara konsepnya perayaan Natal.

“Ini jarang terjadi, agama lain mengundang kita lintas agama menghadiri acara semacam ini. Kalau kita lihat, ini bisa dijadikan model sosial baru, khususnya di Sulawesi Utara, untuk mempertahankan kebersamaan dalam keberagaman,” nilainya.

Diakui, di GCDS sebenarnya kegiatan-kegiatan serupa sudah sering dilakukan. Kali ini memang tepatnya di momen Natal, dan kemudian mereka ikut memberikan refleksi dari masing-masing keyakinan.

“Terpenting bagi kita, dengan acara-acara seperti ini bisa saling kenal-mengenal, kemudian kita bisa saling mengetahui. Kalau dulu ada rasa kecurigaan, tapi sekarang ini ketika semua masing-masing memberikan refleksi, kita bisa lebih terbuka dan tahu bahwa ternyata semua kelompok, semua agama itu ingin berdamai,” tandasnya.

Kesan senada dituturkan I Dwi Budi Medhawinata, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Minahasa. Ia melihat suasana acara ini sangat indah. Di sini mereka bisa menyatu walau berbeda agama. Baginya, umat beragama bisa menyatu, membawakan doa bersama, dan saling berbagi bersama dalam kegembiraan adalah Nusantara yang sesungguhnya.

“Mengutip yang pernah dinyatakan Bung Karno, ‘Bagaimana caranya kita menyatukan pikiran-pikiran, golongan-golongan, tanpa kita kuatkan yang bisa menjadi landasan, yang bisa menjadi wadah untuk bersatu’. Kali ini, Pak Agus menjadi wadah kesatuan kita di sini, di Minahasa,” ucapnya.

Bagi Dwi, hidup bersama dalam perbedaan merupakan pengalaman nyata yang dia rasakan di tanah Minahasa. Tanah yang memberikan kenyamanan baginya untuk mengekspresikan keyakinan walau berbeda dengan lainnya.

“Hidup rukun sudah saya rasakan dari kecil di Minahasa. Saya sendiri Hindu tapi bisa beradaptasi, rukun dengan teman-teman sejak masih sekolah SD, SMP, SMA, bahkan di bangku kuliah. Itu sangat membahagiakan,” tutur Dwi yang kini tinggal di Kelurahan Maesa Unima, Tondano.

“Tak ada beban sama sekali. Aura-aura negatif yang membuat kita marah kepada orang lain, itu tidak ada. Di Minahasa, kami hidup enak, tanpa beban.” (Rikson Karundeng)


Sumber:

https://kelung.id/kelung/merayakan-natal-di-rumah-bahai/?amp=1&fbclid=IwAR35RZDw1bZxbPfUUgOYEKJyUusiCFYf0v6q6rHbwQX60DSKlQ45P9V-TAA