Minggu, 03 April 2022

Perempuan Minahasa Pascakolonial


 I. Latar Belakang
        Harapan akan keadilan sosial semakin membuncah di tengah eksploitasi,  ketidakberdayaan, marginalisasi, imperialisme budaya, dan kekerasan berbasis  gender dan seksualitas yang terus mewajah. Banyak pihak coba menganalisis  sebab ketimpangan mengapa keadilan sulit tercapai. Beragam teori lahir.  Namun sebagiannya justru dikritik karena gagal menempatkan perbedaan  konteks, situasi, identitas, dan kompleksitas setiap kasus sebagaimana adanya.  Semisal hal “perempuan”, segelintir teori terlanjur merampatkan masalah  perempuan dalam kebakuan dengan hanya menempelkan bahkan menolak  ketubuhan, meminggirkan pengalaman dan pandangan perempuan. Mereka  gagal memetakan eksistensi perempuan sebagai individu yang memiliki karakter,  pengalaman dan kebutuhan spesifik dan tidak mampu membongkar relasi  kuasa.  
        Para pejuang keadilan feminis pun melantamkan bahwa untuk mencapai  keadilan yang konkrit salah satunya dengan menolak “teori ideal” yang  mengasumsikan setiap kondisi sama. Wacana keadilan mainstream (baca:  male-stream) kemudian dikritik, antara lain dengan mempermasalahkan  ketidakadilan sistematis dan struktural, karena keadilan sosial bukan hanya soal  redistribusi sumber daya tapi bagaimana memahami dan mengakui  ketidakadilan struktural.  
        Perempuan Minahasa sebagai makhluk biologis sekaligus sosial memiliki karakter  yang membedakan dirinya dengan perempuan tempat lain. Dia lahir dan  dibesarkan dalam tatanan nilai sosio-kultural yang di satu sisi mewariskan nilai diri  sebagai individu egaliter dengan Tou Minahasa lainnya, namun tidak bisa  disangkal bahwa dia juga hidup dalam kerentanan-kerentanan konstruksi sosial  bias dan diskriminatif. Masyarakat sering menyeret perbedaan karakteristik  biologis perempuan menjadi seperangkat tuntutan sosial, tentang kepantasan  dalam berperilaku, dan pada gilirannya berdampak pada akses terhadap  sumber daya dan kuasa. Sehingga salah satu jalan mengupayakan keadilan  konkrit adalah dengan membongkar penindasan dan dominasi, dan  merestrukturisasi dinamika kekuasaan, termasuk mendokumentasi pengalaman,  pandangan dan kebutuhan perempuan Minahasa secara jujur dan apa adanya.  
        Buku ini diharapkan bisa mendokumentasi berbagai pemikiran-pemikiran pasca  kolonial tentang bagaimana perempuan Minahasa memandang dirinya,  mengungkapkan pengalaman-pengalaman hidupnya, mempresentasikan  pemikiran-pemikirannya, mendefinisikan kebutuhan-kebutuhannya termasuk  menyingkap harapan-harapannya. Buku ini juga diharapkan bisa bercerita  tentang bagaimana perempuan Minahasa dipandang dalam eksistensinya  sebagai individu dan dalam relasi-relasi komunal dalam komunitas yang  dihidupinya, baik dari aspek historis, kultural, sosial maupun politik.  Selain karena masih terbatasnya buku-buku berkualitas yang membahas tentang  tema “Perempuan Minahasa Pascakolonial”, penyusunan buku ini penting  sebagai salah satu upaya dari rangkaian panjang perjuangan mewujudkan  keadilan humanis, dimana setiap individu -apapun karakteristik seksual dan  gendernya- berhak atas keadilan, sehingga keadilan sosial bukan cuma sekedar  utopia.    

II. Tujuan
Penulisan buku ini bertujuan untuk:
1. Mendokumentasikan berbagai pemikiran tentang perempuan Minahasa pascakolonial.
2. Menghasilkan sebuah media edukasi tentang nilai-nilai keadilan dan kesetaraan untuk perdamaian dan transformasi.

III. Penulis
Anggota Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) dan jaringan.

IV. Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan berupa penyusunan buku yang berisi kumpulan tulisan dengan
tema “Perempuan Minahasa Pascakolonial”.

V. Ketentuan Penulisan
1. Tulisan disajikan dalam bentuk karya ilmiah populer
2. Panjang tulisan 5000-7000 kata
3. Sitasi menggunakan endnote gaya Turabian.

VI. Penerbit
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar