Selasa, 09 Februari 2021

Tren Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak



Founder PUKKAT, Pdt. Ruth Wangkai, M. Th diwawancarai TVRI Sulut, Rabu, 9 Februari 2021, pukul 18.00-19.00 Wita dalam acara Forum Publik dengan topik “Tren Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”.

Wangkai merespons positif undangan TVRI ini sebagai bagian dari penyadaran publik tentang tren peningkatan kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan Kekerasan terhadap Anak (KtA) - yang mesti dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM, yang tentu saja mempunyai konsekuensi hukum bagi pelaku.

KtP dan KtA dimaksud dapat berbentuk:

1. Kekerasan fisik

2. Kekerasan seksual (KS)

3. Kekerasan psikologis dan/atau

4. Penelantaran rumah tangga/ekonomi.

Bentuk-bentuk kekerasan ini penting disosialisasikan kepada masyarakat, karena ada anggapan bahwa yang dimaksudkan dengan kekerasan hanyalah berkaitan dengan fisik dan/atau kekerasan seksual saja. Padahal KtP dan KtA beragam bentuk. KS pun tak hanya terkait dengan perkosaan dan pencabulan, seperti yang tertera dalam KUHP, tetapi sebagaimana diajukan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yg sdh masuk kembali dalam Prolegnas Prioritas 2021 DPR-RI, jenis-jenis KS mencakup: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Catahu KP) 2020 menyebutkan bahwa KtP yang terjadi selama tahun 2019 sesuai data yang dilaporkan oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan dan yg dilaporkan langsung ke KP yakni berjumlah 431.471 kasus. Jumlah ini menunjukkan peningkatan signifikan terutama lima tahun terakhir. Dalam kurun waktu 12 tahun KtP meningkat 792% (8 kali lipat). Data ini pun merupakan fenomena puncak gunung es, belum memperlihatkan situasi yg sesungguhnya terjadi. Terbanyak kasus KtP dan KtA tak dilaporkan bahkan ditutup rapat, kendati korban mengalami luka trauma berkepanjangan bahkan seumur hidup. Sementara itu, ada juga korban yg justru melindungi pelaku, seperti banyak terjadi pada kasus-kasus KDRT atau pelaku yg mengancam korban untuk tidak melapor ke polisi, sebagaimana terjadi pada kasus-kasus inses. Inilah salah satu sebab mengapa siklus dan rantai KtP dan KtA sulit diputus.

Laporan Catahu juga mencatat bahwa ada 11.105 (75%) kasus KDRT (ranah privat) yang ditangani, 4.602 (24%) kasus terjadi di ranah publik, dan 12 (0,1%l) kasus di ranah negara. Bentuk-bentuk kekerasan fisik ada 4.788 (43%), KS  2.807 (19%) dan terbanyak adalah inses (hubungan seksul sedarah), dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti ayah kandung, kakek, paman, dan saudara laki-laki. Sementara kasus penelantaran ekonomi berjumlah 1459 (13%). Dari tiga pola dan ranah KtP, seperti dilaporkan ini, jumlah kasus KDRT-lah yg paling tinggi.

Data KtP di Sulut khususnya yang dilaporkan oleh Swara Parangpuan Sulut, yang terjadi sepanjang tahun 2019: KDRT 23 kasus (42%) dari 55 kasus dan yang terjadi sepanjang tahun 2020: KDRT 22 kasus (40%) dan KS 23 kasus yang didampingi Swapar. Data 2020 ini tampak seperti tak ada peningkatan KtP. Tapi justru pada masa pandemi ini tren meningkat, hanya memang Swapar kesulitan mendampingi karena terhambat C-19.

Data-data di atas mempertegas bahwa perempuan dan anak adalah kelompok paling rentan mengalami kekerasan, bahkan di rumah sendiri pun yang mestinya menjadi tempat paling aman, nyatanya tak bebas dari kekerasan dan perkosaan. Karena itu, sebagai warga negara yg sama di hadapan hukum dan sama-sama dilindungi oleh konstitusi berhak menuntut kepada negara untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak sebagimana termuat dalam peraturan perundang- undangan yang ada, bukan sebaliknya, negara abai bahkan tak hadir ketika KtP dan KtA terjadi. Pelaku bebas berkeliaran dan tak sedikit mengulangi lagi aksinya yang bejat dan tak manusiawi itu.

Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) merupakan faktor  penentu mengapa siklus KtP dan KtA sulit dihentikan, malah cenderung naik signifikan. Selain itu, ada juga faktor-faktor yang terkait dengan konstruksi sosio-budaya  dan juga teks-teks agama yg androsentris, bias gender dan misoginis - semua itu turut berkontribusi langgengnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Beberapa alasan inilah yg mendorong PUKKAT bersama dengan puluhan lembaga, organisasi dan komunitas peduli untuk bersatu dalam sebuah gerakan bernama Gerakan Perempuan Sulut (GPS) Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Tragedi di jalan Raya Tumatangtang, Kota Tomohon, 24 Februari 2021 menjadi pemicu untuk bergerak bersama. Tapi sejatinya GPS lahir sebagai sebuah gerakan moral-spiritual dalam membangun kesadaran kritis dan dalam mengembangkan pendidikan publik, yang akan mendorong pada upaya-upaya pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan perlindungan korban, dan juga penegakan hukum bagi pelaku sebagai efek jera. Tujuan besarnya adalah melakukan kerja-kerja advokasi mulai dari edukasi sampai dengan pendampingan dan advokasi kebijakan.

 

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar