Jumat, 13 Maret 2020

MALAM SOLIDARITAS: JERITAN MINORITAS SEKSUAL



Oleh Ruth K. Wangkai (aktivis PUKKAT)



BERANJAK dari Zero Point massa aksi dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) bergerak ke Taman Kesatuan Bangsa (TKB). Taman ini yang berada di seputaran pertokoan lama kota Manado diresmikan tahun 1987, ketika daerah ini masih menjadi pusat perbelanjaan dan jantung perekonomian SULUT.

Tapi, seiring dengan perubahan politik dan kebijakan otonomi daerah, berdampak pula pada kebijakan pengembangan pusat ekonomi baru yakni di kawasan Boulevard. Tempat ini tak lagi seramai tempo dulu. Walau begitu, TKB tetap menjadi ikon (satu-satunya?) taman kota, di mana berdiri monumen Dotu Lolong Lasut, yang konon kabarnya dialah perintis kota ini. Monumenya yang berada di tengah taman, tampil dengan gambaran seorang pahlawan dengan pedang di sarung pinggangnya. Apakah gambaran ini mau memberi pesan bahwa Manado ini adalah hasil invansi atau rebutan suku-suku tertentu, atau memang dia sudah ada sejak dulu sebagai kota merdeka?

Beberapa tahun lalu pemerintah melakukan pemugaran, memperindah taman ini, dan membangun teater terbuka untuk ekspresi seni dan budaya yang beragam penanda bahwa Manado adalah kota yang multikultural. Sore hari banyak yang duduk santai bersama teman atau keluarga. Hanya saja, walau sudah dipugar dan dihias dengan maksud memperbaiki citra tempat "esek-esek", toch sampai hari ini tempat ini masih lekat dengan stigma lokasi pelacuran.

Pilihan ke TKB tentu lebih mempertimbangkan fasilitasnya dan juga keramaian rute angkot ke arah Manado Timur. Tapi mungkin sadar atau tidak, tak kebetulan juga menentukan lokasi ini yang masih menjadi "hunian" para pekerja seks di malam hari - menjadi tempat utk berefleksi, menyentuh kepekaan, dan mengolah rasa - menyatakan kepedulian dan empati kepada perempuan-perempuan korban stigma dan diskriminasi, korban kekerasan, dan korban ketidakadilan oleh sistem adat dan budaya, oleh kebijakan negara, dan juga oleh hukum agama.

Puisi yang dibacakan oleh Coco, berisi jeritan hati mewakili perempuan-perempuan korban: perempuan pelacur, perempuan lesbian, dan perempuan tanpa vagina - menyentuh nurani kita. Kelompok ini termasuk paling rentan mengalami kekerasan berlapis, mulai dari keluarga sendiri, lingkungan sosial, dan juga negara.

Mereka terhempas oleh struktur masyarakat patriarki yang heteronormatif, yang cenderung menghakimi bahkan mengekslusi ketimbang berempati dan berjuang bagi pemenuhan hak-hak mereka.

HPI adalah momen merayakan capaian-capaian dan keberhasilan perempuan-perempuan hebat, mandiri, dan sukses. Tapi HPI juga adalah kesempatan utk memperkuat komitmen kemanusiaan dan membangun gerakan bersama: pelibatan laki-laki, rangkul komunitas minoritas SOGIESC, organisasi lintas iman serta media - bagi kerja-kerja advokasi mewujudkan dunia yang ramah dan bersahabat bagi semua. Sembari itu, negara perlu diingatkan terus akan kewajiban pemenuhan HAM perempuan serta akses keadilan bagi korban.

Tema HPI tahun ini sangat relevan bahwa SETIAP ORANG SETARA. DUNIA YANG SETARA ADALAH DUNIA YANG MEMBERDAYAKAN.(*)

PUKKAT

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar