Minggu, 20 Juni 2021

Sekolah Menulis: Jurnalisme dan Budaya di Era Post Truth

 


Upaya penyadaran, penguatan kapasitas dan kompetensi terus diseriusi Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Ikhtiar ini mewujud dalam Sekolah Jurnalistik, yang digelar 18-19 Juni 2021 di Kantor PUKKAT, Kakaskasen Tomohon.

Kali ini yang disasar adalah para jurnalis dari berbagai media di Sulawesi Utara. Sulit memilah dari sekian banyak yang menaruh minat. Semua mesti jadi prioritas, namun apa daya ini masih musim Covid, sayang. Kuantitas perlu ditata agar lebih minim resiko dan tidak dicerai kelompok patroli.

“Jurnalisme dan Budaya di Era Post Truth” dibedah. PUKKAT meramunya dalam sejumlah pokok diskusi: Jurnalisme dan Persoalan Kebenaran, Media dan Bias Budaya, Media Digital dan Masalah Fakta, Kuasa Bahasa, Logika Algoritma vs Nalar Budaya, dan Media dan Masalah Bias Gender.

Para fasilitator melontarkan faset. Realitas praktek jurnalisme negeri disorot. Kapital dan politik kekuasaan masih menggurita dalam bisnis media. Realitas di-framing, direproduksi, dan membahasa dalam balutan ideologi. Bias tertakhlik sana-sini. Stereotip terus memakan korbannya dengan rakus. Yang “benar” semakin blur, sementara sang kapitalis terus tergelak dengan perut yang makin buncit. Miris memang.

Ini perlu dilawan. Pena para jurnalis musti makin tajam. Kemampuan meramu bahasa perlu terus dilatih. Sensitifitas terhadap isu keadilan, kesetaraan, pembebasan dan transformasi harus terus dirangsang. Sejatinya, jurnalis adalah (harus menjadi) pejuang kemanusiaan. Senjatanya adalah karya jurnalistik, wawasan dan kekritisan jadi pelurunya.

Para peserta terpantik. Upaya menalar sisakan banyak tanya. Ini pertanda bagus. Rasa penasaran akan memacu orang mencari tahu. Menuntas makna dibalik realitas. Bergegas menggurat kata menjadi bunga rampai dalam buku yang kelak abadi. 

Banyak yang bertanya, siapa para penyantun berkantong tebal dibalik sekolah menulis ini? Pengusaha? Birokrat? Funding luar negeri? Bukan kawan, ru’kup adalah harta kami yang lebih bernilai dari permata. Masing-masing memberi sesuai kemampuan: sambiki, beras, kopi, gula, minyak, gedi, semua bisa dibawa. Kita makan-minum tak kekurangan meski tanpa proposal. Para fasilitator pun tidak perlu diberi amplop. Maesa-esaan (saling bersatu dan menyatukan), matombol-tombolan (saling menopang), masigi-sigian (saling menghormati), masawang-sawangan (saling membantu) dan maupus-upusan (saling menyayangi) jadi nilai-nilai yang menghidupkan dan terbukti sangat operasional. Warisan hidup para leluhur memang tidak main-main.

Lokon jadi saksi terbarunya komitmen anak-anak Maesa untuk jadi pejuang kehidupan. Mulailah berkarya. Lepaskan belenggu dari para rentan. Merdekalah dalam karyamu, dan sepak para penjajah ideologi.



 

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar