Kali ini yang disasar adalah para jurnalis dari berbagai media di Sulawesi Utara. Sulit memilah dari sekian banyak yang menaruh minat. Semua mesti jadi prioritas, namun apa daya ini masih musim Covid, sayang. Kuantitas perlu ditata agar lebih minim resiko dan tidak dicerai kelompok patroli.
“Jurnalisme dan Budaya di Era Post Truth” dibedah.
PUKKAT meramunya dalam sejumlah pokok diskusi: Jurnalisme dan Persoalan
Kebenaran, Media dan Bias Budaya, Media Digital dan Masalah Fakta, Kuasa Bahasa,
Logika Algoritma vs Nalar Budaya, dan Media dan Masalah Bias Gender.
Para fasilitator melontarkan faset. Realitas praktek jurnalisme negeri disorot. Kapital dan politik kekuasaan masih menggurita dalam bisnis media. Realitas di-framing, direproduksi, dan membahasa dalam balutan ideologi. Bias tertakhlik sana-sini. Stereotip terus memakan korbannya dengan rakus. Yang “benar” semakin blur, sementara sang kapitalis terus tergelak dengan perut yang makin buncit. Miris memang.
Ini perlu dilawan. Pena para jurnalis musti makin tajam. Kemampuan meramu bahasa perlu terus dilatih. Sensitifitas terhadap isu keadilan, kesetaraan, pembebasan dan transformasi harus terus dirangsang. Sejatinya, jurnalis adalah (harus menjadi) pejuang kemanusiaan. Senjatanya adalah karya jurnalistik, wawasan dan kekritisan jadi pelurunya.
Para peserta terpantik. Upaya menalar sisakan banyak tanya. Ini pertanda bagus. Rasa penasaran akan memacu orang mencari tahu. Menuntas makna dibalik realitas. Bergegas menggurat kata menjadi bunga rampai dalam buku yang kelak abadi.
Lokon jadi saksi terbarunya komitmen anak-anak Maesa untuk jadi pejuang kehidupan. Mulailah berkarya. Lepaskan belenggu dari para rentan. Merdekalah dalam karyamu, dan sepak para penjajah ideologi.
0 komentar:
Posting Komentar